Search
Search

Wawasan Keagamaan dan Kebangsaan Berlandaskan Keimanan dan Ketakwaan

Oleh: KH. Abdusshomad Buchori

Ketua Umum MUI Jawa Timur 2015 -2020

Pengasuh Pondok Pesantren Darusyifa, Sidoarjo, Jawa Timur

Seseorang yang berwawasan keagamaan merasa dirinya selalu diawasi oleh Zat yang Maha Agung, yaitu Allah SWT. Di samping itu, sebagai warga negara, seorang muslim juga harus cinta kepada Tanah Air dan berusaha serta bersedia untuk memperjuangkan kelangsungan hidup dan eksistensi bangsanya.

Seorang muslim harus memiliki jiwa perjuangan yang manifestasinya diwujudkan dalam setiap gerak hidupnya untuk meninggikan kalimah Allah (li-I’laa’i Kalimatillah) yang didasari dengan niat yang ikhlas semata-mata karena Allah. Dengan begitu, mereka berhasil mencapai tingkatan istiqamah yang sangat tinggi, yaitu memiliki pendirian yang teguh, konsisten, ajeg, dan tidak goyah dalam upaya memperjuangkan tegaknya aqidah dan syari’at Islam, khususnya di negeri yang tercinta Indonesia.

Seseorang yang berwawasan keagamaan merasa dirinya selalu diawasi oleh Zat yang Maha Agung, yaitu Allah SWT. Di samping itu, sebagai warga negara, seorang muslim juga harus cinta kepada Tanah Air dan berusaha serta bersedia untuk memperjuangkan kelangsungan hidup dan eksistensi bangsanya, walaupun bangsanya memiliki kelemahan.

Kelemahan ini perlu dianggap sebagai panggilan tanggung jawab bagi generasi baru untuk memperbaikinya dengan pola pandangan bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Jika tidak, yang terjadi adalah suatu kerugian dan kemunduran.

Sebagai warga negara dan generasi bangsa, kita perlu memahami dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dengan konteks yang benar. Ini menjadi landasan agar kita memiliki orientasi tentang kesejahteraan rakyat, baik kesejahteraan lahir maupun batin. Terlebih bagi seseorang yang mendapat amanat sebagai pemimpin dalam suatu unit pekerjaan, baik sebagai pemimpin eksekutif, legislatif, yudikatif, organisasi, maupun lembaga.

Karena itu, bila menyusun suatu program atau perencanaan pembangunan, maka sektor yang menyangkut kesejahteraan, termasuk di dalamnya masalah lingkungan hidup, kesehatan, pendidikan, pengentasan kemiskinan, dan keagamaan hendaknya benar-benar mendapatkan perhatian khusus.

Terkait lingkungan hidup, misalnya. Lingkungan hidup diartikan sebagai totalitas (keseluruhan) dari benda, daya dan kehidupan, termasuk manusia dan tingkah lakunya, yang memengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan serta jasad-jasad hidup (organisme) lainnya.

Segala makhluk yang ada dalam suatu lingkungan hidup, satu dengan lainnya mempunyai hubungan (interconnected), atau dengan kata lain, terdapat hubungan simbiosis (symbiotic), dalam arti saling memenuhi kebutuhan satu dengan lainnya. Inilah yang akan menciptakan tatanan dengan hukum keseimbangan (equilibrium).

Dalam hal ini, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Shaad (38) ayat 27. Artinya, “Dan Kami telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu, karena mereka akan masuk neraka.” (QS. Shaad :27)

Ayat ini memberikan suatu pelajaran. Menurut pandangan ekologi, memang tidak ada makhluk yang percuma diciptakan oleh Allah SWT. Kehidupan makhluk, baik tumbuh-tumbuhan, binatang maupun manusia saling berkaitan dalam satu tatanan lingkungan hidup.

Sederhananya, bila terjadi gangguan yang luar biasa terhadap salah satu unsur (jenis makhluk) di sebuah lingkungan, misalnya karena perbuatan/kegiatan manusia atau bencana alam, maka akan terjadi pula gangguan terhadap kesinambungan dalam lingkungan hidup (ekosistem) secara menyeluruh. (Dirangkum dari Bunga Rampai Kajian Islam)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *