Search
Search

Setiap Terbersit Keinginan yang Haram, Segeralah Berhijrah kepada yang Halal

  • Home
  • Artikel Halal
  • Setiap Terbersit Keinginan yang Haram, Segeralah Berhijrah kepada yang Halal

Oleh: Prof. Dr. Hj. Khuzaemah T. Yanggo

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta,

Ketua MUI Pusat

Bila ditelaah secara kronologi ibadah dalam tuntunan syariah, dapat dilihat dan dipahami satu rangkaian indah dari perjalanan hidup insaniyah yang amat menggugah. Pada bulan Ramadhan, setiap insan beriman diwajibkan berpuasa, berlatih intensif mengendalikan hawa nafsu yang mengotori jiwa. Lalu di akhir Ramadhan diwajibkan mensucikan jiwa dan harta dengan kewajiban untuk menunaikan Zakat Fitrah dan Zakat lainnya, bila telah memenuhi hitungan hisab serta nisabnya. Sehingga pada bulan Syawal, Mu’min yang berpuasa dengan benar, dapat kembali kepada kesucian jiwa dan fitrah insaniyahnya.

Dari sisi lughowi, ungkapan kata “Syawal” bermakna meningkat. Yakni bahwa seharusnya, ibadah orang yang beriman itu meningkat lebih baik dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Dan peningkatan yang signifikan dilakukan dengan menunaikan ibadah haji, di bulan Dzulhijjah, sebagai momentum perjuangan yang membutuhkan pengorbanan besar. Sedangkan bagi umat Muslim yang tidak berangkat haji ke Tanah Suci, disyariatkan untuk juga berkurban dengan menyembelih hewan Qurban pada saat Idul Adha.

Setelah melalui serangkaian agenda pembinaan dan pelatihan yang dirancang langsung oleh Allah Maha Perancang, sangat diharapkan akan terjadi perubahan, perbaikan sekaligus peningkatan ruhiyah kaum yang beriman di bulan Muharram dan seterusnya, yang dikenal dengan momentum Hijrah.

Momentum Hijrah di bulan Muharram

“Muharram” itu sendiri berasal dari kata bahasa Arab yang artinya ‘diharamkan’ atau ‘dipantang’. Pada awalnya yaitu dilarang melakukan peperangan atau pertumpahan darah. Berikutnya, tentu harus dijaga dengan istiqomah, agar tidak berbuat maksiat yang dilarang agama. Bukan hanya pada bulan Muharram saja, tetapi juga seterusnya, sepanjang usia. Hingga ketentuan Allah tiba. Dan awal Muharram tercatat sebagai momentum hijrah dalam sejarah dakwah, yang kemudian menjadi “Milestone” tahun Hijriyah dalam kalender Islam. 

Para ahli bahasa mengartikan ungkapan kata “hijrah” itu ialah menghindari, menjauhi diri dari sesuatu, baik secara fisikal dengan raga, lisan maupun hati dan jiwa. Hijrah dengan raga berarti pindah dari suatu tempat menuju tempat lain. Sebagaimana dimasud dalam ayat, “dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka” (QS. 4: 34). Hijrah dengan lisan berarti menjauhi perkataan kotor dan keji seperti firman Allah, “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik” (QS. 73: 10). Sedangkan hijrah dengan hati berarti menjauhi sesuatu tanpa menampakkan perbuatan, seperti firman Allah, “Berkatalah Rasul: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan’ “. (QS. 25: 30). Dan bisa juga berarti dengan semuanya: “Dan (dari) perbuatan dosa, maka jauhilah (berhijrahlah).” (QS. 74: 5).

Hakikat Hijrah dengan Segenap Jiwa dan Raga 

Dari makna harfiyah hijrah tsb., dan melihat perjalanan dakwah Rasulullah saw seperti yang terekam dalam ayat-ayat Al-Qur’an, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat hijrah bermakna Mensucikan Diri: “Dan perbuatan dosa, maka jauhilah.” (QS. 74: 5) dan firman-Nya, “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” (QS. 73: 10). 

Kedua ayat di atas turun di masa Nabi saw memulai dakwah. Pada saat itu Beliau saw diperintahkan oleh Allah untuk menjauhi diri dari perbuatan keji dan mungkar dan dari mengikuti perbuatan syirik dan dosa seperti yang dilakukan oleh orang musyrik di kota Mekkah saat itu. Sehingga dengan hijrah; hati, perkataan dan perbuatan menjadi bersih dari segala maksiat, dosa dan syirik. Di samping itu Allah juga memerintahkan kepada Beliau saw untuk bersabar terhadap cacian, cercaan makian, siksaan, intimidasi & segala bentuk penolakan yang bersifat halus maupun kasar, dan berusaha untuk menghindar dari mereka dengan cara yang baik. Cara ini pula yang diterapkan Nabi saw dalam berdakwah kepada para sahabatnya hingga akhirnya Beliau saw berhasil membentuk generasi terbaik di sisi Allah: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran, 3: 110). Generasi yang berjiwa bersih, berhati suci. Bersih dari kemusyrikan, kekufuran dan kemunafikan, kokoh & tangguh, memiliki ikatan ukhuwah Islamiyah yang erat.

Padahal sebelumnya mereka tak mengenal Islam bahkan phobi terhadapnya. Namun setelah mengenal Islam dan hijrah ke dalamnya, justru menjadi pionir bagi tegaknya ajaran Islam. Kisah Umar bin Khathab, menarik untuk kita simak; ia di masa awal dakwah sebelum memeluk Islam dikenal dengan julukan “penghulu para pelaku kejahatan”. Tapi setelah hijrah ia pun menjadi pemimpin umat yang disegani, tawadhu dan suka menolong orang miskin. Ia jadi tonggak bagi tegaknya ajaran Islam. Begitupun dengan kisah Khalid bin Walid, yang digelari Saifullah, Pedang Allah. Maksudnya, banyak memimpin peperangan untuk membela agama Allah. Dan banyak tokoh lainnya. Kesemua itu menjadi bukti kongkret perjalanan hijrah mereka dari kegelapan, kekufuran dan kemaksiatan menuju cahaya agama Allah. Oleh karena itu pula Nabi saw pernah bersabda, “Sebaik-baik kalian di masa Jahiliyah, sebaik-baik kalian di masa Islam, jika mereka mau memahami”. Dengan demikian maka jelas, “Hijrah” secara umum berarti: meninggalkan segala macam bentuk kemaksiatan & kemungkaran, baik dalam perasaan (hati), perkataan dan perbuatan.

Hijrah juga merupakan sunnah para nabi sebelum Rasulullah saw diutus, dimana Allah memerintahkan para utusannya untuk berhijrah, melakukan perbaikan diri terlebih dahulu. Seperti Nabi Ibrahim, di saat beliau mencari kebenaran hakiki & menemukannya, beliau berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya aku akan pergi menuju Tuhanku, karena Dialah yang akan memberi hidayah kepadaku”. (QS. 37: 99). Begitu pula dengan nabi Luth saat beliau menyerukan iman kepada kaumnya. Meski kaumnya mendustakannya, dan bahkan mengecam dan mengancam akan membunuhnya, namun beliau tetap dalam pendiriannya & berkata, “Sesungguhnya aku telah berhijrah menuju Tuhanku, sesungguhnya Dialah yang Maha Perkasa dan Bijaksana.” (QS. Al-Ankabut, 29: 26)

Hijrah ini memang sangat berat. Karena di samping harus memiliki kesabaran. Juga dituntut memiliki ketahanan ideologi dan keyakinan agar tidak mudah terbujuk rayuan dan godaan dari kenikmatan dunia yang fana dan memiliki ketangguhan diri. Tidak mudah lentur saat mendapatkan cobaan & siksaan yang setiap saat menghadang. Berusaha membedakan diri walaupun hidup di tengah-tengah mereka yang kafir, zhalim dan mengingkari tuntunan agama Allah. Karena di antara ciri khas seorang muslim sejati ialah kemampuan “yakhtalitun walaakin yatamayyazun” (bercampur-baur dalam interaksi sosial, tetapi memiliki ciri khas tersendiri/tidak terkontaminasi dengan kemaksiatan).

Perhatikanlah betapa Allah telah memberikan contoh, perumpamaan yang sangat nyata, dengan seorang tokoh, Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun. Ia hidup, tinggal serta berinteraksi dalam lingkungan kemaksiatan dan kekafiran yang sangat menekan. Bahkan ia disiksa dengan sangat kejam oleh suaminya sendiri, Fir’aun, tokoh yang terkenal durjana sepanjang masa. Karena ia berhijrah dan beriman kepada Allah, mengikuti tuntunan yang dibawa oleh Nabi Musa. Meskipun disiksa begitu rupa, namun keimanannya tak goyah sedikit pun. Sehingga Allah menjadikannya sebagai ikon, tokoh teladan bagi orang-orang yang beriman sepanjang zaman: “Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.” (QS. At-Tahrim, 66: 11).

Urgensi hijrah di masa kini jelas sangat besar, karena suatu komunitas tidak akan menjadi baik kalau setiap individu yang ada dalam komunitas tersebut telah rusak, namun sebaliknya; baiknya suatu komunitas bergantung kepada individu itu sendiri. Karena dalam rangka membentuk komunitas yang bersih, taat kepada Allah dan syariat-syariat-Nya- pengkondisian sisi internal melalui pembersihan jiwa dan raga dari segala kotoran, baik hissi (bathin) & zhahiri (tampak) merupakan hal sangat mendasar sebelum melakukan perbaikan sisi eksternal.

Dari ketiga bentuk hijrah yang telah dipaparkan di atas: secara fisik atau jasadi, lisan dan hati atau jiwa; yang amat penting dan menentukan adalah hijrah yang dimulai dengan hati. Oleh karena itulah para ulama menyebutkan, di antaranya, hadits yang terkenal tentang niat atau hati dikemukakan dalam kaitannya dengan hijrah: Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan seseorang hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia berhijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits).

Menjaga Hati Agar Tetap Suci 

Dari hadits ini jelas dapat dipahami, niat yang tertanam di dalam hati, sangat menentukan nilai amal yang dikerjakan dengan anggota badan. Dengan kata lain, kondisi hati yang memunculkan niat itu, sangat menentukan kebaikan atau keburukan yang akan diperbuat oleh anggota tubuh secara jasadi atau fisikal. Hal ini dipertegas lagi dengan Hadits Nabi saw yang menyebutkan kondisi dan peran hati itu sangat penting dan menentukan: Dari An-Nu’man bin Basyir, Nabi saw bersabda, “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung).” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Ibnu Rajab Al-Hambali mengisyaratkan bahwa baiknya amalan badan seseorang dan kemampuannya untuk menjauhi keharaman, juga meninggalkan perkara-perkara yang syubhat, itu semua tergantung pada baiknya hati. (Lihatlah Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 210). Para ulama menyatakan bahwa walaupun hati (jantung) itu kecil dibandingkan dengan bagian atau anggota tubuh yang lain, namun baik dan jeleknya jasad tergantung pada kondisi hati itu. (Lihat Syarh Muslim, 11: 29). Disebutkan pula bahwa hati adalah Malikul A’dhoo (rajanya anggota badan), sedangkan anggota badan adalah Junuduhu (tentaranya). (Lihat Jaami’ul ‘Ulum, 1: 210).

Secara spesifik, Syaikh Sholih Al-Fauzan mengatakan, “Baiknya hati adalah dengan takut pada Allah, rasa khawatir pada siksa-Nya, bertakwa dan mencintai-Nya. Jika hati itu rusak, yaitu tidak ada rasa takut pada Allah, tidak khawatir akan siksa-Nya, dan tidak mencintai-Nya, maka seluruh badan akan ikut rusak. Karena hati yang memegang kendali seluruh jasad. Jika pemegang kendali ini baik, maka baiklah yang dikendalikan. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh yang dikendalikan. Oleh karena itu, seorang muslim hendaklah meminta pada Allah agar dikaruniakan hati yang baik. Jika baik hatinya, maka baik pula seluruh urusannya. Sebaliknya, jika rusak, maka tidak baik pula urusannya.” (Al-Minhah Ar-Robbaniyah fii Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 109).

Dalam hadits disebutkan, yang sering Nabi saw minta dalam do’anya adalah agar hatinya terus dijaga dalam kebaikan. Beliau sering berdo’a, “Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).” Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah saw, kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi saw pun menjawab, “Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3522).

Maka bila ada bisikan setan yang terbersit di dalam hati, akan berbuat maksiat yang diharamkan dalam agama, segeralah berhijrah. Hilangkan bisikan hati dengan keinginan maksiat itu, diganti dengan keinginan yang halal, berupa amal baik, yang diridhoi Allah.

Upaya menghilangkan bisikan setan itu dilakukan dengan memohon perlindungan kepada Allah, sebagaimana disebutkan di dalam ayat Al-Quran yang artinya: “Dan katakanlah: “Ya, Rabb-ku. Aku memohon berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau, ya Rabb-ku, dari kedatangan mereka kepadaku.” [QS. Al-Mukminun, 23: 97-98].

Demikianlah hendaknya yang harus kita pahami akan makna dan hakikat hijrah, dimana krisis multidimensi sudah begitu menggejala dalam tubuh umat Islam, dan diperparah dengan terkikisnya norma-norma Islam dalam tubuh mereka; perlu adanya pembenahan diri sedini mungkin, diawali dari diri sendiri, lalu setelah itu anggota keluarga, lingkungan sekitar dan masyarakat luas. (USM)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *