Search
Search

Ibadah Haji Meneguhkan Ikrar Hidup Halal

Oleh: Prof. Dr. Hj. Khuzaemah T. Yanggo

(Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta, Ketua MUI Pusat)

Pada momentum Asyhurul-Hurum (bulan-bulan haram) saat ini, terutama bulan Dzulqoidah dan Dzulhijjah, kita sebagai orang beriman, khususnya yang merasa mampu dan memenuhi persyaratan, diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah Al-Mukarromah: … manis tatho’a ilaihi sabiila… Perhatikanlah makna ayat yang menyatakan: “Mengerjakan (ibadah) haji itu adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji itu), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran, 3: 97). (HalalMUI)

Dalam ayat yang lain dijelaskan: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqoroh, 2:197).

Dari ayat tersebut dapat dipahami, persyaratan itu mencakup kemampuan memperoleh bekal secara material, semisal memiliki ongkos perjalanan menuju tanah suci sampai kembali ke tanah air, punya bekal untuk biaya hidup selama perjalanan maupun untuk keluarga yang ditinggalkan, serta kondisi aman di perjalanan, sehingga dapat dilalui sampai tujuan. Juga mampu secara immaterial: badan sehat, tidak menderita penyakit yang akut, dan kuat secara fisik. Karena pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci Makkah itu sangat menuntut kemampuan fisik yang prima. Misalnya untuk Thawaf, berjalan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran untuk setiap kali Thawaf, Sa’i dengan berjalan atau bahkan berlari-lari kecil dari Shofa ke Marwa, Wukuf di Arafah, melempar jumroh, dll. Juga sehat dari sisi mental-spiritual, tidak mengalami gangguan atau sakit jiwa.

Harus dengan Rezeki yang Halal

Dalam melaksanakan ibadah haji itu, ongkos perjalanannya, akomodasi makan-minumnya, pakaian ihram yang dikenakan, dan lain-lainnya, tentu harus bersumber dari rezeki yang halal. Diperoleh dengan usaha dan cara yang halal, serta dipergunakan untuk yang halal pula. Dan sejatinya, memang, semua amal-ibadah secara umum, tentu harus memperhatikan kaidah halal ini. Sebab, kalau tidak halal, ibadah yang dikerjakan niscaya tidak akan diterima Allah. Bahkan ditolak. Dan dalam konteks ibadah haji, bukan menjadi haji yang Mabrur, diterima Allah dan mendapat kebaikan dunia wal akhirah, tetapi justru Mardud (tertolak). (HalalMUI)

Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah saw. telah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rasul, maka Allah telah berfirman: Wahai para Rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal shalih. Dan Dia berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.’ Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhan, wahai Tuhan”, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana orang seperti ini dikabulkan do’anya.” [HR. Muslim].

Dari hadits yang mulia ini dapat dipahami, orang yang mengerjakan ibadah haji dengan harta yang tidak jelas kehalalannya, apalagi kalau dengan rezeki yang haram, niscaya akan tertolak. Bahkan menjadi haji yang mardud.

Ibroh dan Hikmah Ibadah Haji

Sebagai kewajiban agama, salah satu dari Rukun Islam yang lima, ibadah haji itu memberikan ibroh dan hikmah yang sangat banyak. Di antaranya, merupakan momen pertemuan dan sarana silaturahim guna penyatuan visi dan misi hidup umat Islam seluruh dunia. Dapat mengetahui dan melihat secara langsung situs-situs sejarah perjuangan dakwah Nabi Muhammad saw. bersama para shahabatnya, sehingga diharapkan para jemaah haji akan dapat turut merasakan serta menghayati beratnya perjuangan mereka dalam mengembangkan syiar Islam. Dengan demikian, para jemaah haji tentu akan bertambah keimanan mereka, dan lebih bersungguh-sungguh lagi dalam mengamalkan tuntunan agama ini. Juga berusaha melanjutkan estafet dakwah yang diemban bersama, mengikuti contoh yang telah diteladankan oleh para pendahulu mereka, yaitu para shahabat dan salafush-shalih yang mulia. (HalalMUI)

Secara praktikal, para jemaah haji atau umrah di Tanah Suci Makkah selalu mengumandangkan Kalimah-kalimah Talbiyah berulang-ulang. Dalam hadits Nabi saw. yang diriwayatkan Jabir bin Abdullah, ia berkata tatkala menjelaskan sifat haji Nabi saw., “Kemudian beliau mengawali dengan Kalimah Tauhid, ‘Labbaika allahumma labbaik, Laa syariika laka labbaik. Innalhamda wan-ni’mata laka wal mulk, laa syariikalak (Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanyalah kepunyaan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu).” (HR. Muslim).

Kalimah Talbiyah itu harus diucapkan berkali-kali, merupakan bagian dari syiar Haji atau Umrah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah, 5: 2).

Sejatinya, semua orang beriman telah dipanggil oleh Allah untuk mengerjakan ibadah haji, sebagaimana disebutkan di dalam ayat Al-Qur’an: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah…” (QS. 2:196). Perhatikanlah pula makna ayat: Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj, 22: 27).

Ikrar untuk Hidup Halal sebagai Pakta Integritas

Dengan panggilan itu, lalu orang-orang yang beriman pun berangkat ke Tanah Suci Makkah, menunaikan ibadah haji, memenuhi panggilan Allah itu. Kemudian secara lafzhiyah  mengumandangkan Kalimah Talbiyah. Secara lebih konkrit lagi ucapan Kalimah Talbiyah yang berulang-ulang itu berarti berikrar memenuhi panggilan Allah untuk menaati semua tuntunan Agama-Nya, dengan mengikuti contoh-teladan Nabi saw. Dan secara hakikat, itu berarti berikrar sekaligus sebagai manifestasi amal memenuhi panggilan Allah, untuk menjalani hidup yang halal, sesuai dengan tuntunan agama Allah. (HalalMUI)

Setiap jemaah haji di Tanah Suci, yang akan berangkat ibadah haji, maupun baru sekedar berniat untuk melaksanakan kewajiban agama ini, mengumandangkan kalimat-kalimat Talbiyah ini. Kita yang beriman tentu harus menghayati makna yang terkandung di dalamnya. Agar menjadi orang yang benar dalam bertalbiyah, kata-kata yang diucapkan sebagai ikrar itu tentu harus sesuai dengan kenyataan amal yang dilakukan. Boleh dikata, ikrar itu sebagai janji setia, atau semacam pakta integritas bagi para pegawai di perusahaan/organisasi tempatnya bekerja. Bahkan lebih kuat lagi dari sekedar Pakta Integritas yang bersifat duniawi. Karena ikrar atau janji setia itu adalah kepada Allah, yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui, dengan konsekuensi dunia dan akhirat. Yakni benar-benar berpegang teguh dengan ajaran Tauhidullah. Menjauhi segala hal yang dapat membatalkan Tauhid. Sehingga dengan ibadah haji yang dikerjakan, dapat menjadi haji yang mabrur, insyaAllah.

Bila ikrar hidup halal ini diimplementasikan secara konsisten penuh komitmen oleh para jemaah haji, dan umat Islam secara umum, sebagai komponen bangsa, pada gilirannya niscaya akan dapat memperbaiki kehidupan kita berbangsa dan bernegara, dengan kehidupan yang halal, penuh berkah dunia wal akhirah. Sebagaimana diisyaratkan Allah dalam ayat yang bermakna: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf, 7:96).

Lebih lanjut lagi, dalam hadits Nabi saw yang populer disebutkan, haji yang mabrur itu ganjarannya adalah surga: “Dan haji mabrur itu, tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim). Imam An-Nawawi menjelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur itu, tidak cukup jika ganjaran bagi pelakunya hanya sekedar dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk masuk surga.” Hal itu berarti orang yang telah menunaikan haji akan terdorong untuk selalu berbuat dan beramal yang lebih baik, lebih bertaqwa dari sebelum haji. Karena ritual-ritual haji yang dilakukan juga merupakan bentuk pelatihan dan pembinaan akhlak agar menjadi lebih baik. Dengan demikian, perbaikan hidup bangsa pun menjadi lebih nyata. (HalalMUI)

Lantas, kalau kita melihat ada orang yang telah menunaikan ibadah haji, tetapi ternyata masih juga melakukan maksiat. Maka hasil itu memang sangat tergantung pada diri pribadi yang bersangkutan. Karena ada orang yang dapat istiqomah di jalan Allah, tetapi banyak juga yang mudah tergelincir pada maksiat. Tergantung pada kadar keimanannya. Imam Asy-Syaafi’i, dalam al-Hilyah, menyatakan dengan ungkapan yang poluler, al-imanu qoulun wa ‘amalun, yaziidu wa yanqushu; “Iman itu adalah perkataan dan perbuatan (yang bisa) bertambah dan berkurang.” Ya, iman itu bisa meningkat, tambah kuat, atau malah melemah, berkurang. Selain itu juga memang setan selalu berusaha menggoda dan menyesatkan manusia dari jalan Allah, agar dapat menjadi temannya bersama di neraka. Na’udzubillahi min dzalik.

Maka jelas kita semua, terutama bagi para jemaah yang pulang dari haji, harus berusaha mempertahankan nilai-nilai ibadah haji yang telah dikerjakannya, sepulang dari haji dan seterusnya, sepanjang nafas kehidupannya hingga ketentuan Allah tiba: “Dan beribadahlah (sembahlah) Tuhanmu sampai datang kepadamu (hal) yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr, 15:99). (HalalMUI)

Seperti halnya kewajiban ibadah puasa pada bulan Ramadhan, menahan hawa nafsu dari segala yang membatalkan puasa secara rukun maupun maknawiyah. Sehingga diharapkan hasilnya: la’allakum tattaquun, menjadi orang yang bertaqwa. Dan nilai ketaqwaan ini tentu harus dijaga sepanjang hayat: walaa tamutunna illa wa antum muslimuun, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan menjalankan tuntunan agama Islam: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran, 3:102).

(HalalMUI)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *