Keharamannya bukan hanya disebabkan oleh kandungan etanolnya yang tinggi, melainkan produk tersebut tergolong khamr. Pemanfaatan khamr dilarang dalam Al-Qur’an seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Ma’idah, ayat 90.
Penggunaan etanol sering menimbulkan perdebatan. Hal ini karena seringnya muncul kerancuan alkohol dengan khamr atau yang sejenis. Terkait hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan beberapa fatwa.
Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Hukum Alkohol membedakan antara khamr dan alkohol. Setiap khamr mengandung alkohol, tapi tidak semua alkohol dikategorikan sebagai khamr. Fatwa tersebut menyebutkan khamr adalah setiap minuman yang memabukkan, baik dari anggur atau yang lainnya, baik dimasak atau pun tidak. Artinya, selain minuman, produk yang mengandung alkohol tidak terkategori sebagai khamr, walaupun hukumnya bisa saja sama-sama haram.
Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol menyebutkan bahwa minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah minuman yang mengandung alkohol/etanol (C2H5OH) lebih dari 0.5 %. Minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah najis dan hukumnya haram, sedikit ataupun banyak.
Berdasarkan kedua fatwa MUI tersebut dijelaskan bahwa alkohol bisa dibedakan ke dalam dua kategori: Pertama, alkohol/etanol hasil industri khamr, yang hukumnya sama dengan hukum khamr yaitu haram dan najis. Kedua, alkohol/etanol hasil industri non-khamr (baik merupakan hasil sintesis kimiawi berbahan dasar petrokimia ataupun hasil industri fermentasi non-khamr), hukumnya tidak najis dan apabila dipergunakan pada produk non-minuman, hukumnya mubah, apabila secara medis tidak membahayakan.
Guru besar IPB University sekaligus auditor senior Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Prof. Dr. Ir. Purwantiningsih M.S., menjelaskan bahwa penggunaan rum, mirin, angciu, sake, bir, red atau white wine pada berbagai makanan atau masakan hukumnya haram.
“Keharamannya bukan hanya disebabkan oleh kandungan etanolnya yang tinggi, melainkan produk tersebut tergolong khamr. Pemanfaatan khamr dilarang dalam Al-Qur’an seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Ma’idah, ayat 90. Bentuk sintetik dari produk itu pun tidak dapat disertifikasi oleh MUI,” terangnya.
(Baca juga: Usut Tuntas Salah Kaprah tentang Alkohol)
Berikut contoh makanan yang dalam proses pemasakannya sering memanfaatkan produk khamr untuk meningkatkan aroma dan cita rasanya, yaitu Fish and Chips, Can-Can Chicken. Beeramisu adalah salah satu contoh makanan yang menggunakan bir. Pada proses pemasakannya, bahan-bahannya dicelupkan atau direndam ke dalam bir sebelum dimasak. Hukum dari makanan tersebut berdasarkan Fatwa MUI masuk kategori haram, meskipun bahan-bahan yang digunakan halal.
Alkohol di dalam Obat
Bagaimana penggunaan etanol dalam industri obat? Secara peruntukannya, obat yang mengandung alkohol berbeda dengan minuman beralkohol. Walaupun diminum, tetapi obat bukanlah minuman. Obat dikonsumsi berdasarkan petunjuk medis dan ada dosis yang dianjurkan. Penggunaan obat dikontrol oleh dokter dan penggunaannya tidak untuk memabukkan.
Hukum penggunaan etanol dalam produk obat tercantum dalam Fatwa MUI Nomor 40 Tahun 2018 tentang Penggunaan Alkohol/Etanol untuk Bahan Obat. Umumnya penggunaan alkohol/ethanol pada obat digunakan sebagai pelarut, pengawet produk, pemberi rasa tajam, dan menutupi rasa tidak enak. Di pasaran saat ini, eliksir (sediaan cair yang pelarut zat aktifnya menggunakan alkohol/etanol) rata-rata mengandung alkohol lebih dari 5%. Namun sebagian obat cair bukan berupa eliksir, tetapi berupa sirup, suspensi atau emulsi tanpa menggunakan pelarut alkohol.
Alkohol di dalam Kosmetika
Fungsi alkohol dalam produk kosmetik sepeti skincare biasanya berperan sebagai pelarut, pengemulsi (mencampurkan dua bahan supaya bekerja lebih baik), antiseptik (membunuh bakteri), pengawet (meminimalisir pertumbuhan bakteri), dan membantu agar penyerapan produk ke dalam kulit lebih maksimal.
Hukum penggunaan etanol dalam produk obat juga mengikuti Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2018 tentang Produk Kosmetika yang Mengandung Alkohol/Etanol dan didukung Fatwa MUI Nomor 26 Tahun 2013 tentang Standar Kehalalan Produk Kosmetika dan Penggunaannya.
Dalam fatwa tersebut ditegaskan bahwa penggunaan kosmetika untuk kepentingan berhias hukumnya boleh dengan syarat, bahan yang digunakan adalah halal dan suci, serta tidak membahayakan. Penggunaan kosmetika dalam (untuk dikonsumsi/masuk ke dalam tubuh) yang menggunakan bahan yang najis atau haram hukumnya haram.
Dalam Fatwa MUI tersebut juga dinyatakan bahwa penggunaan kosmetika yang berfungsi sebagai obat memiliki ketentuan hukum sebagai obat, yang mengacu pada fatwa terkait penggunaan obat-obatan. Produk kosmetika untuk penggunaan luar, kandungan alkohol tidak dibatasi selama secara medis tidak membahayakan kesehatan dan bukan berasal dari industri khamr. (*)