Search
Search

Tak Boleh Ada Intifa’ dengan Bahan Haram

Oleh: Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA.

Guru Besar UIN Jakarta Wakil

Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah

Penetapan fatwa halal untuk produk konsumsi, oleh Komisi Fatwa MUI dilakukan dengan penelitian, audit halal yang sangat teliti oleh para tenaga ahli di LPPOM MUI. Tidak boleh ada penggunaan bahan yang haram sedikitpun, seperti babi maupun khamar. Termasuk juga tidak boleh ada kontaminasi, pencemaran atau persinggungan dengan yang haram atau najis, baik pada bahan, proses maupun alat-alat yang dipergunakan.

Dalam Hadits Nabi saw yang terkenal disebutkan, “Apa saja yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun adalah haram (HR. Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad).

Implementasi Prinsip “Zero Tolerance”

Prinsip yang digunakan dan diimplementasikan berkenaan dengan babi dan segala bentuk turunannya ini adalah: tidak ada toleransi sedikit pun. Harus “Zero Tolerance”. Tidak boleh digunakan, dan tentu juga tak boleh dikonsumsi.

Memang harus diakui, banyak warga masyarakat yang belum atau tidak mengetahui tentang kaidah halal yang sesungguhnya, dengan ketentuan dan prinsip Zero Tolerance ini. Sehingga ada yang mempertanyakan, misalnya, mengapa air minum saja harus disertifikasi halal. Padahal bahan itu ‘kan tidak ada hubungannya dengan yang haram sama sekali. Maka untuk menjawab pertanyaan masyarakat awam itu, perlu dijelaskan secara gamblang. Yaitu bahwa diantara proses pengolahan air minum yang dilakukan oleh kalangan industri adalah, menggunakan karbon aktif sebagai filternya. Dalam penelitian atau audit halal yang dilakukan oleh tim ahli dari LPPOM MUI, ternyata ada bahan karbon aktif yang dibuat berasal dari tulang babi.

Nah, penggunaan bahan dari babi ini dengan sengaja, sebagai filter untuk produksi air minum dalam kemasan, jelas dilarang dalam ketentuan syariah. Karena termasuk dalam kategori Intifa’ atau pemanfaatan babi atau bahan/barang yang dilarang dan diharamkan dalam Islam.

Disebutkan dalam Hadits dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr dan hasil penjualannya dan mengharamkan bangkai dan hasil penjualannya serta mengharamkan babi dan hasil penjualannya.” (HR. Abu Dawud).

Larangan lebih tegas lagi dalam Hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah beliau mendengar Rasulullah saw bersabda pada tahun penaklukan Mekkah dan beliau waktu itu berada di Mekkah: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung-patung.” Lalu ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, Apakah boleh (menjual) lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat perahu dan meminyaki kulit serta dipakai orang untuk bahan bakar lampu?” Maka beliau menjawab: “Tidak boleh, ia tetap haram.” Kemudian Rasulullah saw bersabda lagi ketika itu: “Semoga Allah melaknat/memusnahkan orang Yahudi, sungguh Allah telah mengharamkan lemaknya lalu mereka rubah bentuknya menjadi minyak, kemudian menjualnya dan memakan hasil penjualannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Memang manusia adalah makhluk yang sering lalai. Tidak luput dari khilaf, salah dan dosa. Tidak hanya lalai dalam mengerjakan amal-ibadah yang diperintahkan Allah, namun juga lalai dengan melakukan perbuatan dosa. Lebih memilukan lagi jika manusia acap mengentengkan dosa atau maksiat yang ia perbuat. Seolah-olah dengan sikapnya itu, ia akan aman dari adzab Allah di dunia ataupun di akhirat.

Padahal diperintahnya seorang hamba, kita semua, sebagai hamba Allah, untuk melakukan kebaikan dan dilarangnya dari kemaksiatan adalah semata-mata untuk kebaikan hamba itu juga. Karena Allah sangat penyayang terhadap manusia, sesuai dengan Nama-Nya yang Suci; Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Dan suatu hal yang pasti bahwa tidaklah Allah memerintahkan suatu kebaikan sekecil apapun kecuali pasti di dalamnya terkandung maslahat, baik disadari ataupun tidak. Demikian pula jika melarang sesuatu, tentu di dalamnya terdapat mudarat yang membahayakan di kita juga.

Berkenaan dengan hal ini, sebagian besar ulama membagi dosa itu ada yang besar dan kecil, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Al Quran dan Sunnah: “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa, 4: 31).

Ath-Thufi berkata: “Di dalam ayat ini terdapat pembagian dosa-dosa kepada besar dan kecil, dan sesungguhnya menjauhi seluruh dosa besar merupakan penghapus dosa kecil.” (Lihat Al-Isyarat Al-Ilahiyyah, 2/23-24).

Perhatikanlah pula makna ayat: “(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari Al-lamam (dosa-dosa kecil). Sesungguhnya Rabbmu Maha Luas ampunan-Nya.” (QS. An-Najm, 53: 32).

Kebanyakan para ulama tafsir dari genereasi terdahulu dan belakangan berpendapat bahwa Al- Lamam adalah: dosa-dosa kecil. (Lihat kitab Al-Kabair, karya Adz-Dzahaby dan ditahqiq oleh Syeikh Masyhur Hasan Salman).

Dan Hadits yang menunjukkan bahwa dosa itu terbagi menjadi besar dan kecil, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah,ia berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Shalat lima waktu, mengerjakan shalat jumat kepada shalat jumat (setelahnya) dan puasa di bulan Ramadhan kepada bulan Ramadhan (setelahnya) merupakan penebus dosa diantaranya selama menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Silsilat Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 3322).

Dosa kecil sebenarnya bisa diampuni Allah, insya Allah, melalui istighfar dan ibadah mahdhah seperti dengan mengerjakan shalat lima fardhu yang waktu, dan dan berpuasa di bulan Ramadhan. Dalam Hadits Nabi saw disebutkan, “Shalat lima waktu dan Jum’at ke Ju’mat (berikutnya) adalah penghapus apa yang di antaranya dari dosa selama tidak melakukan dosa besar.” (HR. Muslim, dalam Kitabut Thaharah Bab Fadhlul Wudhu wash-Shalah ‘Aqibihi no. 233).

Namun, dosa kecil ternyata bisa berubah menjadi besar, jika meremehkan dan menganggapnya biasa saja. Sehingga menjadi terbiasa dengan dosa yang dianggap kecil. Ada orang-orang yang ketika melakukan dosa kecil ia menganggapnya sebagai hal yang biasa, terhapus dengan sendirinya atau tidak mempedulikannya. “Ah, ini mah dosa kecil. Tak menyebabkan masuk neraka.” Dan komentar-komentar sejenisnya.

Jangan Meremehkan Dosa Kecil
Rasulullah saw bersabda, “Takutlah kalian dari tindakan meremehkan dosa.” (HR. Imam Ahmad).

“Dosa kecil bisa menjadi besar,” fatwa Imam Auza’i, “jika seorang hamba menganggapnya kecil dan meremehkannya.”

Sesuatu yang kecil, jika terus ditumpuk dan dikumpulkan, maka ia akan membesar. Sebuah peribahasa mengatakan, “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”. Demikian pula dengan perbuatan dosa, meskipun dianggap kecil, namun kalau terus diulang-ulang, maka ia pun menjadi dosa besar. “Bukanlah dosa kecil jika dikerjakan terus menerus,” kata Ibnu Abbas, “dan bukanlah dosa besar jika diiringi dengan taubat.”

Umumnya, pengulangan atau pembiasaan dosa itu berawal dari sikap meremehkan dosa. Dari Lanjutan hadits tersebut di atas, menegaskan bahwa membesarnya dosa karena terus menerus dikerjakan. “Sesungguhnya perumpamaan orang yang meremehkan dosa bagaikan sekelompok orang yang singgah di sebuah lembah. Ia datang membawa kayu dn terus menerus membawa kayu hingga (kayu itu menumpuk) mereka dapat memasak makanan mereka.” (HR. Ahmad).

Karena terbiasa mengerjakan dosa yang dianggap kecil, maka timbul kepuasan dan kesenangan dalam jiwanya. Jelas ini sangat berbahaya. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya yang terkenal, Al-Ihya’ menyatakan, “Termasuk dosa besar adalah, merasa senang, gembira dan bangga dengan dosa.” Seperti orang yang kecanduan dalam berbuat atau menikmati sesuatu, termasuk dalam berbuat yang salah. Seperti kecanduan nikotin, atau bahkan juga narkoba, dst.

Setiap kali seorang hamba menganggap manis suatu dosa, maka menjadi besar kemaksiatannya serta besar pula pengaruhnya dalam menghitamkan hati. Karena setiap kali seorang berbuat dosa, niscaya akan terjadi titik hitam di hatinya. Hal ini disebutkan dalam ayat Al-Quran, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu (perbuatan maksiat atau dosa) akan menutupi hati mereka (menjadi titik-titik hitam).” (Q.S. Al-Muthoffifin, 84: 14).

Dosa Berlipat-lipat

Bahkan lebih parah lagi kalau sampai memamerkan dan mendemonstrasikan perbuatan dosa yang dianggap kecil itu. Dewasa ini, jumlah orang yang melakukan hal ini cenderung makin banyak. Merasa bangga dengan menghisap nikotin/rokok, misalnya. Atau pacaran, berjalan gandengan tangan lelaki perempuan yang bukan mahram, bahkan juga cipika-cipiki di depan umum, dll. Lebih parah lagi, bukan hanya dosa yang dianggap kecil saja, tetapi dosa besar pun sebagian orang melakukannya secara terbuka, sekaligus memamerkan dan mendemonstrasikannya dengan rasa bangga. Misalnya yang terkenal dengan media video mesum atau perzinahan yang diupload dan ditayangkan di medsos: internet, youtube, WA, dan sebagainya. Selain menunjukkan peremehan terhadap dosa, hal ini juga akan memicu orang lain untuk melakukan dosa yang sama, akibat dari contoh yang ia lakukan. Dengan demikian, dosanya pun menjadi berlipat-lipat. Na’udzubillahi min dzalik.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulallah Saw bersabda: “Semua umatku dimaafkan oleh Allah kecuali orang yang berbuat (maksiat) terang-terangan. Dan di antara bentuk menampakkan maksiat adalah seorang melakukan pada malam hari perbuatan (dosa) dan berada di pagi hari Allah menutupi (tidak membeberkan) dosanya, lalu ia berkata: ‘Wahai Fulan, tadi malam aku melakukan begini dan begini (menyebutkan perbuatan dosa yang telah dilakukannya).’ Padahal ia berada (berbuat dosa) di malam hari dan ditutupi oleh Rabbnya, namun di pagi hari ia membuka apa yang telah Allah tutupi darinya.” (HR. Imam Al-Bukhari).

Ibnu Baththal mengatakan: “Menampakkan maksiat merupakan bentuk pelecehan terhadap hak Allah l, Rasul-Nya, dan orang–orang shalih dari kaum mukminin…” (Fathul Bari, 10/486)

Sebagian salaf mengatakan: “Janganlah kamu berbuat dosa. Jika memang terpaksa melakukannya, maka jangan kamu mendorong orang lain kepadanya, nantinya kamu melakukan dua dosa.”

Perhatikanlah Allah berfirman, dengan makna: “Orang–orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang ma’ruf.” (Q.S. At-Taubah, 9: 67).

Hidup sebagai Ujian untuk Beramal-ibadah

Allah telah menciptakan bumi dan menghiasinya dengan berbagai perhiasan yang indah dan menawan untuk menguji hamba-Nya, siapa di antara mereka yang taat kepada-Nya dan siapa yang membangkang perintah-Nya, dengan berbuat dosa, walaupun dianggap kecil dan sepele.

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalannya. Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang ada di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (Q.S. Al-Kahfi: 7-8).

Allah juga telah berfirman, dengan makna: “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya.” (Q.S. Az-Zumar: 67).

Ayat ini mencakup setiap orang yang meremehkan kedudukan Allah seperti orang-orang atheis yang mengingkari adanya Allah. Demikian pula orang–orang musyrik yang meyakini adanya Allah serta meyakini bahwa Dia yang mengatur alam semesta, namun dalam beribadah malah mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Termasuk meremehkan keagungan Allah adalah dengan bermaksiat kepada-Nya dan sengaja melakukan apa yang diharamkan-Nya berupa perbuatan dosa, sekecil apapun juga, serta meninggalkan ketaatan yang telah Allah wajibkan.

Suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa orang yang membangkang kepada makhluk (misalnya raja) berarti ia telah meremehkannya. Bagaimana pula dengan orang yang membangkang terhadap Al-Khaliq (Allah, Maha Pencipta)? (Lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab At-Tauhid Asy-Syaikh Al-Fauzan, 2/442-447).

Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan atas hamba yang beriman, kita semua, untuk bertaqwa kepada Allah serta takut kepada-Nya dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, berupa maksiat dan dosa yang tercela, sekecil apa pun juga. Adalah ‘Umar bin Al-Khaththab berkata: “Kalau seandainya ada yang memanggil dari langit: ‘Wahai manusia, seluruh kalian masuk surga kecuali satu orang,’ maka aku khawatir bahwa kaulah orangnya.”

Dalam satu riwayat disebutkan, Bilal bin Sa’ad, seorang tabi’in berkata: “Janganlah kamu lihat kepada kecilnya suatu maksiat, akan tetapi lihatlah betapa agungnya (Allah) Yang kamu maksiati. Tinggalkanlah semua dosa kecilnya, Dan besarnya, yang demikian itulah ketakwaan. Dan janganlah sekali-kali kamu menghina (meremehkan) suatu dosa kecil. Karena sesungguhnya gunung-gunung itu berasal dari bebatuan kecil. Wallahu a’lam.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *