Search
Search

Pemanfaatan Plasenta dan Terapi Urine, Bolehkah?

Penggunaan plasenta dan urine manusia untuk keperluan kosmetika dan kesehatan sudah menjadi tren sejak beberapa tahun yang lalu. Bagaimana hukumnya?

Plasenta diyakini memiliki banyak fungsi dan atau kegunaan. Bisa dijadikan sebagai bahan baku produk multifungsi, seperti kosmetik, obat-obatan dan kebutuhan medis lainnya.

Plasenta yang dalam Bahasa Jawa (sudah diadopsi sebagai Bahasa Indonesia) disebut juga ari-ari adalah organ yang berfungsi sebagai media nutrisi untuk janin dalam kandungan. Plasenta kaya akan kandungan darah, protein, hormon, dan zat lain. Plasenta yang digunakan dalam produk farmasi dan kosmetika, selain berasal dari manusia juga berasal dari hewan mamalia, seperti sapi, kambing, dan babi.

Selain penggunaan plasenta, hal lain yang menjadi perhatian masyarakat adalah penggunaan air kencing atau urine manusia untuk terapi kesehatan. Banyak orang yang minum urine untuk kesehatan dan dipercaya menjadi salah satu metode pengobatan dan perawatan tubuh.

Menurut sejumlah kajian, seperti dilansir hellosehat.com, terapi urine atau terapi air seni manusia sudah dikenal sejak beribu-ribu tahun lalu sebagai metode pengobatan dan perawatan diri. Pengobatan ini banyak ditemukan pada negara-negara di Asia seperti Cina, Mesir, dan India.

Beberapa penemuan juga menunjukkan bahwa terapi urine banyak dipraktikkan pada negara-negara di Afrika. Masyarakat zaman kuno percaya bahwa air seni mengandung berbagai khasiat yang menyehatkan dan mampu mengobati berbagai penyakit.

Mereka yang percaya dengan manfaat terapi urine menganggap bahwa air kencing dapat membantu mengatasi berbagai masalah kesehatan. Berikut adalah beberapa contoh umum penggunaan air seni sebagai bentuk pengobatan alternatif.

Misalnya untuk melawan sel kanker. Dalam pengobatan kanker, air seni dianggap ampuh sebagai agen untuk melawan sel kanker yang berkembang dalam tubuh. Ini disebabkan karena air seni penderita kanker dipercaya mengandung antigen tumor.

Antigen tumor adalah sejenis protein yang ditemukan pada darah penderita kanker. Antigen ini adalah salah satu faktor pemicu kanker. Dengan minum air seni yang mengandung antigen tumor, tubuh diharapkan akan semakin banyak memproduksi antibodi alami yang akan melawan pertumbuhan sel kanker.

Sebagian orang juga percaya bahwa air seni manusia memiliki sifat antibakteri. Ini karena air seni diduga mengandung zat-zat antibodi dan berbagai sel yang berperan untuk membentuk kekebalan tubuh.

Jika diminum, air seni diyakini bisa meredakan infeksi dalam tubuh yang disebabkan oleh bakteri. Infeksi bakteri yang terjadi di kulit juga dipercaya bisa disembuhkan dengan cara mengoleskan langsung air seni pada bagian yang mengalami infeksi.

Halal atau Haram?

Bagaimana pandanganan Islam tentang dua hal tersebut? Apakah penggunaan plasenta dan air seni manusia untuk kesehatan dan kosmetika dibolehkah?

Terkait dengan hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa Nomor: 2/MUNAS VI/MUI/2000 tentang Penggunaan Organ Tubuh Manusia, Ari-Ari, dan Air Seni Manusia untuk Kepentingan Obat-Obatan dan Kosmetika.

Dalam Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada tanggal 23-27 Rabi’ul Akhir 1421 H./25-29 Juli 2000 M telah dibahas tentang penggunaan organ tubuh, ari-ari dan air seni manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika.

Dikatakan bahwa sejumlah obat-obatan dan kosmetika diketahui mengandung unsur atau bahan yang berasal dari organ (bagian) tubuh atau ari-ari (tembuni) manusia. Menurut sebagian dokter, urine (air seni) manusia dapat menjadi obat (menyembuhkan) sejumlah jenis penyakit.

Masyarakat juga sangat memerlukan penjelasan tentang hukum menggunakan obat-obatan dan kosmetika seperti dimaksudkan di atas. Oleh karena itu, MUI memandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang hukum dimaksud untuk dijadikan pedoman.

Firman Allah Swt.: “… Maka, barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 3)

Hadis Nabi saw. menyatakan, antara lain: “Berobatlah, karena Allah tidak membuat penyakit kecuali membuat pula obatnya selain satu penyakit, yaitu pikun.” (HR. Abu Daud)

“Allah telah menurunkan penyakit dan obat, serta menjadikan obat bagi setiap penyakit; oleh karena itu, berobatlah dan janganlah berobat dengan benda yang haram.” (HR. Abu Daud).

“Sekelompok orang dari suku ‘Ukl atau ‘Urainah datang dan mereka tidak cocok dengan udara Madinah (sehingga mereka jatuh sakit), maka Nabi memerintahkan agar mereka diberi onta perah dan meminum air kencing dan susu unta tersebut…” (HR. Al-Bukhari)

Pendapat sebagian ulama juga menegaskan: Zuhri (w.124 H) berkata, “Tidak halal meminum air seni manusia karena suatu penyakit yang diderita, sebab itu adalah najis; Allah berfirman: ‘…Dihalalkan bagi kamu yang baik-baik…’” (QS. al-Ma’idah [5]: 5)”; dan Ibnu Mas’ud (w. 32) berkata tentang sakar (minuman keras), “Allah tidak menjadikan obatmu pada sesuatu yang diharamkan atasmu” (HR. Al-Bukhari). Kaidah Fiqh menegaskan bahwa kondisi darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (diharamkan).

Berdasarkan hal tersebut, maka MUI memutuskan bahwa: Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan penggunaan obat-obatan adalah mengkonsumsinya sebagai pengobatan dan bukan menggunakan obat pada bagian luar tubuh.

Penggunaan air seni adalah meminumnya sebagai obat. Penggunaan kosmetika adalah memakai alat kosmetika pada bagian luar tubuh dengan tujuan perawatan tubuh atau kulit agar tetap—atau menjadi—baik dan indah. Sedangkan yang dimaksud darurat adalah kondisi-kondisi keterdesakan yang bila tidak dilakukan akan dapat mengancam eksistensi jiwa manusia.

Penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia (juz’ul-insan) hukumnya adalah haram. Begitu juga penggunaan air seni manusia untuk pengobatan dengan cara diminum hukumnya adalah haram. Penggunaan kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya adalah haram.

Hal-hal tersebut di atas hanya boleh dilakukan dalam keadaan dharurat syar’iyah. MUI juga mengimbau, kepada semua pihak agar tidak memproduksi atau menggunakan obat-obatan atau kosmetika yang mengandung unsur bagian organ manusia, atau berobat dengan air seni manusia. (***)

Sumber: Fatwa MUI, Musyawarah Nasional MUI No. 2/MUNAS VI/MUI/2000

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *