Oleh: Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi, M.A.

(Guru Besar Emeritus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Anggota KF MUI)

Secara bilangan, usia setiap orang memang bertambah. Tetapi dengan ketetapan Allah, usia atau kesempatan hidup manusia justru semakin berkurang. Setiap waktu yang berlalu, berarti kian mendekati pada batas ketentuan yang telah Allah tetapkan. 

Dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 3: 185 Allah swt berfirman: Kullu nafsin dza-iqotul maut… “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” 

Lantas amal apakah yang telah dilakukan dan dipersiapkan sebagai bekal di akhirat yang kekal? Berkenaan dengan hal ini, Allah telah mengingatkan dalam ayat yang bermakna: “Maka adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)-nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)-nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.” (QS. Al-Qaari´ah, 101: 6-9).

Oleh karena itu, kita harus selalu melakukan muhasabah, evaluasi,dan introspeksi diri—sejauh mana konsumsi dan menjalani hidup yang halal benar-benar menjadi standar hidup yang kita amalkan dengan konsisten dan penuh komitmen. Agar dapat selamat, hidup berkah dunia wal akhirah. Muhasabah itu sendiri bisa dilakukan secara harian, pekanan, bulanan bahkan juga tahunan. Seperti masa akhir atau awal tahun yang baru berlalu.

Masalah konsumsi dan menjalani hidup halal ini sangat penting. Menentukan keselamatan hidup dunia maupun akhirat. Maka perlu selalu dievaluasi, muhasabah dan mujahadah. Berjuang untuk konsumsi yang halal, dan mencarinya dengan cara yang halal pula. Sebab, bila hidup bercampur dengan yang haram, meskipun mungkin dianggap kecil, sedikit dan remeh; niscaya kecelakaan yang mendera, dunia yang fana sampai hari kemudian yang tiada berhingga. Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah bahwa Rasulullah saw. bersabda, dengan makna: “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka lebih utama atasnya.” (HR. Tirmidzi).

Oleh karena itu, kita harus mengkonsumsi makanan atau rezeki yang benar-benar halal, dan mencarinya dengan cara kerja atau profesi yang halal pula. Tidak bercampur dengan yang haram sedikitpun. Menurut para ulama, secara garis besar, makanan yang haram dan harus dihindarkan itu, ada dua macam: “Haram li-dzaatihi”, haram dari sisi dzatnya. Dan “Haram li-ghoirihi”, haram cara mendapatkannya. 

“Haram li-dzaatihi”

Tentang “Haram li-dzaatihi” dalam aspek makanan, disebutkan secara tegas di dalam Al-Qur’an. Di antaranya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala…” (QS. Al-Maidah, 5: 3).

Dan khamr untuk ketegori minuman: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah, 5: 90).

Dengan perkembangan ilmu dan teknologi masa kini, bahan-bahan konsumsi yang diharamkan dalam Islam ini, terutama khamar dan babi, ternyata telah merasuk ke hampir semua jenis produk pangan yang dihasilkan oleh industri pengolahan pangan. Menggunakan berbagai bahan dari berbagai sumber yang tidak jelas kehalalannya. Sehingga berakibat boleh jadi tidak semua produk pangan itu terjamin kehalalannya untuk dikonsumsi oleh umat Muslim. 

Namun sebagai Muslim tentu kita harus mencari bahan konsumsi yang benar-benar halal. Solusinya, melihat adanya tanda label atau logo halal dari MUI, sebagai bukti bahwa secara dzatiyah atau material, produk tersebut telah memperoleh Sertifikat Halal. Yakni melalui proses sertifikasi halal dan penetapan fatwa halal, oleh lembaga yang berwenang di negeri kita. 

Lalu, untuk mengkonfirmasi validitas Sertifikat Halal dengan logo halal yang dipasang pada kemasan produk, bisa dicek di Daftar Produk Halal di laman atau situs Halalmui.org. Sedangkan untuk produk restoran, bisa diperiksa dengan melakukan scanning pada QR Code Halal yang dipasang di restoran. Sehingga tidak ada alasan lagi untuk mengatakan sulit mencari dan mengkonsumsi yang benar-benar halal.

“Haram li-ghoirihi”

Sedangkan “Haram li-ghoirihi” mencakup berbagai praktik kehidupan yang sangat luas. Sebagiannya dirangkum dalam makna ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang saling meridhoi, berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisaa’, 4: 29).

Selanjutnya, dalam Shahih Muslim, diriwayatkan dari Iyadh al-Mujasyi’i, Rasulullah saw. bersabda dalam khotbahnya, “Ketahuilah sesungguhnya Rabb-ku telah menyuruhku untuk mengajarkan kalian hal-hal yang kalian tidak ketahui.”

Kemudian Beliau saw. menyebutkan, “Ada lima kelompok penduduk neraka.” Beliau menyebutkan salah satunya adalah: “Pengkhianat yang jelas ketamakannya, meski tidak jelas kecuali ia pasti mengkhianatinya. Orang yang di pagi dan sore hari selalu menipumu berkaitan tentang keluarga dan hartamu.”

Sebagai contoh, dalam kehidupan nyata, adalah praktik korupsi. Akibat buruk yang ditimbulkan oleh ulah para koruptor sangat merugikan masyarakat. Betapa banyak orang menjerit kecewa lalu mengutuk para pelaku koruptor karena merasa sangat dirugikan. Tak kurang pula orang meregang nyawa menunggu kedatangan bantuan, namun bantuan yang ditunggu tak kunjung tiba, karena habis digerogoti oleh oknum-oknum petugas yang bermental korup. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya.” (HR. Ahmad dan ad-Dârimi).

Begitu tega hati mereka melihat orang lain bergumul dengan penderitaan. Tidakkah mereka sadari bahwa kenikmatan dunia yang mereka kejar-kejar itu hanyalah kenikmatan semu yang akan mereka tinggal ketika ajal mendatangi mereka. Selanjutnya tinggallah beban tanggung-jawab yang masih di atas pundaknya. Dia akan ditanya tentang hartanya. Rasulullah saw. mengingatkan: “Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara: Tentang umurnya, untuk apa ia habiskan? Tentang jasadnya, untuk apa ia gunakan? Tentang hartanya, darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia menafkahkannya? Dan tentang ilmunya, apakah yang telah ia amalkan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ad-Dârimi). 

Contoh lainnya, dalam satu Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Rasulullah pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas makanan agar orang dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim).

Jika Nabi saw. menegur dan melarang seseorang menyembunyikan sebagian makanan yang rusak, menaruh bagian yang jelek di bawah dan bagian yang masih bagus di atas, lalu bagaimana pula dengan orang yang mengubah tanggal kadaluarsa atau memalsukan makanan? Jelas, yang begitu termasuk penipuan terhadap konsumen. Melakukan kerusakan. Dan memakan harta orang lain dengan cara yang haram. Begitu juga dengan orang yang mengatakan bahwa makanan haram lalu dikatakan halal, sesuai syariat, dll. Ini semua adalah tindakan mencari nafkah dengan cara yang batil. Memakan harta manusia dengan cara yang haram.

Selain itu, dapat disaksikan pula di masa ini, betapa menjamurnya usaha-usaha yang diharamkan agama, seperti: perjudian, praktik perdukunan, para wanita tuna susila, hasil perdagangan dari barang-barang yang diharamkan semisal khamr, rokok dan narkoba, hasil pencurian dan perampokan, tidak jujur dalam perdagangan dengan penipuan dan mengurangi timbangan, memakan riba, memakan harta anak yatim, suap, korupsi, kolusi“. 

Padahal Rasulullah saw. telah mengingatkan kita, “Demi Allah, bukanlah kefaqiran yang aku takutkan menimpa kalian. Akan tetapi, yang aku takutkan adalah terbukanya dunia bagi kalian, sebagaimana telah terbuka bagi umat-umat sebelum kalian. Sehingga kalian akan berlomba-lomba, sebagaimana mereka telah berlomba-lomba. Demikian itu akan menghancurkan kalian, sebagaimana juga telah menghancurkan umat sebelum kalian.“ (Muttafaqun ‘alaih).

Namun para pemburu dunia yang tamak, telah menempuh jalan menyimpang dalam mencari harta. Mereka lakukan dengan cara batil, melakukan tipu daya, memanipulasi, dan mengelabuhi orang-orang yang lemah. Bahkan ada yang berkedok sebagai penolong kaum miskin, tetapi ternyata melakukan pemerasan, memakan harta orang-orang yang terhimpit kesusahan, seolah tak memiliki rasa iba dan belas kasih. Berbagai kedok ini, mereka namakan dengan pinjaman lunak, gadai, lelang, atau yang lainnya. 

Agaknya masih banyak lagi praktik memakan harta orang lain dengan cara haram yang terjadi di tengah masyarakat kita. Orang-orang tersebut tidak peduli. Mereka tidak takut akan hari dimana ia nanti dihadapkan kepada Allah untuk mempertanggung-jawabkan apa yang telah ia lakukan.

Lihatlah sekarang ini, begitu banyak orang-orang yang pintar namun licik dengan memakan harta orang lain. Bahkan ada di antaranya yang mempermasalahkan dan membawanya ke hadapan hakim. Ditempuhlah berbagai cara, supaya bisa mendapatkan harta yang bukan menjadi haknya. Padahal, barangsiapa mengambil bagian hak milik orang lain, maka hakikatnya dia telah mengambil bagian dari bara api neraka.

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui“. (QS. Al-Baqarah, 2:188).

Sabda Nabi saw., “Barangsiapa merampas hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan baginya surga,” maka salah seorang bertanya,”Meskipun sedikit, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”Ya, meskipun hanya setangkai kayu sugi (siwak).” (HR. Muslim).

Kepada para majikan juga diingatkan, Janganlah menyunat upah para pegawai, atau malah enggan membayarnya. Ketahuilah, para pegawai yang telah bekerja tersebut, mereka telah mengorbankan pikiran, waktu dan tenaga untuk Anda. Para pekerja itu juga memiliki tanggungan anak dan isteri yang harus dinafkahi. Rasulullah saw. telah mengingatkan, “Berilah upah kepada para pegawai sebelum kering keringatnya.“ (HR. Ibnu Majah).

Ingatlah, kekayaan tidak disebabkan harta yang melimpah. Sebab, betapa pun banyak harta dicari dan dimiliki, apalagi dengan cara yang haram, orang tak akan pernah kenyang dan puas. Bagaikan orang haus meminum air laut. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 6439 dan Muslim no. 1048).

Namun kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan yang terdapat pada jiwa. Yaitu jiwa yang selalu qana’ah dan menerima dengan lapang dada setiap pemberian Allah kepadanya, sebagaimana sabda Nabi saw., “Sungguh beruntung orang yang telah berserah diri, diberi kecukupan rezeki dan diberi sifat qana’ah terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya.“ [HR. Muslim]. Dengan sifat qana’ah ini, seorang muslim bisa menjaga diri dalam mencari rezeki dengan koridor halal. (USM)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.