Oleh: Dr. H.M. Ma’rifat Iman, MA.
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI (2015-2020)
Momentum Rabi’ul Awwal mengingatkan kita pada satu catatan sejarah. Yakni bahwa, menurut dokumen historis, agenda khusus semacam peringatan Maulid Nabi saw. bermula dari masa Panglima Sholahuddin Al-Ayyubi. Ketika itu, tentara Islam yang dipimpinnya mengalami penurunan semangat jihad dalam Perang Salib mengusir musuh yang menguasai sebagian negeri Arab. Oleh karena itu, panglima ini berpikir keras, bagaimana cara agar dapat membangkitkan semangat pasukannya. Maka ia pun mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw., yang menyajikan tentang sejarah perjuangan Nabi saw. bersama para shahabatnya yang berjumlah sangat sedikit, menghadapi kaum kafirin yang banyak dan gigih menghalangi da’wah Islam. Namun dengan semangat berjihad di jalan Allah yang ikhlas karena Allah, Alhamdulillah, Allah pun membantu memenangkan perjuangan Rasulullah saw.
Di masa kita kini, peringatan Maulid Nabi saw. ini tetap relevan bagi kita semua guna membangkitkan semangat da’wah dan jihad fi sabilillah, perjuangan menegakkan Kalimah Allah dalam bentuk yang lebih luas. Bukan hanya jihad fisik dalam pengertian perang, walaupun di belahan bumi lain juga dituntut perjuangan atau bahkan perang secara fisik, seperti di Palestina menghadapi kaum Yahudi yang menjajah negeri Muslim itu.
Dalam konteks kita disini, justru yang lebih dibutuhkan adalah jihad fikir dan jihad ilmu, mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, menuntut kita umat Muslim untuk mengerahkan semangat jihad di bidang ini, agar tidak tertinggal dari kaum kafirin. Termasuk juga berjihad di lapangan moral, mengingat kondisi dekadensi moral yang kian memprihatinkan di sebagian kalangan masyarakat. Apalagi bila mengingat Rasulullah saw. diutus antara lain “Li-utammima makarimal-akhlak”, untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Dalam hadits Nabi saw. disebutkan: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (akhlakul-karimah).” (HR. Al-Baihaqi).
Maka peringatan dengan Maulid Nabi saw. diberikan, agar umat meneladani akhlak Nabi saw. yang mulia. Al-Quran telah menegaskan dalam ayat yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang sangat agung (mulia).” (QS. Al-Qalam: 4).
Jihad Halal
Tentu juga berjihad menjalani dan mengembangkan hidup yang halal bagi diri pribadi, keluarga dan masyarakat. Jihad ini tentu harus dengan mengikuti Nabi saw. yang telah memberikan panduan sekaligus teladan secara nyata dalam menjalani hidup dunia yang fana ini. Yakni menghindarkan segala yang syubhat, bersifat samar-samar, meragukan atau tidak jelas kehalalannya. Apalagi yang diharamkan dalam agama. Maka jelas, kita sebagai orang yang beriman kepada Nabi dan Rasul, tentu kita harus mencari rezeki yang halal, mengkonsumsi yang halal; dan perilaku serta gaya hidup secara umum, yang halal pula.
Bila seorang muslim mewujudkan apa yang dituntunkan dan diteladankan oleh Baginda Rasulullah saw. dalam hadits tersebut di atas maka ia akan dapat menjaga kehormatan dari celaan dan menjaga diri agar tidak jatuh ke dalam keharaman. Karena Beliau saw. juga telah bersabda yang artinya: “Siapa yang berhati-hati/menjaga diri dari syubhat maka sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya.”
Dalam hadits yang lengkap disebutkan, Diriwayatkan dari Abu ‘Abdillah An-Nu’man bin Basyir berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang syubhat (samar-samar), kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus ke dalam wilayah yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang, maka hampir-hampir dia terjerumus ke dalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Alloh apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” [HR. Bukhari no. 52, Muslim no. 1599].
Hidup Wara’, Sangat Berhati-hati
Bahkan contoh yang sangat jelas bisa kita ketahui, bagaimana Rasulullah saw. bersikap Wara‘, begitu berhati-hati, dan menjauhkan dirinya dari segala sesuatu yang dikhawatirkan berasal dari perkara yang syubhat, apalagi haram.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Abdullah bin ‘Umar menukilkan sebuah hadits dari Rasulullah saw., “Pada suatu malam Rasulullah saw. sulit tidur. Kemudian isteri beliau bertanya, “Apakah yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa tidur?” Rasulullah saw. pun menjawab: “Sesungguhnya aku menemukan di bawah bahuku sebutir kurma, maka aku makan, sedangkan di sisi kami ada kurma-kurma dari kurma sedekah (zakat), maka aku takut jika kurma tersebut adalah kurma dari sedekah.” (HR. Ahmad dari Abdullah bin ‘Umar).
Dalam riwayat yang lain dikemukakan: “Aku pernah datang menemui keluargaku. Kemudian aku dapatkan sebutir kurma jatuh di atas tempat tidurku. Aku pun mengambilnya untuk kumakan. Lalu aku merasa khawatir jika kurma itu adalah kurma sedekah, maka kuletakkan lagi kurma itu.”
Selain bagi dirinya sendiri, Beliau saw. juga berusaha menjauhkan cucunya dari makan sesuatu yang haram. Beliau melarang cucunya makan sekedar sebutir kurma yang berasal dari kurma sedekah –sementara sedekah diharamkan bagi keluarga beliau– dan memperingatkan sang cucu. Diceritakan pula oleh Abu Hurairah: “(Ketika) Hasan (cucu Nabi saw.) (masih kecil), ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah (zakat), lalu menjadikannya (masuk) ke dalam mulutnya, maka Nabi saw. memerintahkan: Kikh kikh. “muntahkan, muntahkan.” agar membuangnya kemudian beliau bersabda: “Apakah kau tidak merasa bahwa kami tidak makan sedekah.” (HR. Al-Bukhari dari Abi Hurairah).
Riwayat yang lain menyebutkan: Al-Hasan bin Ali menceritakan kepada Abul Haura’ bahwa ketika masih kecil ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah, lalu memakannya. Melihat hal tersebut kakek beliau yakni Rasulullah saw. segera mengeluarkan kurma itu dari mulut Al-Hasan dan membuangnya. Lalu seseorang bertanya kepada Rasulullah saw.: “Apa masalah wahai Rasulullah bila anak kecil ini memakan kurma tersebut?” Rasulullah saw. pun menjawab: “Sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidaklah halal memakan harta sedekah.”
Dalam hal ini, perlu diketahui dan dikemukakan lagi, Nabi Muhammad saw., keluarganya dan keturunannya dilarang menerima sedekah dan zakat, tetapi boleh menerima hadiah.
Subhanallah, betapa teladan Rasulullah saw. demikian luar biasa. Bahkan sebutir kurma pun harus dijaga dengan sikap wara’, sangat berhati-hati, bagi dirinya pribadi yang suci mulia, juga bagi semua keluarganya. Termasuk cucunya yang masih usia kanak-kanak sekalipun. Allahumma fasholli wa sallim ‘alayka ya Rasulallah. Betapa kami sering lalai dalam aspek konsumsi yang halal ini. Maka beri kami kemampuan ya Allah, agar dapat meneladani jejak-langkahmu ya Nabiyallah.
Dalam hadits lain, Nabi saw. bersabda dengan makna: “Jadilah kamu orang yang wara’, niscaya kamu akan menjadi manusia yang paling beribadah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abil-Iman dari Abi Hurairah nomor 5750, dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah 4217).
Amalan dan praktek hidup yang wara’ demikian, sangat berhati-hati terhadap segala yang dianggap syubhat, apalagi yang diharamkan dalam Islam, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan segenap keluarganya, semestinya juga diikuti sepenuh hati oleh setiap muslim, kita semua, yang menginginkan keselamatan dan kebaikan bagi anak-anak dan keluarga. Kasih sayang bukan berarti menuruti setiap tuntutan dan permintaan mereka, memberikan segala yang diinginkan, hingga melampaui atau melanggar batasan-batasan Rabb seluruh alam.
Menjelaskan tentang hal ini, Ath-Thibi (dalam Faidhul Qadir, 3/529) menyatakan: “Namun tentu yang dapat merasakan dan menimbang hal yang demikian ini hanyalah orang-orang yang memiliki jiwa yang bersih dari noda-noda dosa dan aib.” (USM)