Beberapa waktu lalu jagat maya viral memperbincangkan salah satu hewan yang dijadikan bahan masakan, labi-labi atau bulus. Umumnya, labi-labi atau bulus dikenal dengan sebutan soft shelled turtles karena memiliki cangkang yang lebih lunak dari penyu, sehingga aman untuk dikonsumsi.
Labi-labi termasuk dalam hewan kelas reptilia berjenis Dermochelys coriacea. Labi-labi atau bulus adalah hewan darat yang berhabitat di air dan bukan termasuk hewan yang hidup di dua alam (amfibi). Hewan seperti kura-kura berpunggung lunak ini merupakan anggota suku Trionychidae dan bernafas menggunakan paru-paru.
Selain menjadi bahan baku berbagai masakan, labi-labi juga diburu karena dagingnya yang berkhasiat untuk pengobatan dan bahan dasar kosmetik. Minyak labi-labi dipercaya baik untuk kesehatan kulit manusia, seperti membuat kulit wajah halus, mengurangi flek hitam, menghilangkan gatal dan bau badan.
Lalu, bagaimanakah hukum memakan labi-labi atau bulus?
Karena mampu hidup di laut dan di darat, sejumlah ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai kehalalannya. Sebagian ulama menyatakan labi-labi halal karena belum ada hadits Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa labi-labi haram untuk dimakan. Jika tidak ada larangan, maka hukum memakan labi-labi dalam Islam adalah mubah atau diperbolehkan.
Pendapat Malikiyah dalam kitab al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa’ jilid 2 halaman 247 mengutip pernyataan Imam Malik yang mneyatakan bahwa kura-kura adalah hewan yang boleh diburu oleh orang yang ihram, karena termasuk hewan yang halal tanpa disembelih. Kura-kura termasuk jenis ikan besar. Sementara menurut Ibnu Nafi’, kura-kura termasuk hewan yang harus disembelih sebelum dimakan, maka tidak boleh diburu oleh orang yang sedang ihram. Sedangkan kura-kura darat (menurut Imam Malik), maka tidak diperbolehkan bagi orang yang sedang ihram untuk memburunya (kitab al-Mabsuth).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa MUI Nomor 51 Tahun 2019 tentang Hukum Mengonsumsi Labi-Labi atau Bulus menyebutkan bahwa bulus sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan umum merupakan hewan yang halal untuk dikonsumsi (ma’kul al-lahmi) dengan syarat disembelih secara syar’i.
Meski begitu, kebijaksanaan tetap diperlukan saat mengonsumsinya. Melihat aspek yang lebih jauh, di dunia internasional, status labi-labi atau bulus saat ini telah digolongkan dalam kategori hewan langka. Saat ini, labi-labi atau bulus telah dibudidayakan dan termasuk dalam salah satu komoditas perikanan.
Belajar dari ketentuan tersebut, MUI pun merekomendasikan tiga hal. Pertama, umat Islam diimbau menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam konsumsi produk pangan. Kedua, pemegang otoritas diminta menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam menjalankan proses sertifikasi halal terhadap produk makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika. Lalu, yang ketiga, guna menjaga ekosistem bulus, maka industri pangan yang menjadikan bulus sebagai bahan industri diharapkan untuk melakukan budidaya dan penangkaran.
Berdasarkan definisi tersebut, maka MUI berfatwa bulus termasuk hewan yang halal dikonsumsi dengan syarat disembelih secara syar’i. Akan tetapi, bulus ditetapkan sebagai satwa langka yang wajib dilindungi.
Oleh sebab itu, untuk menjaga ekosistem labi-labi atau bulus, maka industri pangan yang menjadikan labi-labi atau bulus sebagai bahan makanan diharapkan mengambilnya dari hasil budidaya/penangkaran. (ZUL)