Jasa logistik termasuk jasa yang ikut bertanggung jawab dalam mengendalikan kegiatan penyimpanan, transportasi, dan pendistribusian di luar pabrikan.
Bagaimana pun dari aspek kehalalan, ketiga kegiatan ini termasuk kritis. Oleh karena itu, jasa logistik termasuk dalam objek yang harus disertifikasi halal pula.
Berdasarkan UU Nomor 33/2014 yang kemudian diperbaharui dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 22/2022 (yang belakangan sudah disahkan menjadi UU oleh DPR-RI), kelompok produk yang harus terjamin kehalalannya adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Jaminan kehalalan itu dalam bentuk sertifikat halal yang memberi keyakinan pada penggunanya bahwa proses produk halal termasuk rangkaian kegiatan dalam penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk sudah memenuhi kriteria halal.
Dari regulasi tersebut terlihat bahwa tuntutan jaminan kehalalan memang tidak terbatas pada penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan bahan dan produk, serta pengemasan produknya, yaitu kegiatan kritis di pabrikan saja. Lebih jauh daripada itu di dalamnya mengikutkan semua kegiatan kritis yang jika tidak dikontrol akan dapat mengontaminasi bahan/produk halal dengan bahan-bahan haram dan najis.
Termasuk kegiatan kritis yang tidak dilakukan oleh produsennya, yakni oleh pihak lain yang mempunyai risiko ketidakhalalan pada produk yang tersertifikasi tersebut. Itulah letak pentingnya mengapa dari sisi jasa pun perlu terjamin kehalalannya yakni jasa-jasa yang berhubungan langsung dengan produk yang terkena kewajiban sertifikasi halal tersebut, termasuk jasa penyimpanan, transportasi dan pendistribusian bahan dan produk halal, penjualan dan penyajiannya, yang biasanya tidak dikerjakan langsung oleh produsennya. Ada sederet persyaratan yang harus dipenuhi pelaku usaha jasa logistik jika ingin mendapatkan sertifikat halal.
RUANG LINGKUP LOGISTIK HALAL
Per definisi, yang termasuk dalam ruang lingkup kegiatan logistik halal adalah proses penanganan arus bahan dan produk melalui rantai pasokan sesuai dengan standar halal. Artinya dengan penanganan yang terkendali maka semua kegiatan logistik bisa bebas dari najis yang dapat mengontaminasi bahan/produk halal.
Dalam penerapan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) pada jasa logistik halal bisa mencakup kendali pada area utama sebagai berikut:
- Pergudangan
- Transportasi
- Distribusi
- Fasilitas Produksi
PERSYARATAN SERTIFIKASI HALAL JASA LOGISTIK
Sama seperti pelaku usaha yang lain, untuk mendapatkan sertifikat halal, jasa logistik pun harus memenuhi kriteria Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH). Ada lima kriteria SJPH, yaitu:
1. Kriteria Komitmen dan Tanggung Jawab yang di dalamnya terdapat pengaturan tentang kebijakan halal, tim manajemen halal dan pembinaan sumber daya manusia.
Kebijakan halal adalah komitmen tertulis dari pimpinan puncak perusahaan untuk senantiasa secara konsisten menjaga jasa logistiknya memenuhi persyaratan halal. Tim manajemen halal adalah tim yang bertanggung jawab dalam penyusunan, penerapan, dan perbaikan berkelanjutan penerapan SJPH. Pembinaan sumber daya manusia dilaksanakan dalam bentuk pelatihan untuk semua karyawan yang terlibat dalam kegiatan kritis.
Penerapan SJPH bukanlah tanggung jawab perorangan namun menjadi tanggung jawab bersama dari manajemen puncak, manajemen madya, hingga karyawan yang terlibat dalam kegiatan kritis. Oleh karena itu, manajemen puncak harus menyediakan sumber daya untuk mendukung penerapan SJPH berupa fasilitas fisik, pelatihan, dan dukungan pembinaan berkesinambungan untuk membangun kesadaran halal, termasuk memberikan jalan keluar untuk isu-isu yang bukan merupakan kewenangan manajemen madya.
Sementara manajemen madya bertugas menerjemahkan kriteria dan konsep SJPH tersebut dalam bentuk penyusunan, penerapan, dan perbaikan berkelanjutannya. Karyawan kemudian menerapkan SJPH pada tataran operasionalnya. Lantas, penyelia halal bertugas dalam mengawasi dan mengevaluasi penerapan SJPH tersebut.
Karena bagaimana pun, penerapan SJPH melibatkan lintas bidang, lintas tingkatan manajemen dalam hierarki organisasi bisnis, sehingga terjaga konsistensi penerapan SJPH tersebut untuk menjawab tantangan dinamika proses bisnis yang mungkin saja berubah dan mempunyai potensi memengaruhi status kehalalan bahan/produk yang ditangani oleh jasa logistik tersebut.
2. Kriteria Bahan yang di dalamnya terdapat tentang pengaturan tentang kriteria bahan. Bahan yang ditangani sepanjang rantai pasokan harus memenuhi kriteria halal dan dijaga agar tidak terkontaminasi dari najis.
Pada praktiknya, jasa logistik agar tetap terjaga kesinambungan bisnisnya biasanya mengupayakan kontrak jangka panjang dengan pihak pabrikan atau usaha jasa boga (katering/restoran) yang telah tersertifikasi halal untuk memberikan dukungan dari sisi penyimpanan, transportasi, serta pendistribusian bahan dan produknya.
Untuk jasa logistik seperti ini jika ingin mendapatkan sertifikat halal tentu harus memastikan bahan dan produk halal yang disimpan, dipindahkan, dan didistribusikan harus terjaga dari kontaminasi bahan haram dan najis. Sehingga untuk pemastian status kehalalan bahan harus ada mekanisme verifikasi dokumen pendukung status kehalalannya.
Dalam konteks penerapan SJPH yang dimaksud dengan kriteria bahan di sini adalah bahan yang dimiliki oleh perusahaan klien, di samping bahan lain yang kemungkinan kontak langsung dengan bahan atau fasilitas yang kontak dengan bahan, misalnya bahan pencuci atau media yang digunakan untuk validasi pencucian.
Setiap bahan yang sudah terverifikasi dan mempunyai dokumen kehalalan yang cukup maka akan dimasukkan ke dalam daftar bahan halal. Daftar bahan halal inilah yang menjadi acuan bersama untuk seluruh kegiatan kritis yang dikendalikan perusahaan jasa logistik agar tidak terkontaminasi bahan haram/najis, termasuk untuk bahan yang disimpan di dalam gudang, atau bahan yang dipindahkan, atau bahan yang didistribusikan antar- gudang, misalnya antara gudang bahan milik pemasok atau gudang bahan milik jasa logistik dengan gudang milik pabrikan atau restoran/katering.
Dengan daftar bahan halal yang terverifikasi maka kemungkinan terkontaminasi bahan haram dan najis bisa diminimalkan. Apalagi biasanya perusahaan jasa logistik tidak mempunyai satu mitra/klien/pelanggan saja.
Tidak tertutup peluang bahwa oleh perusahaan jasa logistik dengan bendera yang sama juga melayani penyimpanan dan pendistribusian bahan atau produk yang non-halal atau yang belum jelas status kehalalannya. Kalau ada kasus seperti itu maka fasilitas penyimpanan, pemindahan, dan pendistribusian bahan halal bisa dikelola dengan dukungan prosedur tertulis kegiatan kritis yang cukup dengan mengacu pada daftar bahan halal tersebut.
Berdasarkan tuntutan regulasi, caranya adalah dengan memisahkan antar-fasilitas (halal dan tak halal) secara fisik serta didukung dengan prosedur pencegahan kontaminasi silang antara bahan non-halal dan halal. Termasuk di dalamnya, pengaturan tata letak bahan, pergerakan arus bahan atau arus orang sedemikian rupa yang bisa mencegah terjadinya kontaminasi silang.
Untuk fasilitas dengan rantai dingin (cold chain), harus ada mekanisme kontrol yang lebih ketat dalam menjaga agar bahan halal tidak terkontaminasi bahan haram/najis terutama bahan yang berasal dari daging dan produk olahan daging bila dibandingkan dengan fasilitas untuk bahan kering yang terkemas. Bagaimana pun prosedur pencegahan kontaminasi silang harus diterapkan untuk kedua jenis fasilitas tersebut.
3. Kriteria Proses Produk Halal (PPH) yang di dalamnya terdapat pengaturan tentang fasilitas (lokasi, tempat, dan alat) penyimpanan, perpindahan (transportasi) dan pendistribusian, serta prosedur penerapan SJPH.
Dalam konteks sertifikasi halal, maka kendali PPH masing-masing jasa logistik sangat tergantung kepada proses bisnisnya. Sebelum menyiapkan manual SJPH dan prosedur pendukungnya maka yang harus diidentifikasi adalah proses bisnis jasa logistiknya: apa saja kegiatan dan fasilitas kritisnya.
Prosedur penerapan SJPH memang sangat tergantung pada proses bisnis yang teridentifikasi tersebut. Ada jasa logistik yang fokus pada kegiatan penyimpanan dan transportasi saja, maka yang fasilitas yang kritis di sini adalah gudang dan alat transportasi.
Ada pula yang fokus pada penyimpanan, transportasi dan pendistribusian, maka fasilitas yang kritis adalah juga gudang dan alat transportasi, namun biasanya jangkauan pelayanannya lebih luas sehingga daftar fasilitas yang terlibat juga lebih banyak. Ada pula ditambah dengan kegiatan pengemasan ulang atau proses fisik pada bahan tertentu (misalnya pemotongan atau penggilingan daging). Maka, fasilitas dan alat yang kritis adalah yang terkait dengan lini pengemasan ulang dan proses fisik tersebut.
Begitu pula, ada jasa logistik yang melayani bahan atau produk halal dan non-halal, maka fasilitas untuk kedua status kehalalan tersebut maka harus pula dikendalikan, jangan sampai saling mengontaminasi. Sehingga dengan demikian, ada variasi fasilitas dan prosedur kegiatan kritis yang tergantung proses bisnis jasa logistik tersebut dan berimplikasi pada variasi kegiatan kritis yang harus dikendalikan.
Prosedur yang harus dikendalikan harus mencakup bagaimana aturan untuk para sopir tidak boleh membuka alat transportasi yang sudah tersegel dari gudang lokasi keberangkatan hingga sampai ke tujuan. Pihak yang berwenang menyegel dan membuka segel alat transportasi adalah pihak gudang asal dan lokasi tujuan. Tujuannya menjaga integritas pelaksanaan prosedur transportasi agar senantiasa memenuhi kriteria halal.
4. Kriteria Produk yang di dalamnya terdapat pengaturan tentang pengelolaan dan penanganan produk, identifikasi dan mampu telusur produk.
Penerapan SJPH pada jasa logistik untuk kriteria produk sama dengan kriteria bahan halal. Selama tidak ada proses penanganan proses produksi maka tidak ada produk yang dihasilkan oleh jasa logistik.
Lain halnya jika ada kegiatan kritis, seperti pengemasan ulang (repacking), atau ada proses pemotongan dan penggilingan daging. Kegiatan tersebut akan dinilai sebagai produk jasa logistik. Jika tidak, maka yang dimaksud dengan produk di sini adalah produk klien.
Untuk jasa pendistribusian produk klien, maka yang harus dipastikan ada daftar produk halal yang sudah terverifikasi. Jika ada produk non-halal atau produk yang tidak jelas status kehalalan harus dipisahkan secara fisik dengan memberikan identifikasi yang jelas mana produk yang halal dan non-halal dengan menerapkan sistem mampu telusur yang memadai.
Seandainya ada kejadian tak terduga atau tak terkendali sehingga produk halal klien menjadi tercemar najis, dengan pengecekan sistem mampu telusur maka akan diketahui produk dan fasilitas mana yang tercemar najis. Ketika ada temuan produk yang tak memenuhi kriteria maka penanganannya lebih terarah dengan memastikan produk yang terverifikasi terkontaminasi saja yang ditangani dan dipisahkan dari produk halal.
5. Kriteria Pemantauan dan Evaluasi yang di dalamnya terdapat pengaturan tentang audit internal dan kaji ulang manajemen.
Untuk memastikan bahwa penerapan SJPH selalu dalam koridor halal, maka harus ada proses pemantauan dan evaluasi dalam periode tertentu. Pemantauan dan evaluasi terwujud dalam bentuk audit internal dan kaji ulang manajemen. Audit internal dilakukan minimal setahun sekali. Begitu juga dengan kaji ulang manajemen juga minimal setahun sekali.
Audit internal dilaksanakan oleh tim auditor halal internal atau penyelia halal yang telah mempunyai kompetensi dalam persyaratan halal. Kaji ulang manajemen dilakukan dalam bentuk pertemuan tahunan untuk membahas isu-isu halal dalam ranah kendali manajemen puncak yang input pertemuan tersebut bisa berasal dari hasil audit internal atau audit eksternal.
Hasil pemantauan dan evaluasi ini akan menjadi dasar untuk perbaikan SJPH secara berkelanjutan untuk satu siklus penerapan berikutnya.
TANTANGAN JASA LOGISTIK DALAM MENERAPKAN SISTEM JAMINAN PRODUK HALAL
Dengan terus bergulirnya waktu, maka akan tiba masanya jasa logistik pun akan terkena kewajiban sertifikasi. Maka pelaku usaha yang bergerak di jasa logistik pun harus mengantisipasi saat-saat krusial itu datang.
Pada masa penahapan pertama kewajiban sertifikasi halal yang akan berakhir pada tanggal 17 Oktober 2024 memang kewajiban halal baru pada tiga kelompok, yakni (1) produk makanan dan minuman, (2) bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman, (3) produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. Hal ini sesuai dengan amanat PP 39/2021.
Oleh karena itu, memang sudah seharusnyalah pelaku usaha jasa logistik yang belum mempunyai sertifikat halal berinisiatif melakukan persiapan untuk menyongsong masa itu datang. Berdasarkan catatan Jurnal Halal, baru perusahaan jasa logistik yang memenuhi persyaratan halal. Sementara, jumlah pelaku usaha logistik bertambah dari waktu ke waktu. Apalagi pada masa-masa pandemi COVID-19, semakin banyak saja jumlahnya.
Untuk menerapkan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) sebagai prasyarat dalam memperoleh sertifikat halal, ada beberapa tahapan yang selayaknya menjadi perhatian pelaku usaha jasa logistik.
1. Memahami kriteria SJPH khusus untuk jasa logistik sesuai regulasi halal.
2. Menjamin tersedianya sumber daya yang memadai untuk penyusunan, penerapan dan perbaikan berkelanjutan SJPH yang di antaranya dengan membentuk tim manajemen halal serta menunjuk penyelia halal. Untuk memudahkan sumber daya manusia mendapat kompetensi yang memadai bagi tim, perusahaan disarankan untuk mengikuti pelatihan eksternal di lembaga pelatihan yang sudah diakui oleh BPJPH.
Selanjutnya mekanisme pelatihan internal untuk para karyawan yang terlibat dalam kegiatan kritis bisa dikembangkan dengan memanfaatkan trainer yang berasal dari peserta pelatihan yang sudah lulus dari pelatihan eksternal tersebut.
3. Mengidentifikasi hal-hal kritis termasuk di dalamnya bahan dan produk yang ditangani, alat dan fasilitas penyimpanan, transportasi dan pendistribusian yang mungkin saja tidak sederhana; tergantung besar kecilnya perusahaan logistik dan sebaran wilayah yang dilayani; apalagi dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara maritim atau berbentuk kepulauan.
Paling tidak, ketika proses identifikasi selesai, akan ada output berupa daftar bahan, daftar produk, daftar gudang, dan daftar alat transportasi (moda darat, laut, udara) yang dimiliki pelaku usaha jasa logistik yang kelak akan masuk dalam ruang lingkup penerapan SJPH.
Apalagi dalam proses bisnisnya, kegiatan kritis tersebut tidak selalu dilakukan oleh satu pelaku usaha jasa logistik saja—yakni terdiri dari kolaborasi beberapa perusahaan. Tentu harus ada proses dalam memahami persyaratan halal secara bersama-sama yang berimplikasi pada masing-masing pelaku usaha.
4. Melakukan analisis kesenjangan antara dokumen eksisting (sistem internal perusahaan yang sudah berjalan di perusahaan jasa logistik tersebut) dengan dokumen SJPH yang dipersyaratkan. Analisis ini perlu dilakukan untuk melihat seberapa besar usaha yang harus dilakukan untuk mencapai kondisi yang memenuhi persyaratan halal sehingga tidak ada dokumen yang luput yang selayaknya memang harus ada.
5. Menyiapkan manual SJPH dan prosedur kegiatan kritis sebagai panduan dalam penerapan SJPH. Manual SJPH dan prosedur kegiatan kritis ini memang akan menjadi panduan sehari-hari dalam penerapan SJPH.
Ketika analisis kesenjangan sudah dilakukan, akan terlihat dokumen-dokumen mana saja yang kurang, yang selanjutnya jika belum ada, harus disiapkan untuk dimasukkan sebagai bagian dari dokumen (manual SJH dan prosedur kegiatan kritis) tersebut.
Tentu untuk memudahkan persiapan penyusunan dokumen ini, perlu dukungan tim manajemen halal internal yang berasal dari perwakilan penanggung jawab kegiatan kritis yang berbeda (penyimpanan, transportasi, dan/atau pendistribusian) karena masing- masing perwakilan inilah yang memahami kondisi masing-masing kegiatan kritis yang menjadi tanggung jawabnya.
Pada praktiknya kelak, untuk memudahkan, harus ada sistem terpusat dalam penerapan dan pengendalian manual SJPH dan prosedur kegiatan kritis tersebut untuk semua fasilitas yang masuk ruang lingkup penerapan SJPH.
Artinya, antar-fasilitas dalam melakukan kegiatan kritis harus mengacu pada aturan yang terpusat tersebut. Kalaupun ada variasi antara gudang pusat dan gudang wilayah misalnya menyangkut rekanan transporter yang berbeda, atau pengelola gudangnya bukan perusahaan sendiri/mitra, tetap harus dikendalikan dari kantor/ gudang pusat berdasarkan Manual SJPH dan prosedur kegiatan kritis terpusat tersebut.
6. Melakukan proses pensucian untuk fasilitas penyimpanan, transportasi dan pendistribusian yang pernah terkena najis baik sedang maupun berat (jika ada) yang kemudian ingin dijadikan fasilitas halal.
Jika ternyata dari hasil identifikasi fasilitas kritis terdapat fasilitas yang terkontaminasi najis baik sedang maupun berat maka perlu dilakukan proses pensucian secara syariah.
7. Memisahkan secara fisik alat dan fasilitas penyimpanan, transportasi dan pendistribusian antara halal dan tidak halal (jika ada). Perlu disadari bersama, jasa logistik memang hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan rantai pasokan halal.
Namun peran jasa logistik tidak bisa diabaikan karena jika dalam proses logistik terjadi kontaminasi silang antara bahan/produk non-halal/najis dengan yang suci/ halal, maka tentu pada akhirnya yang terkena efeknya adalah konsumen.
Produk yang tersertifikasi halal yang kemudian terkena najis maka statusnya mutanajis. Mutanajis adalah istilah yang mengacu pada sesuatu yang halal dan suci kemudian terpapar najis. Sesuatu yang mutanajis maka statusnya pun menjadi haram. Akhirnya, jaminan produk halal bagi konsumen yang seharusnya dipenuhi sesuai dengan amanat undang-undang tidak terjadi ketika konsumen mengonsumsi produk haram tersebut.
Berkaca pada kasus-kasus ketidakhalalan produk, salah satu yang menjadi faktor terjadinya kasus tersebut adalah kontaminasi silang yang terjadi selama penyimpanan, pemindahan/transfer barang antar lokasi, serta pendistribusian bahan/produk halal dari gudang pusat ke gudang wilayah/fasilitas lainnya; di samping ada faktor kelalaian atau malah kesengajaan dari pelaku usaha yang mencampur dengan bahan-bahan tidak halal namun diklaim sebagai produk halal (halal fraud).