Seperti halnya Korea Selatan, Jepang juga dikenal sebagai penyedia aneka kuliner yang cukup mendapat tempat di hati konsumen Indonesia. Untuk memperoleh sertifikat halal, pengelola resto Jepang di Indonesia mengaku harus berjuang keras agar cita rasa dan kekhasannya tidak hilang, namun halal dinikmati konsumen muslim.
Beberapa makanan Jepang yang cukup dikenal di Indonesia antara lain sashimi, sushi, onigiri, ramen, udon, miso soup atau sup miso, yakitori, hingga torayaki. Pemerhati kuliner dan restoran Kevin Prianto Soemantri mengatakan, salah satu makanan yang disukai oleh masyarakat Indonesia selain makanan lokalnya adalah makanan Jepang. Alasannya karena makanan dan dessert kuliner Jepang memiliki rasa yang khas.
Bahan baku makanan Jepang menurut Kevin Prianto sebenarnya sederhana, tidak neko-neko, namun memiliki keunikan tersendiri dengan bentuk yang lucu-lucu dan rasa yang khas. “Walaupun dibentuk macem-macem, tapi cocok dengan lidah Indonesia,” katanya.
Sebagai negara modern yang mengandalkan pertanian yang kuat, masakan Jepang lebih banyak bernuansa kesegaran bahan alami, meski ada makanan yang diawetkan. Serta menjaga keseimbangan komponen makanan. Hal ini pula yang membuat makanan Jepang disukai, tidak hanya di Indonesia, namun juga di dunia.
Jetro, organisasi non-pemerintah Jepang yang mengurusi perdagangan dan investasi, merilis survey terhadap konsumen makanan di luar Jepang. Salah satu pertanyaan survei adalah, “Apa makanan luar negeri favorit saat sedang bersantap di restoran?” Sekitar 83 persen menjawab makanan Jepang, di samping beberapa jawaban lain.
Ketika ditanya alasan kenapa mereka memilih makanan Jepang, alasan terbanyak (88 persen) menjawab karena rasa yang enak. Alasan kedua terbanyak (53 persen) adalah karena makanan Jepang sehat.
“Makanan Jepang memang punya keseimbangan nutrisi. Satu set makanan tradisional Jepang terdiri dari nasi, sup, lauk utama, dan dua lauk pendamping,” tulis Jetro dalam laporan berjudul Serving Japanese Food to the World, seperti dikutip Tirto.id.
Selain soal keseimbangan nutrisi, makanan tradisional Jepang jadi sehat karena sebagian besar makanan Jepang tak perlu dimasak. Beberapa jenis makanan malah dimakan mentah dan segar, misalkan sashimi.
All You Can Eat
Meski tak semua restoran Jepang menerapkannya, secara umum banyak pengelola resto dari negeri matahari terbit ini yang menerapkan konsep all you can eat dalam penyajian
kuliner mereka. Strategi tersebut sengaja dipilih agar setiap pelanggan dapat lebih leluasa menikmati semua hidangan yang tersedia.
Seperti diketahui, all you can eat adalah konsep pembayaran di sebuah restoran, di mana setiap pengunjung boleh makan sepuasnya, dengan membayar dalam jumlah tertentu namun dibatasi oleh waktu yang telah ditentukan. Rentang waktu yang diterapkan bervariasi, namun rata-rata di bawah 2 jam atau lebih dari 1 jam.
Di Indonesia, restoran dengan konsep all you can eat memang banyak diadopsi oleh retoran Jepang dengan menu andalan shabu-shabu, yakiniku, dimsum, ataupun sushi. Konsep all you can eat sengaja diterapkan agar pengunjung bebas menikmati menu yang disajikan, mengingat menu yang disajikan di restoran Jepang umumnya sangat beragam.
Bagi sebagian konsumen yang suka makan, konsep all you can eat mungkin dianggap lebih hemat, karena hanya dengan membayar dalam jumlah tertentu mereka bisa makan apa saja yang tersedia. Namun, bagi yang tak bisa makan banyak, bisa jadi merasa biaya yang harus dikeluarkan menjadi relatif lebih besar.
Aspek Kehalalan
Meski sebagian masakan Jepang berbahan sayuran dan ikan laut yang pada dasarnya halal, bukan berarti makanan ini otomatis terbebas dari unsur haram. Seperti diketahui, masakan Jepang identik dengan penggunaan arak (sake, ang ciu) atau mirin yang masuk dalam golongan khamr. Bahkan penggunaan kaldu sebagai kuah masakan juga berpotensi bersinggungan dengan bahan non-halal.
Begitu juga dengan penggunaan daging. Bahan-bahan tersebut menjadi hal yang harus diperhatikan dan dipastikan kehalalannya. Untuk mendapatkan makanan Jepang yang halal, semua bahan tersebut harus diganti dengan bahan yang halal.
Di situlah tantangannya. Di satu sisi, pengelola resto Jepang harus memenuhi tuntutan konsumen muslim dalam hal kehalalannya. Namun di sisi lain, standar cita rasa masakan khas Jepang juga tak boleh hilang. Padahal, selama ini, sake, angciu maupun mirin yang merupakan bahan haram, sering menjadi bahan tambahan utama dalam kuliner Jepang.
Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati, beberapa waktu lalu, menjelaskan bahwa mirin merupakan bumbu dapur untuk masakan Jepang berupa cairan beralkohol berwarna kuning, berasa manis.
Mirin termasuk dalam kategori khamr, oleh karenanya tergolong sebagai najis. Sedangkan suatu produk disebut halal apabila terbuat dari bahan-bahan halal dan tidak
terkontaminasi bahan-bahan najis. “Oleh karenanya penggunaan mirin pada produk halal tidak diperbolehkan,” jelas Muti Arintawati.
Begitu juga dengan ramen. Meski bahan utamanya adalah mie yang diracik dengan aneka bumbu ditambah berbagai pilihan topping, ramen tetap harus diwaspadai kehalalannya. Sebab, hidangan mie khas Jepang ini identik dengan penggunaan kaldu atau daging babi.
Hal yang dianggap sulit dan menyita waktu paling banyak dari sertifikasi halal adalah mengganti semua bahan baku dengan bahan yang sudah jelas kehalalannya, tanpa mengurangi kualitas dan cita rasa khas makanan Jepang. Dan mereka berhasil melalui tahapan itu demi kepuasan pelanggan.
Kabar baiknya, di Indonesia telah banyak restoran Jepang yang telah mengantongi sertifikat halal. Anda dapat mengecek restoran Jepang bersertifikasi halal melalui website www.halalmui.org atau aplikasi Halal MUI yang dapat diunduh di Playstore. (FM, RPF)