Dalam ajaran Islam, saling memberi hadiah adalah hal yang disunahkan. Hal ini sebagai manifestasi persahabatan, penghormatan dan kasih sayang antar-sesama manusia. Bagaimana dengan pemberian hadiah berupa barang gunaan? Berikut penjelasan Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. Dr. KH. Asrorun Niam Sholeh.
Memberi dan menerima hadiah bukan sekadar sopan santun atau bentuk basa-basi dalam budaya Islam. Lebih dari itu, ia adalah bagian dari ajaran Rasulullah saw. yang mengandung nilai spiritual dan sosial yang sangat dalam. Dalam salah satu haditsnya, Nabi saw. bersabda, “Hendaknya kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al-Bukhari).
Hadiah menjadi medium untuk menumbuhkan cinta, menguatkan ikatan ukhuwah, dan menebar kasih sayang antar-sesama. Tak heran jika umat Islam dianjurkan untuk tidak hanya memberi, tetapi juga menerima hadiah dengan lapang dada dan hati yang bersih.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah saw. bersabda, “Penuhilah undangan, jangan menolak hadiah, dan janganlah menganiaya kaum muslimin.” Anjuran ini menegaskan bahwa hadiah adalah bentuk kebaikan yang tidak boleh dipandang sebelah mata.
Bahkan, dalam riwayat lain yang lebih spesifik, Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang sampai kepadanya sebuah kebaikan dari saudaranya dengan tanpa meminta dan tamak, hendaklah dia menerimanya dan tidak menolaknya, karena sesungguhnya itu merupakan rezeki yang Allah Azza wa Jalla kirimkan kepadanya.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Shahih At-Targhib wat Tarhib). Hadiah, dalam konteks ini, bukan hanya pemberian manusia, melainkan bisa menjadi saluran rezeki dari Allah SWT.
Namun, semulia-mulianya anjuran tersebut, Islam tetap memberikan batasan dan panduan yang jelas. Tidak semua hadiah boleh diterima begitu saja. Jika hadiah tersebut mengandung unsur yang diharamkan, baik dari sisi zat maupun proses perolehannya, maka umat Islam wajib bersikap hati-hati.
Hadiah yang dimaksudkan sebagai suap, gratifikasi jabatan, atau yang berupa makanan dan minuman haram, jelas tidak bisa diterima. Islam tidak melihat hadiah semata-mata dari niat pemberinya, tetapi juga dari substansi dan dampaknya bagi penerima. Dalam Islam, kebaikan tidak bisa tumbuh dari sesuatu yang batil.
Karena itulah, menjadi penting untuk memahami konteks kehalalan hadiah, terlebih jika berbentuk barang gunaan seperti pakaian, perlengkapan ibadah, kosmetik, atau alat rumah tangga. Dalam keseharian, barang-barang ini mungkin tampak remeh, namun jika mengandung bahan najis atau berasal dari proses yang tidak sesuai syariat, bisa berdampak pada keabsahan ibadah dan kesucian diri seorang muslim.
Al-Qur’an pun dengan tegas melarang konsumsi sesuatu yang haram, sebagaimana tertulis dalam surat Al-Maidah ayat 3, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah…” Ayat ini, meski ditujukan pada makanan, juga menjadi landasan bagi pentingnya menghindari segala sesuatu yang haram, baik dimakan maupun digunakan. Sebab dalam Islam, menjaga kesucian lahir dan batin adalah bagian dari kepatuhan terhadap Sang Pemberi Rezeki.
Barang Gunaan: Dimensi Baru dalam Konteks Halal
Di tengah meningkatnya kesadaran umat Islam terhadap pentingnya kehalalan dalam setiap aspek kehidupan, barang gunaan menjadi dimensi baru yang tak bisa diabaikan. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), termasuk dalam kategori produk yang wajib dijamin kehalalannya—dan akan berlaku penuh mulai 17 Oktober 2026.
Merespons hal ini, LPH LPPOM menyediakan program Halal On 30 yang dapat diikuti melalui tautan bit.ly/HalalOn30, di mana proses sertifikasi halal dapat dipahami secara lengkap hanya dalam 30 menit. Layanan uji jenis kulit juga dibuka oleh Laboratorium LPPOM MUI yang sudah terakreditasi ISO/IEC 17025:2017 untuk memastikan keaslian, kualitas, dan kehalalan produk berbahan kulit. Informasi lengkap dapat diakses di https://e-halallab.com/.
Barang gunaan yang dimaksud bukan sembarang benda. Ini adalah produk-produk yang tidak dikonsumsi, tetapi digunakan secara langsung oleh manusia, khususnya oleh umat Islam dalam aktivitas ibadah dan kehidupan sehari-hari. Bila bahan-bahannya berasal dari unsur hewani seperti kulit sapi, kambing, atau bahkan hewan-hewan eksotis maka kehalalannya menjadi krusial, bukan hanya untuk menjaga kesucian ibadah seperti shalat, tapi juga sebagai bentuk ketaatan pada prinsip syariah dalam penggunaan barang.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. Dr. KH. Asrorun Niam Sholeh, MA, menegaskan bahwa dalam Islam, halal bukan hanya urusan makan dan minum. “Halal itu separuh dari urusan keagamaan,” tegasnya. Dalam pertimbangan hukum syar’i, pemanfaatan unsur hewani untuk barang gunaan harus terjamin kesuciannya.
Pemanfaatan unsur hewani yang ma’kul al lahm (dagingnya boleh dimakan) dan disembelih secara syar’i untuk barang gunaan hukumnya boleh. Adapun pemanfaatan kulit bangkai hewan, baik hewan yang ma’kul al-lahm maupun yang ghair ma’kul al-lahm (dagingnya tidak boleh dimakan) untuk bahan gunaan hukumnya boleh setelah disucikan melalui penyamakan. Kecuali kulit anjing, babi, dan yang lahir dari keduanya atau salah satunya yang jelas-jelas haram.
Kulit sapi, misalnya, jika tidak disembelih secara syar’i maka zatnya dianggap najis. Namun, melalui proses penyamakan, kulit tersebut bisa menjadi suci dan layak digunakan, meskipun tetap tidak boleh dikonsumsi. Inilah mengapa, menurutnya, pemastian kehalalan harus ditempuh melalui pendekatan fikih yang mendalam dan diaudit secara profesional.
Lebih lanjut, Kiai Niam menjelaskan pentingnya memahami perbedaan antara keharaman konsumsi dan keharaman penggunaan. Tidak semua yang haram dimakan otomatis haram digunakan. Buaya, misalnya, termasuk hewan yang haram dikonsumsi, tetapi kulitnya bisa jadi tidak haram untuk dimanfaatkan sebagai bahan sepatu atau tas selama memenuhi syarat-syarat tertentu dalam fikih. Sebaliknya, tidak semua yang najis secara zat itu tak bisa dimanfaatkan. Dalam kasus kulit hewan yang tidak disembelih secara syar’i, penyamakan menjadi metode pensucian yang telah dibenarkan oleh syariat.
“Di sinilah pentingnya pemahaman mengenai aspek syar’i yang kemudian diturunkan di dalam bentuk mekanisme pemeriksaan atau audit. Ada jenis hewan yang haram untuk dikonsumsi seperti buaya, tetapi tidak semua yang haram dikonsumsi itu haram untuk digunakan. Lagi-lagi di sinilah pentingnya pemastian aspek kehalalan dalam hal barang gunaan,” ujarnya. Karena itu, edukasi mengenai fiqih pemanfaatan barang menjadi sangat penting, agar umat tidak keliru dalam mengambil sikap, terlebih saat menerima hadiah yang wujudnya berupa barang gunaan.
Hadiah Halal Perlu Disertai Niat Baik dan Verifikasi
Soal pemberian hadiah, prinsipnya untuk membangun keakraban kita memang dianjurkan untuk saling memberi hadiah. Tetapi pada saat memberikan hadiah harus juga dipastikan hadiahnya itu yang memiliki nilai atau terpercaya. Di dalam konteks Islam yang memiliki nilai itu salah satu pertimbangannya adalah layak untuk digunakan. Barang tersebut diperolehan secara halal, begitu juga secara zatnya dan bisa digunakan.
“Kalau ketahuan misalnya hadiah itu dari barang curian ya kita tidak boleh menerima atau hadiah itu sudah jelas-jelas sesuatu yang diharamkan. Maka sikap kita memberitahu bahwa itu diharamkan untuk kita. Yang penting komunikasinya dilakukan secara baik. Di sinilah pentingnya edukasi baik pemberi maupun penerima hadiah,” kata Kiai Niam.
Ditambahkan, ada kondisi-kondisi tertentu yang dipersyaratkan dalam pemberian hadiah. Kita tidak boleh menerima hadiah yang terkait dengan jabatan yang bisa jadi mempengaruhi keputusan, itu nanti bisa masuk kategori gratifikasi. Hadiah kepada pemegang otoritas atau kepada pejabat itu juga terlarang secara syar’i. Ada juga pemberian hadiah yang secara material dia haram atau najis, ini juga tidak diperkenankan.
Oleh karena itu, orang yang memberi hadiah juga harus mengetahui jenis hadiah yang akan diberikan adalah hadiah yang memang halal dan juga layak untuk bisa digunakan. Dalam konteks barang konsumsi, dia harus layak konsumsi, tidak kadaluarsa dan halal.
Akan tetapi kalau tidak tahu kehalalannya, maka kewajiban kita mencari tahu. Cara paling sederhana adalah dengan memastikan apakah itu sudah memperoleh sertifikasi halal atau belum. Atau setidaknya barang yang akan digunakan itu ada rekomendasi kesesuaian syariah di dalam penggunaan dan juga pemanfaatannya. “Karena bisa jadi dia tidak terkait dengan pangan, tetapi terkait dengan kebolehan penggunaan,.” jelas Kiai Niam. (SFL)
Sumber : https://halalmui.org/jurnal-halal/174/