Search
Search

Vitalnya Peran Auditor Halal dalam Fatwa Halal Produk

Vitalnya Peran Auditor Halal dalam Fatwa Halal Produk

Auditor halal merupakan orang yang memiliki kemampuan dalam melakukan pemeriksaan kehalalan produk. Peran dan fungsinya sangat krusial dalam proses sertifikasi halal BPJPH. LPPOM MUI telah memiliki lebih dari 1.000 auditor yang tersebar di seluruh Indonesia.

Audit merupakan sebuah proses pengumpulan serta pemeriksaan informasi, guna menentukan kesesuaian antara terkait prosedur dan rekaman terhadap sebuah standar yang ditetapkan secara independen, obyektif dan profesional. Sementara, auditor adalah seseorang yang melakukan pemeriksaan kesesuaian suatu perusahaan terkait beragam jenis standar yang berhubungan dengan, misalnya auditor halal.

Auditor halal sangat penting peranannya dalam proses sertifikasi halal, di mana fungsi auditor mengumpulkan informasi melalui proses audit terkait bahan, fasilitas maupun implementasi prosedur Sistem Jaminan Produk Halal disebuah industri.  Laporan audit ini menjadi masukan kepada Komisi Fatwa MUI sebagai bahan bagi Komisi Fatwa MUI untuk memfatwakan kehalalan suatu bahan dan produk. Dari situ, fatwa MUI menjadi dasar BPJPH menerbitkan sertifikat halal.

Auditor halal tidak boleh salah dalam memberikan laporan. Jika hal tersebut terjadi, maka ada potensi kesalahan pada hasil fatwa. Oleh karena itu, auditor harus menjalankan fungsi pemeriksaan halal dengan baik. Keyakinan (haqqul yaqin) akan halalnya suatu produk berdasarkan audit halal berasal dari hasil penelaahan data dan dokumen pendukung (‘ilmul yaqin) serta pengamatan langsung fakta di lapangan dalam bentuk observasi dan wawancara langsung di lokasi (‘ainul yaqin). Kesalahan dalam memberikan masukan atau informasi kepada Komisi Fatwa MUI akan menyebabkan kesalahan bagi Komisi Fatwa MUI dalam memfatwakan kehalalan suatu bahan atau produk.

Di era modern saat ini, teknologi industri sudah semakin maju dan berkembang. Sebuah pengolahan industri tidak lagi sesederhana dahulu. Prosesnya melibatkan banyak bahan (termasuk bahan tambahan dan bahan penolong) yang dapat berasal dari banyak tempat, sehingga menjadi kompleks. Bahan utama, bahan tambahan, dan bahan penolong tersebut berpotensi berasal dari bahan bahan yang haram. Hal ini tentu hanya bisa diketahui oleh auditor yang memahami pengetahuan bahan industry. Untuk itu, UU No 6 tahun 2023 telah menetapkan kriteria kelilmuan auditor halal, yakni lulusan minimal sarjana dari keilmuan yang relevan, seperti Pangan, Biokimia, Teknik Industri, Biologi, Farmasi, Kedokteran, Tata Boga, dan Pertanian, .

Dasar keilmuan ini penting, karena auditor harus mampu menilai tingkat kekritisan bahan dan teknologi proses, dengan berbekal ilmu yang telah dipelajari dan pengalaman. Contohnya acetic acid (asam asetat) dan citric acid (asam sitrat). Meski keduanya terlihat seperti senyawa kimia dan nampak tidak kritis, auditor yang memiliki pengetahuan tepat mengenai bahan mampu secara tepat mengidentifikasi bahwa asam sitrat sangatlah kritis karena lazimnya dihasilkan dari proses fermentasi yang menggunakan media mikrobial sebagai salah satu titik kritis kehalalan. Sementara itu, asam asetat murni hanyalah diproduksi dari reaksi kimia organik biasa yang tidak kritis.

Tanpa ilmu dan pengalaman memadai, auditor yang tidak handal bisa saja menganggap asam sitrat sebagai bahan kimia yang tidak kritis, sementara asam asetat perlu sertifikat halal karena kritis. Hal ini tentu membahayakan jaminan kehalalan produk. Terkait kompetensi auditor, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) tercatat sebagai lembaga yang memiliki auditor halal pertama di dunia yang bersertifikat kompetensi dan diakui oleh negara melalui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). LPPOM MUI memiliki lebih dari 1.000 auditor yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia dengan gelar sarjana hingga doktor dari universitas terkemuka didalam dan luar negeri.

Selain itu, secara umum, kompetensi lain yang harus dipenuhi adalah pengetahuan tentang syari’at Islam berkaitan dengan kehalalan produk serta peraturan perundangan tentang jaminan produk halal. Sebagai contoh, auditor harus memahami bahwa istihalah terbatas pada perubahan minuman keras menjadi cuka sesuai Fatwa MUI No. 10 tahun 2018. Perubahan dari tulang babi menjadi gelatin tidak bisa dianggap sebagai istihalah dalam pandangan Fatwa MUI. Mufti dari negara lain bisa saja memiliki pendapat berbeda, namun auditor halal di Indonesia harus berpegang kepada Fatwa MUI sesuai peraturan perundangan yang berlaku di negeri ini.

Pentingnya pemahaman peraturan perundangan-undangan ini juga dikaitkan dengan Keputusan Menteri Agama No. 1360 Tahun 2021 tentang bahan baku yang tidak memerlukan sertifikat halal. Auditor tidak boleh meminta sertifikat halal atas bahan yang termaktub dalam auturan ini, karena berarti selain bertindak berlebihan, ini tentu akan menyulitkan perusahaan yang harus menyediakan dokumen yang tidak diperlukan. Auditor juga harus mampu menjawab pertanyaan pelaku usaha terkait prosedur sertifikasi halal, seperti langkah di Sihalal untuk mengurus sertifikat halal.

Selain kompetensi keilmuan, hal yang tidak kalah pentingnya untuk dipenuhi oleh seorang auditor adalah integritas. Seorang auditor merupakan saksi (witness) mewakili ulama ketika melakukan audit di lokasi audit. Auditor harus mampu menunjukkan sikap adil, obyektif, independen. Tanpa integritas, auditor halal bisa saja merekaysaa laporan sehingga meloloskan produk yang seharusnya tidak halal menjadi halal, dan mengakibatkan ketentraman umat Islam terganggu. Hal ini terjadi  pada kasus sertifikasi “nabiz wine halal” dimana produk tersebut tidak dilakukan pendampingan oleh pendamping halal sebagaimana seharusnya, sehingga mengakibatkan produk dengan bahan baku dan proses produksi serupa miras dapat mendapatkan sertifikat halal.

Menurut Manager Halal Auditor Management LPPOM MUI, Ade Suherman, S.Si., auditor harus memahami Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) dengan baik, memahami fatwa MUI yang relevan dengan produk, menguasai teknik audit, memahami proses bisnis perusahaan serta harus teliti dan cermat. Hal ini akan membuat proses penilaian kesesuaian penerapan SJPH di perusahaan menjadi akurat.

“Auditor mengumpulkan fakta dan kondisi di perusahaan harus apa adanya. Data dan fakta itulah yang ditulis dalam laporan audit dan dipresentasikan dalam forum rapat auditor untuk recheck and cross check oleh auditor lain sebelum dipresentasikan di hadapan Komisi Fatwa MUI,” terang Ade.

Agar dapat memberikan fatwa yang benar tentang suatu produk, para ulama yang tergabung di dalam Komisi Fatwa MUI memerlukan masukan dan informasi dari para auditor halal yang melakukan pemeriksaan langsung di lapangan. Pemeriksaan yang merupakan scientific judgement dari para ahli di bidang pangan, obat-obatan, kosmetik, ataupun kimia, itu kemudian dilaporkan dalam sidang Komisi Fatwa MUI. Pada banyak kasus, hal ini juga didukung autentikasi lewat pemeriksaan laboratorium.

“Laporan auditor halal pun tak boleh salah. Pernyataan tersebut tidaklah berlebihan mengingat auditor halal menjadi salah satu mata rantai yang cukup penting dalam alur proses sertifikasi halal. Hasil audit dari auditor halal menjadi dasar fatwa untuk memutuskan sebuah produk halal atau tidak,” tegas Ade Suherman.

Untuk itulah, auditor halal berintegritas dan kompeten terkait ilmu pengetahuan bahan dan proses industri serta pengetahuan syar’i dan peraturan perundang-undangan diperlukan untuk memberikan informasi dan masukan yang benar serta akurat. Hal ini agar Komisi Fatwa MUI akurat dalam memfatwakan kehalalan suatu produk, sehingga ketentraman umat terjamin dalam konsumsi produk halal. (ZUL)