Jaket kulit memang selalu berhasil mencuri perhatian. Sayangnya, bagi muslim memilih jaket kulit tidak sesederhana mengikuti gaya. Di balik tampilan klasik dan keren, ada pertanyaan penting: dari bahan apakah jaket itu dibuat? Apakah prosesnya sesuai syariat? Dengan regulasi halal yang semakin ketat, teknologi identifikasi kulit yang canggih, serta panduan dari ahli, kini umat Islam bisa tetap tampil modis tanpa mengorbankan prinsip agama.
Tren fashion terus berubah, namun jaket kulit selalu punya tempat istimewa di hati para pecinta gaya. Tampilannya yang klasik, keren, dan abadi membuatnya tak pernah benar-benar tergeser dari panggung mode, termasuk pada tahun 2024–2025 ketika popularitasnya kembali meningkat. Bagi sebagian orang, termasuk muslimah yang sadar akan syariat, muncul pertanyaan. Bolehkah seorang muslim memakai jaket kulit? Apalagi jika bahan kulitnya berasal dari hewan yang najis, apakah aman digunakan saat shalat?
Naomi Carissa Intaqta, Auditor Halal LPPOM, menjawab bahwa seorang muslim boleh menggunakan jaket kulit asalkan memenuhi syarat kehalalan dan kesucian bahan yang digunakan. Menurut regulasi di Indonesia, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024, semua barang gunaan termasuk pakaian dan aksesoris yang ingin diklaim halal wajib memiliki sertifikat halal mulai 17 Oktober 2026. Aturan ini merupakan turunan dari UU No. 33 Tahun 2014 dan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Jaminan Produk Halal. Artinya, tidak hanya makanan dan minuman, pakaian seperti jaket kulit pun harus memenuhi standar halal jika ingin berlabel halal secara resmi.
Secara umum, jaket kulit terbagi menjadi dua jenis, yakni kulit sintetis dan kulit hewan asli. Kulit sintetis biasanya terbuat dari polimer seperti poliuretan (PU) atau PVC, kemudian diberi pewarna, plasticizer, stabilizer, dan bahan pengisi agar menyerupai kulit asli. “Meski terlihat aman karena tidak berasal dari hewan, ternyata beberapa bahan tambahan seperti tallow (lemak hewan) atau asam stearat bisa berasal dari hewan yang tidak halal. Bahkan, proses produksinya mungkin melibatkan bahan pelarut atau zat lain yang statusnya diragukan,” terang Naomi.
Di sisi lain, jaket kulit hewan asli lebih banyak diminati karena kualitas dan daya tahannya. Namun, di sinilah letak tantangannya. Menurut Fatwa MUI No. 47 Tahun 2012, bagian tubuh dari hewan halal yang disembelih sesuai syariat seperti kulit, tanduk, dan tulang, boleh digunakan untuk makanan, obat, kosmetik, -. Berdasarkan fatwa no 56 tahun 2014, jika kulit berasal dari hewan halal tetapi tidak disembelih secara syar’i, atau dari hewan nonhalal selain babi dan anjing, tetap boleh dipakai untuk barang gunaan selama sudah melalui proses penyamakan yang benar.
Penyamakan sendiri adalah proses pembersihan dan pengawetan kulit dengan bahan kimia atau alami agar menjadi suci dan tahan lama. Proses ini meliputi perendaman, pengapuran untuk menghilangkan rambut dan lapisan epidermis, pencucian, pemberian bahan penyamak seperti tanin atau kromium, pengeringan, hingga pewarnaan.
“Dengan penyamakan, kulit yang sebelumnya najis bisa menjadi suci dan layak digunakan, kecuali jika berasal dari anjing atau babi yang haram mutlak. Namun, perlu diperhatikan bahwa dalam proses penyamakan terkadang digunakan enzim protease untuk merontokkan rambut. Enzim ini bisa berasal dari babi atau menggunakan media pertumbuhan berbahan babi, sehingga jika bersentuhan dengan kulit, produk tersebut tidak dapat disertifikasi halal,” jelas Naomi.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua konsumen tahu jenis kulit yang digunakan dalam jaket yang mereka beli. Beberapa produk internasional bahkan kerap memakai kulit babi, terutama pada model suede. Untuk membedakannya, industri halal biasanya melakukan uji mikroskopis, di mana kulit babi memiliki pola khas berupa tiga titik pori yang membentuk segitiga. Ada juga uji DNA yang lebih canggih untuk mengidentifikasi spesies hingga level genetik, namun metode ini tentu tidak bisa dilakukan oleh konsumen biasa.
Di Indonesia, pelaku industri maupun pihak yang ingin memastikan keaslian dan kehalalan produk kulit dapat memanfaatkan layanan Laboratorium LPPOM MUI yang telah terakreditasi ISO/IEC 17025:2017. Laboratorium ini menyediakan layanan uji jenis kulit yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan industri dalam menjamin keaslian, kualitas, dan kehalalan produk kulit.
Semua prosedur pengujian dilakukan dengan metode ilmiah yang diakui secara internasional, sehingga mendukung kelancaran proses sertifikasi halal kulit. Informasi lengkap mengenai layanan ini dapat diakses melalui situs resmi https://e-halallab.com/. Dengan dukungan teknologi identifikasi kulit yang canggih, keaslian dan kehalalan kulit dapat diungkap secara akurat, memberi jaminan bagi pelaku industri sekaligus rasa aman bagi konsumen.
Sementara bagi pelaku industri barang gunaan yang ingin memulai proses sertifikasi halal, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) LPPOM menyediakan program Halal On 30 yang dapat diikuti melalui tautan bit.ly/HalalOn30, di mana proses sertifikasi halal dapat dipahami secara lengkap hanya dalam 30 menit.
Karena itu, memilih produk yang sudah bersertifikat halal menjadi langkah paling aman. Hal ini juga penting karena kehalalan sebuah produk tidak hanya bergantung pada bahan bakunya, tetapi juga pada proses produksinya. Jaket kulit yang berasal dari bahan halal bisa menjadi tidak suci jika diproduksi di fasilitas yang juga memproduksi barang najis, tanpa pemisahan atau pembersihan yang benar. Dengan demikian, seorang muslim boleh saja memakai jaket kulit selama memenuhi syarat kehalalan dan kesucian.
Prinsip ini tidak hanya berlaku pada jaket, tetapi juga pada sepatu, tas, dompet, dan produk berbahan kulit lainnya. Dengan pengetahuan dan kehati-hatian, serta dukungan teknologi identifikasi kulit yang tepat, umat Islam tetap bisa tampil keren, modern, dan percaya diri tanpa mengorbankan syariat.
Sumber : https://halalmui.org/jurnal-halal/174/