Oleh : Hendra Utama (Senior Auditor LPPOM MUI)
Black pudding, pernahkah Anda mendengar atau membaca nama produk ini sebelumnya? Apa yang Anda bayangkan ketika mengetahui nama itu? Apakah Anda berpikir bahwa black pudding adalah sejenis makanan penutup?
Memang begitulah otak manusia dalam mengolah sebuah informasi sebagai bagian dari proses berpikir. Dalam ranah pribadi, proses berpikir itu dipengaruhi oleh sensasi, persepsi, dan memori. Keping informasi itu diolah berdasarkan informasi-informasi lama yang sudah tertimbun di laci-laci memori dan dipersepsikan sesuai dengan pengalaman sebelumnya. Oleh karena itu, terjadi proses asosiatif dengan mengaitkan informasi-informasi yang relevan dengan informasi yang datang belakangan. Asosiasi itu semakin kuat ketika ada sensasi (pengindraan) yang kuat dari pengalaman sebelumnya.
Dari segi kelaziman nama puding (pudding) itu memang akan mengingatkan kita pada berbagai olahan makanan penutup (dessert). Maka wajar kalau dari otak kita tercetus bayangan produk-produk lain yang mempunyai nama pudding (puding) ketika membaca atau mendengar black pudding. Apalagi kalau Anda juga menyukai puding sebagai pilihan makanan penutup.
Sebutlah puding yang dikaitkan dengan bahannya seperti puding buah, puding maizena, puding telur, puding agar, puding susu, atau puding jelly. Atau, dikaitkan dengan cara memasak: puding panggang, puding kukus, atau puding yang didinginkan. Lalu, black pudding? Produk ini masuk ke kategori yang mana?
Mengenal Lebih Dekat dengan Black Pudding
Black pudding sama sekali bukan termasuk kelompok makanan penutup. Berasal dari Britania Raya dan Irlandia, tipe makanan ini merupakan salah satu produk sosis tertua. Karena berasal dari negara Britania Raya, maka juga sesuatu yang umum di dijumpai di negara-negara persemakmuran Inggris, seperti Australia dan Selandia Baru.
Bermula dari penggunaan hasil samping rumah potong hewan yang dianggap sebagai sampah (waste), tujuannya memang supaya tidak mubazir—asas manfaat yang menjadi motif penggunaannya. Bahan bakunya adalah darah, bisa berupa darah babi atau darah sapi dan belakangan juga menggunakan darah kambing. Dalam pembuatannya biasa dicampur dengan lemak babi, sapi, atau kambing di samping bahan-bahan serealia seperti oat dan barley.
Pada abad-abad pertengahan, sosis jenis ini adalah makanan para bangsawan di negara Inggris dan sekitarnya, namun seiring bergulirnya waktu makanan ini pun mulai menjadi makanan siapa saja. Kadang-kadang pembuatannya bukan menggunakan darah namun sudah berupa hasil olahan darah—yakni tepung darah (blood powder) yang sudah diolah pihak lain sebelum digunakan sebagai bahan baku pembuatan black pudding.
Pengalaman dengan Black Pudding
Sebagai seorang muslim, kadang-kadang kita sebagai musafir (traveler) di sebuah negara tertentu jarang menemui makanan halal. Untuk keluar dari situasi darurat itu, maka ada beberapa pilihan, salah satunya adalah produk-produk vegan seperti salad sayur atau salad buah. Namun kalau tidak hati-hati, bahan-bahan haram dan najis juga ditambahkan sebagai topping atau salad dressing pada produk yang menurut asumsi kita hanyalah bahan-bahan nabati saja.
Inilah yang penulis alami ketika mengunjungi salah satu kota kecil di negara Selandia Baru. Setelah menetapkan pilihan salad sayur dan datang sebagai hidangan, penulis melihat ada beberapa potongan bahan berbentuk kubus bewarna hitam yang ditaburkan di antara salad sayur tersebut. Terus terang ada keingintahuan melihat bahan yang berbentuk kotak-kotak seperti potongan roti di atas semangkok bubur kacang ijo atau sekoteng.
Untungnya di restoran itu ada buku menu yang memuat daftar bahan yang digunakan untuk membuat menu salad sayur tersebut. Di salah satu bahannya tertulis black pudding; di samping daftar aneka sayuran. Anda sudah tahu kelanjutannya. Lebih baik lapar daripada menelan salah satu daftar bahan yang diharamkan dan juga najis.
Kehati-hatian ini memang penting sekali terutama ketika menyantap hidangan yang kita tidak mengetahui status kehalalannya. Bahkan yang kita sangka aman untuk menyantapnya ada “ranjau ketidakhalalan” di dalamnya. Contohnya salad sayur itu.
Jika kita kembali ke awal tulisan menyangka bahwa black pudding semacam agar-agar yang dijadikan sebagai makanan penutup, bisa jadi kita akan tetap tenang dalam memasukkan ke dalam mulut kita. Lain hal ketika kita mengerti black pudding itu apa, terbuat dari apa atau jika langsung ditulis sebagai blood pudding nama lain dari sosis yang penampakannya hitam itu. Namun lebih aman kalau kita membawa sendiri makanan dari Indonesia, tentu yang sudah jelas status kehalalannya.
Darah sebagai Bahan Makanan
Sebenarnya pemanfaatan darah sebagai bahan makanan bukan untuk blood pudding saja. Bahkan di Indonesia kita kenal yang namanya marus, saren, atau dideh, yakni darah ayam, sapi, atau babi yang dipadatkan. Bentuknya pun kadang-kadang seperti potongan hati dan rasanya—bagi yang pernah merasakan—pun mirip-mirip.
Kalau kita tidak hati-hati, potongan marus ini pun kadang-kadang dihidangkan sebagai topping yang ditaburkan untuk olahan sayur, seperti pecel. Ini pengalaman teman saya ketika akan menikmati sepiring pecel di sebuah warung di Jawa Tengah. Fakta ini pun terkuak ketika dia menanyakan kepada penjualnya.
Aspek Kehalalan
Darah sebagai bahan makanan haram digunakan termasuk darah dari hewan-hewan halal seperti ayam, sapi, atau kambing, apalagi darah babi. Statusnya haram sekaligus najis.
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah.” (Q.S. Al-Baqarah 173)
Untuk menumbuhkan kesadaran halal memang kita perlu pengetahuan tentang apa yang kita konsumsi. Masalahnya, tidak semua orang mampu mengakses atau memiliki kemampuan tersebut. Daripada pusing-pusing, yuk kita pastikan makanan kita bersertifikat halal dari lembaga halal yang otoritatif, ditandai dengan logo halal resmi. (HU)