Search
Search

Waspada, Media Swab Mikrobiologi Mengandung Bahan Haram!

Oleh: Heryani (LPPOM MUI Laboratory Service Manager)

Halal dan thayyib merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam proses sertifikasi halal. Prinsip ini telah lama diterapkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dalam melakukan pemeriksaan kehalalan produk.

Secara umum, produk yang disertifikasi halal harus memenuhi persyaratan thayyib dalam aspek mutu produk, keamanan produk, dan higienitas sanitasi sehingga produk yang dihasilkan tidak hanya halal tetapi juga aman dan sehat untuk dikonsumsi. Itulah sebabnya halal is more than just a quality.

Salah satu pedoman yang menjadi standar industri pangan dalam menjamin kemanan dan kelayakan produk yang diproduksinya adalah Good Manufacturing Practices (GMP). Sistem ini telah lama diterapkan di Indonesia dengan adanya Surat Keputusan Menteri RI No. 23/MenKes/SK/1978 pada 24 Januari 1978 mengenai Pedoman Cara Produksi yang Baik untuk Makanan (CPMB), yang menjadi persyaratan di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mendapatkan izin edar. Lingkup penerapannya mencakup pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan mulai dari penerimaan bahan baku hingga produk sampai di tangan konsumen.

Di sisi lain, pencegahan kontaminasi produk secara langsung dilakukan dengan prosedur sanitasi pada unit pengolahan, atau biasa disebut sebagai SSOP (Prosedur Operasi Standard Sanitasi). Oleh karena itu, sanitasi sangatlah vital dalam penerapan sistem keamanan pangan yang terintegrasi, seperti GMP, HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), ISO 22000, dan lainnya.

Tidak hanya itu, keberhasilan dari program sanitasi juga perlu dievaluasi efektivitasnya dengan cara verifikasi hasil kebersihan yang dapat dilakukan dengan cara pengecekan secara visual/organoleptik, pengukuran ATP (adhenosine triphosphate) Bioluminescence, swab test mikrobiologi, contact plate media, ataupun media fill validation yang secara umum mengukur keberadaan mikroorganisme yang masih menempel pada peralatan/fasilitas produksi. Di sisi lain, pengecekan visual yang biasa digunakan sebagai prosedur verifikasi kebersihan harian hanya mampu mengevaluasi parameter fisik yang masih tertinggal pada peralatan, seperti sisa adonan, bau, lemak, dan pengotor lain.

Perlu diketahui, verifikasi kebersihan yang banyak dilakukan oleh kalangan industri adalah dengan menggunakan metode swab. Jika contact plate media hanya dapat diaplikasikan pada permukaan datar, maka keunggulan dari metode swab adalah dapat diaplikasikan pada berbagai jenis permukaan. Swab dilakukan dengan mengusapkan cotton swab steril pada permukaan dengan luasan area swab maksimum 100 cm2 atau jika luasan permukaan yang di-sampling lebih dari 100 cm2, maka dapat menggunakan alat usap dari sponge steril. Namun apakah metode swab ini punya potensi mengandung bahan haram?

Secara umum, swab peralatan dilakukan dengan dua cara, yaitu metode kering dan metode basah. Metode kering dilakukan dengan mengusapkan cotton swab steril dalam keadaan kering yang umumnya digunakan ketika area permukaan dalam keadaan basah, sedangkan swab basah dilakukan dengan membasahi cotton swab ataupun sponge steril dengan pelarut yang dilakukan ketika area permukaan kering. Pelarut inilah yang menjadi titik kritis keharaman dari metode swab karena kontak dengan peralatan produksi. Penggunaan metode basah lebih banyak digunakan karena mampu mempertahankan kondisi mikroorganisme yang terambil sehingga data merepresentasikan kondisi aktual.

Pelarut (diluent) yang digunakan dapat berupa air deionisasi, buffered peptone water atau BPW (SNI ISO 18593:2018), phosphate-buffered saline (PBS), dan saline water. Jika dilihat dari sumber bahannya maka air deionisasi, PBS, dan saline water tidak memiliki titik kritis keharaman sehingga tidak berpeluang mengandung bahan haram/najis. PBS dibuat dari larutan garam (NaCl) dalam air yang mengandung buffer fosfat yaitu disodium hidrogen fosfat (Na2HPO4) dan sodium dihidrogen fosfat (NaH2PO4) untuk menjaga pH tetap konstan. Dalam beberapa formulasi dapat menggunakan garam kalium klorida (KCl) dan kalium dihidrogen fosfat (KH2PO4). Garam klorida dan buffer fosfat merupakan bahan mineral dan bahan sintetik yang tergolong ke dalam halal positive list material atau bahan yang tidak diragukan lagi kehalalannya berdasarkan kajian dari LPPOM MUI (SK12/Dir/LPPOM MUI/VI/20).

Di sisi lain, buffered peptone water (BPW) umumnya mengandung pepton dan garam NaCl dalam air dengan penambahan buffer fosfat. Pepton merupakan salah satu sumber nitrogen yang digunakan sebagai nutrient mikroba untuk mengembalikan kondisi sel yang rusak akibat kondisi pengolahan produk. Titik kritis keharaman dari BPW berasal dari pepton, di mana kita harus mengetahui sumber bahan pepton tersebut diperoleh serta bahan penolong proses yang digunakan.

Pepton merupakan senyawa peptida yang diperoleh dari hidrolisis protein. Sumber protein dapat berasal dari bahan nabati (seperti dari kedelai) dan dari bahan hewani (seperti dari sapi dan babi). Selain itu, bahan penghidrolisa yang digunakan untuk memecah struktur protein menjadi pepton pun perlu diketahui sumbernya. Dapat berasal dari bahan kimia (seperti asam klorida atau HCl) atau pun dari enzim yang dapat bersumber dari bahan nabati (seperti enzim papain), produk mikrobial, serta dari hewan (seperti protease dari pancreatin sapi atau babi). Sekali pun berasal dari microbial protease enzyme maka tetap harus dipastikan media pertumbuhan bakteri yang digunakan tidak berasal dari bahan babi.

Selain penggunaan diluent, pada proses swab juga memungkinkan adanya penggunaan pelarut penetralisir (neutralizer). Neutralizer digunakan ketika area swab atau peralatan dibersihkan dengan menggunakan bahan antimikroba (desinfectant). Neutralizer berfungsi untuk mencegah efek penghambatan dari desinfektan pada pertumbuhan mikroorganisme. Pada umumnya neutralizer ini ditambahkan pada diluent menjadi satu larutan swab. Komponen penyusun neutralizer ini bervariasi tergantung pada bahan antimikrobial yang digunakan pada desinfektan (SNI ISO 18593:2018). Namun komponen bahan penyusun neutralizer yang umum digunakan diantaranya Polysorbate 80, Lecithin, Sodium Tiosulfat, L-histidin.

Di antara bahan penyusun tersebut yang tidak memiliki titik kritis keharaman hanyalah Sodium Thiosulfat karena berasal dari bahan sintetik. Polysorbate 80 atau Sorbitan Monolaurate diperoleh dari hasil reaksi antara sorbitol dan asam laurat yang merupakan jenis asam lemak yang dapat berasal dari bahan sintetik, bahan tanaman ataupun asam lemak dari hewan (bahkan dari babi sekalipun).

Di sisi lain, Lecithin pada umumnya berasal dari minyak kedelai, namun memungkinkan terdapat penggunaan enzim phospholipase A untuk menghidrolisis struktur fosfolipid pada lesitin untuk meningkatkan sifat emulsifikasi dan surfaktannya. Enzim fosfolipase umumnya berasal dari produk mikrobial sehingga perlu dipastikan media pertumbuhan bakteri yang digunakan tidak berasal dari bahan babi. L-histidine pun sama, secara komersil diproduksi dari glukosa yang diubah dengan bantuan mikroba sehingga memiliki titik kritis keharaman yang sama dengan produk mikrobial lain.

Nah, sekarang kita sudah mengetahui alasan metode swab harus halal. Bagi beberapa perusahaan yang memiliki fasilitas laboratorium mikrobiologi, umumnya pengambilan sampel swab peralatan dilakukan oleh internal perusahaan. Oleh karena itu, perlu ada perhatian khusus dalam hal pemilihan metode dan bahan yang digunakan untuk swab agar fasilitas yang sudah disertifikasi halal tidak terkontaminasi oleh bahan haram. Bagi perusahaan yang menggunakan jasa eksternal pun sama, harus memastikan prosedur swab sudah sesuai dengan kaidah halal.

Saat ini, LPPOM MUI sudah memiliki laboratorium halal yang sudah terakreditasi ISO 17025 untuk mendukung hasil audit halal sebuah produk. Terkait dengan kali ini, tentunya metode swab di laboratorium halal LPPOM MUI sudah dapat terjamin kehalalannya dan tervalidasi sesuai dengan SNI ISO 18593:2018.  (***)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.