Search
Search

Wine Tanpa Alkohol, Halalkah?

Beberapa waktu lalu, masyarakat ramai memperbincangkan beredarnya minuman sejenis wine yang konon dijamin halal. Redaksi Jurnal Halal juga menerima banyak pertanyaan mengenai hal tersebut. Bagaimana sikap MUI menanggapi hal ini? (HalalMUI)

Beberapa waktu lalu beredar minuman wine yang diklaim halal. Bahkan, produk tersebut ikut dihadirkan dalam sebuah ajang pameran bertajuk syariah life style yang digelar di Yogyakarta, Oktober 2018 lalu. 

Minuman bermerek Espora ini konon berasal dari Spanyol. Pihak produsen mengklaim jika minuman tersebur halal dan tidak beralkohol. Bahkan sudah bersertifikat halal. Menurut pemasarnya, wine Espora dibuat melalui proses fermantasi yang sama seperti proses pembuatan wine pada umumnya. Namun, yang membuat Espora ini berbeda dan tidak mengandung alkohol, yaitu waktu yang diperlukan dalam melakukan fermentasi.

Pranya Paramitta, Area Manager PT Global Nara Sadhana, perusahaan importir Espora, mengatakan wine non alkohol ini tidak mengandung alkohol sama sekali dan dibuat sebagaimana wine ataupun sampanye. Kadar alkohol yang timbul pada wine berkaitan dengan lamanya waktu fermentasi, biasanya lebih dari tiga tahun. Wine dapat diproduksi tanpa alkohol bila difermentasi hanya setahun. “Jadi, yang disaring sari-sari buahnya saja,” ujarnya.

Lebih lanjut, Pranya menjelaskan waktu fermentasi yang lebih cepat membuat wine memiliki tanggal kedaluwarsa. Wine tanpa alkohol dapat disimpan paling lama sekitar tiga tahun. Hal itu berbanding terbalik dengan wine pada umumnya yang disimpan hingga puluhan tahun untuk dinikmati. Biasanya wine yang memiliki kadar alkohol itu ada setelah lebih dari tiga tahun difermentasi, sedangkan wine tanpa alkohol hanya memakan waktu satu tahun fermentasi.

Kepada para wartawan, Pranya menjelaskan bahwa wine berlabel Espora Zero Alcohol tersebut diproduksi pada 2012. Wine non alkohol produksi Spanyol itu mendapatkan sertifikat halal pada Desember 2015 lalu. Awalnya, wine diproduksi karena banyaknya permintaan dari Dubai, Uni Emirat Arab. Setelah itu, wine non alkohol makin populer hingga merambah Asia Tenggara. (HalalMUI)

Di Dubai, konon sudah beredar wine merek Lussory, yang dikemas dengan botol mewah dilapisi emas 24 karat, dan disebut-sebut sebagai wine halal. “Lussory adalah 100 persen produk wine halal dengan kandungan alkohol 0.0 persen,” demikian seperti dilansir 7Days dari pembuatnya, Lootah Premium Foods. Anggur yang digunakan untuk membuat wine halal tersebut adalah anggur yang berasal dari perkebunan di La Mancha, Spanyol.

Wine tanpa alkohol dan diklaim halal juga masuk ke Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2014. Kemudian, wine ini mulai diperkenalkan di Indonesia pada November 2016 dalam pameran SIAL InterFOOD di Jakarta, serta pameran di Yogyakarta, akhir 2018 lalu. “Wine ini diperkirakan masuk dan didistribusikan ke tanah air pada Maret 2017,” jelasnya.

Menurut pemasarnya, wine jenis itu memungkinkan dinikmati vegetarian dan orang sensitif terhadap alkohol. Selain itu, wine non alkohol ini rendah gula. Sebab, anggur sebagai bahan baku wine dipetik saat masih muda. Makin matang anggur, kadar gulanya makin banyak.

Secara tekstur, wine non alkohol memang tidak sepekat wine pada umumnya. Teksturnya sangat ringan dengan aroma yang tidak menyengat. Tingkat kepekatan atau kandungan gula pada segelas wine bisa diukur dengan memutar gelas sebelum diminum. Jika cairan cepat turun setelah diputar, kadar gula dan tingkat kepekatannya sangat rendah. Rumus sebaliknya berlaku untuk wine dengan kepekatan tinggi. Buah anggur yang digunakan untuk menghasilkan wine berasal dari kebun-kebun di La Mancha, Spanyol. (HalalMUI)

Tidak Dapat Disertifikasi Halal

Menanggapi beredarnya wine tanpa alkohol yang diklaim halal, Ketua Komisi Fatwa (KF) MUI, Prof. Dr.H. Hasanuddin AF, MA., menegaskan bahwa produk tersebut tak dapat dilakukan sertifikasi halal.

Hasanuddin AH kemudian memberikan rambu-rambu, bahwa pihaknya tidak akan memproses sertifikasi halal untuk produk tasyabbuh atau menyerupai dengan produk yang diharamkan dalam Islam. Artinya, wine tersebut di atas, meskipun diklaim tanpa alkohol tetap saja tak bisa dinyatakan halal.

Sikap Komisi Fatwa tersebut, sebelumnya juga pernah ditegaskan ketika pada  2015 lalu, membahas pengajuan sertifikasi halal dari perusahaan produsen minuman. Namun karena produk yang dihasilkannya tasyabbuh dengan produk bir yang telah disepakati keharamannya oleh para ulama di MUI, maka pengajuan tersebut ditolak.

“Ada satu produk yang dari sisi bahan maupun proses produksi yang dipergunakan tidak ada masalah dalam aspek kehalalannya. Namun dalam telaahan KF MUI, produk itu menyerupai minuman bir yang telah disepakati diharamkan dalam Islam, baik warna, rasa, aroma, bahkan juga kemasan botolnya.”Kami tidak memproses sertifikasi halal yang diajukan perusahaan itu, walaupun kami juga tidak menyatakan produk tersebut haram. Karena memang tidak mempergunakan bahan yang haram,” tuturnya.

Sebelumnya, ada pula perusahaan yang membuat permen (gula-gula) untuk anak-anak. Tapi bentuk permen itu menyerupai bentuk ular. MUI tidak mengharamkan produk itu. Namun juga tidak memberikan sertifikat halal. Hal ini dimaksudkan guna menjaga dan menghindarkan sikap yang mungkin timbul berikutnya. (HalalMUI)

Sikap Komisi Fatwa, menurut Hasanuddin, antara lain untuk menjaga jangan sampai anak-anak jadi terbiasa mengonsumsi produk makanan, minuman atau jajanan permen yang bentuknya menyerupai barang atau binatang haram. Jika hal tersebut dibiarkan, lanjutnya, akan timbul persepsi keliru di benak si anak, bahwa memakan ular itu tidak dilarang dalam agama. “Dalam kaidah syariah larangan ini sebagai aspek saddudz-dzari’ah, langkah pencegahan agar tidak terperosok dalam perbuatan maksiat yang diharamkan,” tukasnya.

Wakil Direktur LPPOM MUI Ir. Muti Arintawati, M.Si menegaskan bahwa produk wine Espora belum pernah dan tidak akan pernah mendapatkan sertifikat halal MUI. “Tidak benar kalau sudah bersertifikat halal MUI. Kami tidak mungkin melayani pendaftaran sertifikasi halal untuk produk seperti itu,” ungkapnya.

Dia merujuk pada Surat Keputusan Direktur LPPOM MUI Nomor 46 Tahun 2014 tentang Ketentuan Penulisan Nama Produk dan Bentuk Produk. Selain SK Direksi, ada juga Kriteria Sistem Jaminan Halal (SJH) yang menjadi panduan bagi seluruh auditor halal LPPOM MUI dalam melayani sertifikasi halal.

Di dalam Kriteria SJH pada bagian “Produk”, ditegaskan bahwa  karakteristik/profil sensori produk tidak boleh memiliki kecenderungan bau atau rasa yang mengarah kepada produk haram atau yang telah dinyatakan haram berdasarkan fatwa MUI.

Adapun SK Direktur LPPOM MUI secara rinci menjelaskan bahwa nama produk yang tidak dapat disertifikasi meliputi nama produk yang mengandung nama minuman keras. Di kelompok ini, wine non alkohol, sampanye, rootbeer, es krim rasa rhum raisin, dan bir 0%  alkohol, pasti tak bisa lolos sertifikasi halal. (HalalMUI)

Nama produk yang mengandung nama babi dan anjing serta turunannya, seperti babi panggang, babi goreng, beef bacon, hamburger, hotdog. Meskipun tidak menggunakan bahan yang berasal dari babi dan turunannya, penamaan produk seperti di atas, juga tak bisa dilakukan sertifikasi halal.

Larangan lain yang tertuang dalam SK tersebut adalah nama produk yang mengandung nama setan seperti rawon setan, es pocong, mie ayam kuntilanak. Sama seperti point di atas, nama-nama ini juga tak bisa lolos. Begitu juga nama produk yang mengarah kepada hal-hal yang menimbulkan kekufuran dan kebatilan, seperti coklat Valentine, biskuit Natal, mie Gong Xi Fa Cai, serta nama produk yang mengandung kata-kata yang berkonotasi erotis, wlgar dan/atau porno.

Namun, ketentuan di atas terdapat pengecualian, sehingga tidak berlaku untuk produk yang telah menjadi tradisi, atau dikenal secara luas dan dipastikan tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan.  Misalnya bir pletok, bakso, bakmi, bakwan, bakpia dan bakpao.

Di sisi lain, ada juga merek produk yang mengandung nama produk haram lainnya, tapi dibolehkan untuk disertifikasi. Misalnya merek Garuda, Bear, Crocodile, Cap Badak. Nama produk yang mengandung kata sexy dan sensual tapi boleh disertifikasi, contohnya lipstick sexy pinky, lotion sensual amber, dan spa sensual. Tapi, ketentuan tersebut melarang penggunaan  bentuk hewan babi dan anjing untuk produk yang akan disertifikasi halal. Bentuk produk atau label kemasan yang sifatnya erotis, vulgar dan atau porno juga tak boleh diajukan sertifikasi halal. (FMS)

Sumber: Jurnal Halal, 136

(HalalMUI)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *