Search
Search

Menjamin Obat Halal, Kemenkes Dorong Industri Farmasi Indonesia Produksi Bahan Baku Sendiri

  • Home
  • Berita
  • Menjamin Obat Halal, Kemenkes Dorong Industri Farmasi Indonesia Produksi Bahan Baku Sendiri

Semenjak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, perkembangan industri farmasi obat terus meningkat. Namun, kenaikan ini tidak sebanding dengan jumlah sertifikasi halal produk obat dan vaksin. 

Hal ini disampaikan oleh Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt., MARS dalam webinar “Obat Halal, Darurat Sampai Kapan?” yang diselenggarakan pada 24 Maret 2021. 

(Baca juga: Kondisi dan Tantangan Industri Farmasi dalam Sertifikasi Halal)

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), beserta Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) perlu bersinergi untuk mendorong industri farmasi mendapatkan sertifikat halal. 

Salah satu penyebab utama lambannya kecepatan sertifikasi halal industri farmasi adalah sumber bahan baku obat yang didapat masih impor 95% dari luar negeri, yakni dari Tiongkok, India, Amerika, dan Eropa. Meski begitu, Kemenkes menetapkan target untuk menurunkan jumlah bahan baku impor menjadi 70%. 

“Saat ini, pemerintah sedang mendorong agar industri farmasi di Indonesia dapat memproduksi bahan baku obat. Dengan begitu, pemerintah dapat menjamin kehalalannya lebih mudah dibanding bahan baku impor. Walaupun memang sudah ada beberapa industri bahan baku obat luar negeri yang memiliki sertifikat halal,” ujar Agusdini.

Selain itu, sertifikasi halal juga menjadi salah satu sasaran dan strategi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yakni meliputi pengembangan obat, produk biologi, reagen, dan vaksin dalam negeri bersertifikat halal yang didukung oleh penelitian dan pengembangan life science. Hal ini dalam rangka pemenuhan dan peningkatan daya saing sediaan farmasi dan alat kesehatan di Indonesia.

Agusdini juga mengakui bahwa peluang obat halal di Indonesia sangatlah besar. Selain karena mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam, Indonesia tengah menjadi center of excellent dari Organisation of Islamic Cooperation (OIC). Hal ini juga dapat menjadi keunggulan Indonesia untuk memperluas pasar ekspor obat halal ke negara-negara lain, khususnya negara Timur Tengah.

Namun, peluang ini harus diupayakan secara maksimal. Pasalnya, jumlah produk farmasi (obat dan vaksin) bersertifikat halal hanya 2.586 produk, sementara yang tercatat di BPOM per 24 Maret sejumlah 19.483 produk. Artinya, peluang sertifikasi halal farmasi masih sangat luas. 

Pasar obat halal di Indonesia pun semakin terbuka seiring dengan semakin banyaknya Rumah Sakit Syariah di Indonesia, yang tentunya akan mengutamakan penggunaan produk farmasi bersertifikat halal. Saat ini di Indonesia sudah ada sekitar 500 rumah sakit yang menjadi anggota Majelis Ulama Kesehatan Islam (MUKISI), 22 rumah sakit sudah tersertifikasi syariah (18 RS Islam dan 4 RS Pemerintah), serta 65 rumah sakit masih dalam proses pendampingan untuk menjadi Rumah Sakit Syariah. 

“Meski telah diatur penahapannya dalam Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021, menurut kami alangkah lebih baik jika pelaku industri farmasi dapat mempercepat proses sertifikasi halal karena peluang pasar obat halal di Indonesia sangatlah besar,” ungkap Agusdini. (YN)

Simak Webinar Halal Series LPPOM MUI: Obat Halal, Darurat Sampai Kapan? disini

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *