Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) telah mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Oleh karena itu, Asosiasi Lembaga Pemeriksa Halal Indonesia (ALPHI) didukung oleh PT Biocare Sejahtera menyelenggarakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dan workshop bertema “Bersinergi Memperkuat Regulasi Ekosistem Halal untuk Perlindungan Konsumen Muslim” yang diselenggarakan pada 21 September 2023 di Hotel Shangri-La, Jakarta. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) hadir dan mendukung terselenggaranya acara ini.
Ketua ALPHI, Ir. Elvina A. Rahayu, MP, menuturkan bahwa kegiatan ini menjadi media untuk memberikan masukan atas aturan pelaksanaan/aturan teknis terkait JPH. Hal ini selaras dengan sinergi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) untuk memperkuat regulasi ekosistem halal demi memberikan perlindungan terhadap konsumen muslim.
“LPH bertindak sebagai saksi ulama dalam melakukan proses pemeriksaan Proses Produk Halal (PPH) dan bahan baku produk halal. Karenanya, sikap integritas, amanah dan kompeten harus dimiliki setiap LPH. Ini menjadi hal yang mendesak untuk menghantarkan hasil jaminan produk halal yang akuntabel,” ungkap Elvina.
Implementasi kewajiban sertifikasi halal di Indonesia pasca UU JPH beserta perubahannya dilakukan dengan dua skema, yaitu skema regular dan self declare (SD). Keduanya menghasilkan output berupa sertifikat halal. Meski begitu, diharapkan sertifikat halal dari skema yang berbeda ini menghasilkan kualitas yang sama, yaitu jaminan produk halal pada konsumen muslim.
“Sejalan dengan harapan Wakil Presiden RI, agar FGD ini bisa memberikan solusi penyelesaian hambatan dalam proses sertifikasi, terutama hambatan kerja yang dirasakan LPH agar bisa berkontribusi secara nyata pada kebijakan pemerintah untuk mewujudkan 10 juta produk bersertifikat halal di tahun 2023 serta wajib halal di 2024 dan pada akhirnya mewujudkan Indonesia sebagai pusat halal dunia,” terang Elvina.
Menurut Deputi Bidang Pengembangan Standar, Badan Standarisasi Nasional (BSN), Hendro Kusumo, salah satu tujuan standardisasi dan penilaian kesesuaian dan Jaminan Produk Halal adalah jaminan mutu, efisiensi, produksi, daya saing nasional, persaingan usaha yang sehat. Perlindungan konsumen juga menjadi hal yang tak lepas dari ini. “Kepastian, kelancaran, dan efisiensi transaksi perdagangan barang dalam negeri dan luar negeri menjadi tujuan selanjutnya,” terangnya.
Sementara itu, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Muhammad Aqil Irham, menyampaikan bahwa untuk tahapan wajib sertifikasi halal yang terdekat, yakni tahun 2024, produk yang diwajibkan adalah produk makan minuman. Namun, ini meliputi sektor hulu seperti daging sembelihan hingga hilir (produk akhir makanan dan minuman).
“Masih kurang sekitar 10 juta produk lagi. Dan ini perlu dikeroyok ramai-ramai agar target tercapai. Prinsipnya, kalau memang pelaku usaha sudah memenuhi standar, kita berikan kemudahan. Yang nanti akan diperketat adalah saat surveillance,” ungkap Aqil.
Sementara itu, Elvina menekankan bahwa ketersediaan ingredient atau bahan tambahan juga menjadi masalah tersendiri. Target pemerintah tidak bisa tercapai kalau bahan halal tidak bisa diperoleh. Dalam hal ini peran pemerintah besar, yakni menyediakan produk halal di hulu. “Kalau di hulu sudah bersih, kerja LPH juga agak lebih ringan,” ungkapnya.
Kepala Pusat Pemberdayaan Industri Halal (PPIH) Kementerian Perindustrian, Mohammad Ari Kurnia Taufik, justru menyayangkan upaya pemerintah yang terkesan buru-buru dan kejar target. Menurutnya, esensi halal jangan sampai dikurangi sekalipun. Memudahkan dalam sertifikasi halal perlu dilihat terlebih dahulu bagian dan aspek yang seperti apa.
Senada dengan itu, Ketua MUI bidang Fatwa MUI Pusat, K.H. Asrorun Ni’am Soleh, menegaskan bahwa sekalipun pihaknya mendukung terealisasinya program pemerintah, namun pihaknya menyatakan terlepas dari segala bentuk tanggung jawab fatwa yang dikeluarkan oleh Komite Fatwa Produk Halal. “Bisa jadi dalam sebuah usaha dikatakan masuk kategori mikro dan kecil sehingga dibolehkan untuk ikut dalam program self declare, padahal produknya memiliki banyak komponen yang kritis,” jelasnya,
Berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) per September 2023, LPH di Indonesia berjumlah 64 dengan rincian: 1 LPH eksisting dengan kewenangan utama (LPH-LP POM); 3 LPH Utama (Sucofindo, Surveyor Indonesia dan LPH KHT Muhammadiyah); serta 60 LPH yang berstatus pratama. Dari 64 LPH yang ada, 42 merupakan LPH pemerintah serta 22 LPH yang didirikan oleh masyarakat. Namun, saat ini yang sudah terdaftar dan bergabung di ALPHI baru 57 LPH.
Hadir dalam FGD ini memberikan sambutan adalah Asisten Deputi Moderasi Beragama Kemenko PMK, Thomas Ardian Siregar. Sementara dalam FGD, hadir sebagai moderator Direktur Industri Produk Halal, Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah, Afdhal Aliasar. Selain itu, juga hadir memberikan pendapatnya, yaitu: Deputi Bidang Pengembangan Standar BSN, Hendro Kusumo; Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham; Kepala PPIH Kementerian Perindustrian, Mohammad Ari Kurnia Taufik; serta Ketua MUI bidang Fatwa MUI Pusat, K.H. Asrorun Ni’am Soleh. (***)