Search
Search

Sertifikasi Kompetensi Bagi Pelaku Usaha Wisata Halal. Perlukah?  

Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) terus mengembangkan wisata halal di berbagai daerah. Salah satu kebijakan yang ditempuh adalah melalui sertifikasi kompetensi bagi para pelaku usaha wisata atau Certification of Tourism Human Resources and Competency-Based Standards.

Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan, program sertifikasi kompetensi bagi pelaku usaha pariwisata merupakan program unggulan, dengan menargetkan sertifikasi di tahun 2022 berjumlah 18.000 orang, sementara tahun 2023 berjumlah 27.000 orang. Total semuanya berjumlah 45.000 orang. “Kegiatan ini dilaksanakan pada rentang waktu September hingga Desember 2022 di 6 Destinasi Pariwisata Prioritas yang sudah ditentukan,” kata Sandiaga Uno kepada wartawan.

Direktur Lembaga Sertifikasi Profesi Majelis Ulama Indonesia (LSP MUI) Nur Wahid mengatakan, wisata halal membutuhkan pengelolaan yang professional agar dapat memberikan informasi akurat dan menangani wisata berbasis syariah secara benar sesuai kaidah. Untuk itu sumberdaya manusia yang menangani harus memiliki kompetensi yang memadai dalam menangani wisata halal.

Menurut Nur Wahid, wisata halal yang meliputi hotel syariah, restoran halal, tour planning, tour guide, hingga spa syariah membutuhkan tenaga yang kompeten, mulai dari penerimaan tamu, pengelolaan, penanganan tamu sampai pada penanganan infrastruktur berbasis syariah. Misalnya untuk memberikan kenyamanan tamu dalam bersuci sesuai kaidah syariah, maka diperlukan jenis keran air dan tempat buang air kecil yang tidak menyebabkan terkena najis.

Mengingat cakupan wisata halal yang cukup luas, maka masing-masing bagian memerlukan kompetensi yang berbeda. Untuk restoran halal, bisa ditangani dengan persyaratan halal yang ada di Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH), sehingga cukup dengan uji kompetensi penyelia halal. Namun untuk bidang-bidang lain, seperti hotel syariah, tour planner dan tour guide syariah, harus memerlukan uji kompetensi tersendiri dengan skema yang berbeda.

“Pelaksanaan uji kompetensi wisata halal dapat dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang memiliki skema bidang tersebut dan telah di registrasi di Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau BNSP,” kata Nur Wahid, sambil menambahkan bahwa untuk dapat membuat skema tersebut harus ada standard yang menjadi acuan dalam pelaksanaan uji kompetensi. Standar tersebut bisa berupa Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) atau SKK Khusus.

Saat ini, MUI sedang dalam proses menyiapkan standar khusus untuk wisata halal. Standar ini akan menadopsi SKKNI layanan wisata secara umum dan dipadukan dengan Standar Khusus (SKK Khusus) yang terkait dengan pelaksanaan syariah.

Sementara itu, Direktur Utama Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Muti Arintawati menyatakan, sertifikasi kompetensi bagi para pelaku wisata halal akan mempercepat upaya pemerintah dalam mengembangkan wisata halal di beberapa wilayah di Indonesia.

Muti menambahkan, pihaknya senantiasa berkomitmen mendukung pengembangan wisata halal di Indonesia, baik dalam bentuk ketersediaan hotel maupun makanan halal, serta peningkatan kompetensi para pelaku usaha di bidang halal.

Pengembangan wisata halal, kata Muti, erat kaitannya dengan sektor kuliner, sehingga pihaknya terus melakukan sosialisasi, edukasi hingga pendampingan dalam sertifikasi halal bagi para pelaku usaha wisata di berbagai daerah. 

Sosialisasi dan edukasi akan pentingnya sertifikasi halal di suatu kawasan wisata, kata Muti, perlu dilakukan agar para pengunjung merasa nyaman. “Jika telah merasa nyaman, maka wisatawan akan membelanjakan uangnya untuk makan dan minum di kawasan tersebut karena ada jaminan halal,” tegasnya. (***)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.