Search
Search

Mengenal Umami, Produk Penghasil Rasa Umami dan Aspek Kehalalannya

Oleh Ir. Hendra Utama, MM. (Auditor Senior LPPOM MUI)

Umami adalah salah satu dari lima rasa dasar (basic taste) selain manis, pahit, asin, dan asam. Istilah ini berasal dari bahasa Jepang yang berarti gurih atau lezat. Istilah umami sendiri diperkenalkan oleh Profesor Kikunae Ikeda yang berasal dari akar kata umami bermakna “lezat” dan mi bermakna “rasa”.

Perjalanan Rasa Dasar: Tujuh-Empat-Lima

Ada masa-masa—bahkan berabad-abad—dunia barat mengidentifikasi dan meyakini ada tujuh rasa dasar. Rasa dasar tersebut adalah manis, asin, asam, pahit, astringent (antara rasa asam dan pahit yang memberikan efek kering di mulut), pungent (rasa dan bau yang pedas/tajam, misalnya rasa rempah), dan harsh (kasar/keras). Konsep tujuh rasa dasar ini berdasarkan pandangan orang Yunani kuno yang berasal dari pendapat Aristoteles.

Kemudian dengan seiring berjalannya waktu, pada abad ke-20, dunia barat mulai mengidentifikasi bahwa rasa dasar yang orisinal hanya empat yaitu manis, asin, asam, dan pahit. Tiga sisanya adalah efek mekanika dan kimiawi yang terjadi akibat pecah/rusaknya sel-sel makanan ketika dikunyah dan diolah di dalam rongga mulut.

Ketika negara barat sudah mulai meyakini adanya empat rasa dasar tersebut, beberapa negara Asia tetap memasukkan pungent atau rasa yang berasal dari rempah, salah satu contohnya: rasa cabai sebagai salah satu rasa dasar. India berdasarkan filosopi kulinernya juga meyakini keberadaan astringent sebagai rasa dasar yang lain. Keyakinan yang kita ketahui sudah ditinggalkan oleh dunia barat sejak abad ke-20.

Jepang dan Tiongkok di sisi yang lain mengidentifikasi rasa dasar yang berasosiasi dengan makanan yang enak sejak ribuan tahun sebelumnya. Lantas, sejak tahun 1909, di Jepang muncul istilah umami—seperti disinggung di awal tulisan—yang keluar mulut dari Kikunae Ikeda, ahli kimia yang mengidentifikasi umami yang menimbulkan rasa gurih itu.

Perlu waktu yang panjang bagi para ilmuwan untuk meyakini dan menerima umami sebagai rasa dasar. Hingga pada suatu ketika di tahun 1985, dalam sebuah simposium di Hawai, terminologi umami secara resmi diakui sebagai sebuah istilah ilmiah untuk menggambarkan rasa glutamat dan ribonukleotida. Saat ini, umami sudah secara luas diterima sebagai rasa dasar kelima. Umami merupakan rasa yang berasal dari asam amino L-glutamat dan 5’-ribonukleotida—contohnya guanosin monofosfat (GMP) dan inosin monofosfat (IMP).

Bahan-Bahan yang Memberikan Rasa Umami

Kalau melihat Jepang, Tiongkok, dan Eropa sejak dahulu kala, sebenarnya bahan-bahan yang memproduksi rasa umami sudah dikenal lama. Secara umum, rasa umami diperoleh dari bahan-bahan berkaldu yang mengandung glutamat dan ribonukleotida.

Sejarah mencatat glutamat telah digunakan dalam dunia kuliner selama berabad-abad. Contoh: kecap ikan (garum), yang memang kaya dengan glutamat sudah digunakan sejak Romawi kuno. Akhir abad ke-19, Chef Auguste Escoffier membuka restoran mewah di kota Paris dengan menciptakan menu yang menggabungkan umami dengan rasa asin, asam, manis, dan pahit. Namun, saat itu dunia memang belum mengetahui senyawa kimia apa yang menyebabkan rasa yang dipandang unik itu.

Ketidaktahuan ini berlangsug hingga Kikunae Ikeda menemukan glutamat adalah penyebab lezatnya kaldu dari ganggang laut kombu. Dia mengamati bahwa rasa kombu dashi berbeda dari rasa manis, asam, pahit, dan asin. Lalu keluarlah istilah yang bersejarah itu: umami.

Shintaro Kodama, murid Ikeda, pada tahun 1913 menemukan serutan bonito kering (dried bonito flakes) mengandung bahan yang juga memberikan rasa umami yang lain. Bahan itu adalah IMP ribonukleotida. Pada tahun 1957, Akira Kuninaka mengidentifikasi kehadiran GMP ribonukleotida dalam jamur shitake yang juga memberikan rasa umami.

Salah satu pencapaian penemuan Kuninaka yang paling penting adalah efek sinergis antara ribonukleotida dengan glutamat. Saat makanan yang kaya glutamat digabungkan dengan bahan lain yang kaya ribonukleotida, intensitas rasa yang ditimbulkan lebih tinggi daripada rasa bahan tersebut secara sendiri-sendiri.

Sinergi umami ini dapat menjelaskan beberapa pasangan makanan klasik yang memang digunakan selama ini bersama-sama. Di Jepang misalnya, dashi kombu digunakan berpasangan dengan serutan bonito kering atau dashi dengan miso. Di Tiongkok, sinergi itu didapatkan dari kombinasi dari daun bawang dan kol pada sup ayam. Lantas orang Italia menggabungkan penggunaan keju permessan pada saus tomat dengan jamur. Atau, kombinasi antara burger dan keju cheddar. Bisa pula berupa gabungan mirepoix (campuran bawang bombai, seledri, wortel, dan aromatic herbs) dan kaldu sapi.

Beberapa bahan alami yang kaya akan glutamat adalah berbagai macam sumber protein (teri, sapi, ayam, kerang-kerangan), berbagai macam sayuran (brokoli, jagung, wortel) berbagai macam keju (cheddar, emmental, parmesan), berbagai macam seasoning (kecap ikan, saos tomat, kecap, miso), dan berbagai bahan yang sering digunakan di dapur (shitake kering, jamur, kombu, nori, pekak).

Sementara bahan-bahan alami yang kaya IMP yaitu serutan bonito kering, sardin (baik kering atau basah), makarel, udang, dan tuna. Bahan-bahan natural yang kaya GMP yakni berbagai macam jamur (morel, tiram, porcini, shitake, matsutake) dan nori.

Dalam seni memasak Indonesia sendiri, rasa gurih didapatkan dari santan kelapa, bumbu kacang dan juga terasi, dikombinasikan dengan komponen rasa lainnya seperti asam dari asam jawa atau jeruk nipis, manis dari gula merah atau kecap manis, ditambah bumbu rempah menciptakan kombinasi rasa gurih yang kompleks. Petis pun dikategorikan sebagai produk yang menghasilkan rasa umami. Sensasi rasa umami dari bahan-bahan ini yang dicampur menjadi satu, melebihi rasa dari masing-masing bahan itu sendiri.

Hanya saja, untuk mengamplifikasi atau memperkuat rasa umami, kombinasi teknik, pemberian garam dan durasi memasak yang tepat juga menentukan. Hanya saja, dengan alasan kepraktisan, dunia pangan sudah menyediakan glutamat, IMP dan GMP dari hasil produksi masal dengan proses fermentasi atau produk mikrobial.

Sebagai penyedap rasa (flavor/taste enhancer) IMP dan GMP sudah jamak digunakan di dunia kuliner baik berupa IMP atau GMP saja,atau kombinasi keduanya sebagai I+G. Karena dua kombinasi (I+G) ini memang saling menguatkan rasa umaminya. Asam glutamat (dalam bentuk garamnya, berupa monosodium glutamat (MSG)) juga secara luas digunakan termasuk di dapur-dapur rumah tangga. Rasa umami dalam asam glutamat lebih ringan dibandingkan dengan bentuk garamnya (MSG).

Titik Kritis Ketidakhalalan

Walaupun dari bahan alami sekalipun, bahan atau produk yang menghasilkan rasa umami tetap mempunyai titik kritis ketidakhalalan. Sehingga perusahaan yang ingin menggunakan bahan atau produk tersebut untuk membuat produk halal, tetap harus menyadari bahwa ada titik kritis ketidakhalalannya.

Berikut penjelasan titik kritis ketidakhalalan dari beberapa bahan.

  1. Jika menggunakan produk-produk alami yang memberikan rasa umami maka yang kritis adalah produk asal hewan, terutama hewan yang mempersyaratkan penyembelihan seperti sapi, ayam, atau bebek. Jika menggunakan bahan-bahan yang berasal dari hewanhewan itu dalam industri pangan, restoran, atau dapur halal tentu ketersediaan sertifikat halal dari lembaga halal yang berwenang atau terpercaya adalah keharusan.
  2. Ribonukleotida berupa IMP, GMP, atau kombinasi keduanya sebagai I+G maka titik kritisnya adalah sama dengan titik kritis ketidakhalalan produk mikrobial secara umum yakni memastikan media pertumbuhan mikroba, bahan tambahan, dan bahan penolongnya menggunakan bahan-bahan yang memenuhi persyaratan halal sehingga ketersediaan sertifikat halal dari lembaga halal terpercaya juga menjadi keniscayaan.
  3. Vetsin atau monosodium glutamat (MSG)—sama dengan produk ribonukleotida—juga merupakan produk mikrobial yang kompleks dalam proses pembuatannya. Sehingga ketersediaan sertifikat halal dari lembaga halal terekognisi juga adalah jaminan atas status kehalalannya.
  4. Berbagai jenis keju, yang titik kritis ketidakhalalannya berasal dari bahan penggumpalnya (enzim dan starter culture) yang bisa berasal dari bahan hewani atau produk mikrobial. Oleh karena itu untuk memastikan status kehalalannya, diperlukan sertifikat halal dari lembaga halal yang terpercaya.
  5. Berbagai jenis seasoning—kecap, miso, saos tomat— yang merupakan produk mikrobial, yang tergantung juga dengan ingredient yang digunakan. Tentu, jika mempunyai sertifikat halal dari lembaga terpercaya akan terjamin status kehalalannya. (***)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *