Oleh: Hendra Utama (Senior Auditor LPPOM MUI)
Wagyu dari sisi istilah berakar dari dua kata: wa berarti Jepang dan gyu berarti sapi. Jadi, Wagyu secara harfiah memang berarti sapi Jepang. Namun nama itu bukan sekadar makna leksikal belaka.
Nama itu mengandung nilai historis karena sudah mulai hidup sejak era Restorasi Meiji (1898-1912) tatkala pemerintah Jepang pada waktu itu mengeluarkan panduan program ekstensifikasi dan kawin silang (crossbreeding) sapi.
Nama itu juga sudah melahirkan persepsi. Persepsi yang berkelindan dengan realitas faktual; yang menggabungkan unsur fisik dan non-fisik yang tercipta di sekelilingnya, termasuk unsur emosi—baik positif maupun negatif—karena berkaitan dengan pengalaman konsumen dalam menikmatinya.
Jika berbicara tentang Wagyu, mungkin yang terlintas dalam pikiran kita adalah daging sapi yang bermutu tinggi, mempunyai cita rasa luar biasa karena lembut (tender), rasanya unik tetapi legit dan merupakan hasil budidaya peternak di negeri Jepang.
Namun sejatinya Wagyu sebagai produk dunia peternakan di negeri Asia Timur itu, bukan dampak pekerjaan komunitas peternak saja. Namun hasil kontribusi banyak pihak sebagai pemangku kepentingan.
Jadi persepsi yang muncul dan melekat pada Wagyu sebagai daging yang bermutu tinggi sehingga harganya juga tinggi, bukan sekadar hasil aktivitas komunikasi pemasaran—yang ujung-ujungnya menghasilkan positioning atau brand yang kuat—namun adalah kombinasi banyak aktivitas—baik dari sisi teknis maupun manajemen; termasuk di dalamnya peran kebijakan pemerintah Jepang dan pengawasannya.
Kesan atau persepsi yang baik atas produk dalam bisnis pangan memang diciptakan, namun yang membuat kesan baik itu tetap bertahan di benak konsumen adalah antara realitas (mutu) produk itu harus sama atau lebih baik dari yang dipersepsikan. Disitulah peran kerja keras banyak aktor—dalam menjaga konsistensi mutu sesuai dengan yang dipersepsikan—untuk dapat mengawetkan kesan yang baik itu dalam layar pikiran konsumen.
Wagyu dalam pandangan orang Jepang adalah produk artisan yang diolah dari aset kekayaan alami dan budaya pangan mereka. Kualitas Wagyu sangat berasosiasi dengan istilah “marbling”. Marbling yang baik artinya lemak hadir dalam daging Wagyu sebagai indikator tingkat kemanisan (sweetness) dan cita rasa (taste). Ketika dimakan, daging tersebut seakan meleleh dan menghasilkan sensasi rasa yang menyenangkan (pleasure).
Wagyu Jepang: Buah Kerja Sebuah Sistem
Kesan kualitas tinggi yang diasosiasikan dengan Wagyu—sekali lagi—adalah hasil pekerjaan jejaring banyak aktor yang berkolaborasi dengan baik.
Wagyu dirawat dan dibesarkan di bawah kendali mutu yang ketat dan diperhatikan dari sisi keamanannya. Setiap individu Wagyu diberi nama dan diberlakukan bagaikan anggota keluarga. Ketersediaan sistem mampu telusur memungkinkan untuk melacak hingga nama peternak dan pakan yang diberikan untuk sapi tersebut.
Sapi jenis ini pun dibesarkan dalam sebuah lingkungan yang memungkinkannya leluasa bergerak, kegiatan pembibitan (breeding) yang baik serta memastikan janin dan induknya sehat. Popularitas sapi Wagyu secara internasional memang dikaitkan dengan perlakuan teknik yang superior.
Sistem pencatatan dimulai dari nomor registrasi sebagai informasi dasar untuk keperluan melihat perkembangan sapi. Ketika anak sapi (pedet) dilahirkan, inspeksi untuk keperluan registrasi lokal dilakukan untuk memeriksa dokumentasi dan kesehatan pedetnya, termasuk juga pengecekan kemungkinan lahir abnormal.
Berdasarkan inspeksi tersebut, akta kelahiran pedet kemudian akan dikeluarkan enam bulan setelah tanggal lahir, yang mendeskripsikan garis keturunan (bloodlines) hingga tiga generasi: induk, nenek, dan buyut.
Jepang menggunakan sistem grading untuk menilai kualitas Wagyu secara objektif. Sistemnya—diklaim—berbeda dengan sistem mana pun, dilakukan oleh inspektor tersertifikasi dari Asosiasi Grading Daging Jepang. Sistem grading ini secara komprehensif menjamin bahwa penilaian kualitas akan selalu terjaga standarnya untuk setiap ekor sapi tidak peduli waktu dan tempat dibesarkan. Grading tersebut didasarkan pada tingkat (grade) kualitas daging dan tingkat (grade) rendemen.
Tingkat kualitas daging dinilai berdasarkan skala lima poin untuk empat aspek: marbling, warna dan kecerahan daging (meat color and brightness), serta soliditas dan tekstur daging (meat firmness and texture), warna dan kilau lemak (fat color and luster). Nilai tertinggi adalah grade 5.
Tingkat rendemen dinilai berdasarkan proporsi daging yang didapatkan. Grade-nya terbagi tiga yakni Grade A: premium, Grade: standar, Grade C: sub-standar. Skor penilaian keluar dalam bentuk kombinasi keduanya misalnya: A5 atau B4.
Kembali kepada kendali mutu. Wagyu dihasilkan dalam kondisi sanitasi yang ketat berdasarkan informasi yang tedapat dalam sistem mampu telusur. Sistem ini dikendalikan oleh pemerintah Jepang, yang setiap sapi diberi nomor dalam format 10 digit yang kelak akan muncul di label kemasan produk dagingnya. Nomor ini akan memuat tanggal lahir, jenis kelamin, benih, induk, catatan perpindahan, periode penggemukan, lokasi pengolahan daging, dan tanggal penyembelihan. Informasi ini bisa ditelusuri secara mudah di ruang publik.
Ada tiga unsur yang menyebabkan daging sapi bercita rasa tinggi: tekstur, rasa, dan aroma. Dari tiga unsur tersebut, aroma daging Wagyu memang sangat kaya, seperti buah persik dan kelapa. Wagyu mempunyai aroma retronasal yang akan terdistribusi merata di mulut ketika dikunyah. Aroma Wagyu muncul dan menetap di dalam daging dan akan muncul lagi ketika dikunyah (berupa aroma retronasal) bahkan ketika daging dalam keadaan dingin. Itulah sebabnya rasa Wagyu Jepang tetap gurih ketika dihidangkan dalam keadaan dingin sekali pun.
Wagyu Non-Jepang
Merupakan hal yang normal ketika sebuah produk berkualitas tinggi dihasilkan suatu negara dan sangat diminati oleh konsumennya, maka negara lain akan mencoba mengadopsi teknologinya dan mengembangkan di negaranya sendiri agar kemudian ikut menikmati kue bisnis yang sudah mulai tumbuh itu.
Oleh karena itu, beberapa negara mengimpor sapi hidup dari Jepang dan kemudian melakukan pembibitan di negaranya. Ada beberapa negara yang melakukan pola seperti itu. Sebutlah Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Cili yang merupakan negara-negara yang mencoba mengembangbiakkan Wagyu di negerinya masing-masing.
Amerika Serikat sudah mengimpor Wagyu hidup sejak tahun 1975, diawali dari dua sapi hitam (black bull) dan dua sapi merah (red bull). Bahkan ketika Jepang pada tahun 1989 mengurangi tarif impornya, negeri Paman Sam tersebut mulai mengekspor Wagyu yang mereka kembangkan untuk pasar Jepang.
Indonesia juga mengimpor Wagyu hidup dari Australia dan kemudian menggemukkannya di beberapa lokasi sebelum menyembelihnya di rumah potong hewan ruminansia. Australia sendiri mulai mengimpor Wagyu dari Jepang sejak tahun 1990.
Beda Standar Wagyu Jepang, Amerika Serikat, dan Australia
Sebagaimana klaim Jepang bahwa mereka mempunyai sistem sendiri dalam penilaian mutu Wagyu. Sistem penilaiannya—di samping tingkat kualitas daging dan tingkat rendemen—dilengkapi juga dengan istilah lain, yakni BMS (Beef Marbling System): sistem peringkat yang dikembangkan oleh jaringan bisnis restoran di Jepang.
Untuk BMS skor penilaiannya dari 1-12, namun skor ini merupakan konversi dari grade system yang dikembangkan Jepang untuk Wagyu. A1 ekuivalen dengan skor 1; A2 ekuivalen dengan skor 2; A3 terdiri dari dua skor: 3 dan 4, A4 terdiri dari skor: 5,6,7; dan A5 terdiri dari skor: 8,9,10,11,12. Restoran di sana memang hanya menggunakan daging dengan grade A.
Wagyu Australia mempunyai Marbling Reference Standard yang mempunyai skor dari 0 s.d. 9. Karena di Indonesia yang lebih banyak Wagyu Australia, maka level tertinggi marbling daging sapi dari negara benua tersebut adalah 9.
Berbeda lagi dengan negara Amerika Serikat. Sebenarnya tingkat mutu daging di AS hingga delapan level. Namun restoran steak di sana (steak house) biasanya menggunakan daging dengan tiga tingkat mutu teratas, yakni USDA Prime, USDA Choice, dan USDA Select. Restoran steak yang high-end (premium) bahkan hanya menggunakan daging dengan tingkat mutu USDA Prime dan USDA Choice saja.
Bisnis Restoran Bermenu Utama Daging di Indonesia
Di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir bertumbuhan restoran-restoran atau usaha kuliner yang menggunakan daging sebagai menu utama—dari kelas hotel hingga kaki lima—tergantung target pasarnya. Termasuk juga bisnis steakhouse dari kelas premium hingga kelas warung.
Oleh karena itu, penggunaan daging Wagyu sebagai salah satu menu andalan menjadi salah satu daya tarik. Walaupun bisa jadi Wagyu tersebut bukan berasal dari kampung halamannya, melainkan dilahirkan dan dibesarkan di negara-negara selain Jepang, bahkan juga dikawin-silangkan dengan sapi-sapi lokal mereka.
Sejak tahun 2015, sapi Wagyu Jepang mulai kembali mengekspor produk dagingnya ke Indonesia dengan merancang positioning sebagai Wagyu yang benar-benar autentik dari Jepang.
Perlu pembaca ketahui, Jepang memang pernah berhenti selama 13 tahun mengekspor produk dagingnya ke Indonesia karena negara tersebut tidak bebas penyakit mulut dan kuku (PMK). Ketika negara itu bebas PMK lagi tahun 2013, maka Jepang mulai memasarkan kembali Wagyu ke negara-negara yang bebas PMK termasuk ke negara kita.
Selama Wagyu Jepang tidak ada di Indonesia, maka Wagyu yang masuk ke sini merupakan produk yang berasal dari Australia dan Amerika Serikat yang memang merupakan negara-negara bebas PMK.
Kalau melihat perilaku pembelinya, Wagyu lagi-lagi adalah simbol kemewahan dalam kuliner daging dan orang yang mampu membelinya sepertinya tidak peduli dari mana dia berasal—sepanjang harga yang dikeluarkan sesuai dengan ekspektasi pembeli atau persepsi cita rasa yang diperoleh lebih tinggi dari harga yang dibayarkan. Memang sebagian konsumen mengidentifikasi dirinya berdasarkan apa yang dikonsumsinya—termasuk juga Wagyu.
Wagyu Imitasi
Salah satu cara mengembangkan bisnis adalah memproduksi produk tiruan dan membidik segmen atau target pasar yang berbeda dari produk yang ditiru. Dalam konteks bisnis, Wagyu premium, misalnya, membidik target pasar dengan status sosial ekonomi A, maka produk tiruannya akan membidik target pasar dengan status sosial ekonomi di bawahnya.
Nama Wagyu sendiri adalah magnet. Dengan membuat imitasinya dan memberikan embel-embel nama Wagyu di produknya—lantas dijual dengan harga yang lebih murah—tentu akan menarik lebih banyak konsumen.
Berbicara soal imitasi ini, Anda mungkin pernah membaca atau mendengar istilah Meltic Beef. Secara teknis, menurut Dr. Joko Hermanianto, ahli daging dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB cum auditor halal LPPOM MUI, jenis daging ini dihasilkan dari daging paha atau bagian sapi lainnya—tetapi bukan dari Wagyu—yang kemudian disuntik dengan lemak sapi cair ke dalam daging tersebut.
Namun di marketplace,produk ini ditawarkan dengan nama Wagyu Meltic, sehingga bagi orang awam maka Wagyu Meltic atau kadang-kadang ditulis Wagyu Meltique ini akan dianggap sama dengan Wagyu orisinal—padahal ini tiruannya; yakni daging sapi biasa (non-Wagyu) yang direkayasa sehingga menyerupai Wagyu.
Teknik penyuntikan ini dirancang sedemikian rupa sehingga konfigurasinya terlihat seperti lemak yang terdistribusi di antara serat-serat daging—menyerupai Wagyu. Tujuannya memang membuat Wagyu imitasi dengan kandungan lemak yang tinggi, gurih, dan empuk—tapi harganya lebih murah.
Hanya saja, untuk meningkatkan cita rasanya, bahan yang disuntikkan bukan hanya lemak cair. Di samping daging sapi dan lemak sapi, ada beberapa lain yang juga ditambahkan seperti flavor enhancer, asam sitrat, karagenan, garam dan enzim. Di samping itu, mungkin juga ada bahan-bahan lain yang ditambahkan tergantung produsennya.
Titik Kritis Ketidakhalalan
Walaupun konsumen daging Wagyu sangat menikmati setiap cecapan rasanya dalam berbagai aneka masakan dan hidangan, tentu bagi kita sebagai seorang muslim aspek kehalalan adalah di atas segalanya. Wagyu Jepang dan Non-Jepang yang dijual dalam bentuk daging dari sisi titik kritis ketidakhalalan dilihat dari sisi penyembelihannya: apakah sesuai syariah atau tidak. Sepanjang daging tersebut mendapatkan sertifikat halal dari lembaga halal yang terekognisi, maka tentu dapat digunakan sebagai bahan-bahan untuk menghasilkan produk halal.
Sedikit lebih kompleks untuk Meltic Beef, maka titik kritisnya—di samping daging sapi dan lemak sapi yang perlu didukung dengan sertifikat halal—adalah flavor enhancer, asam sitrat dan enzim, serta karagenan yang juga perlu dipastikan status kehalalannya.
Kedua jenis daging ini, baik Wagyu maupun Meltic Beef, dijual di pusat-pusat perbelanjaan termasuk di toko daring. Jadi, jika Anda ingin membeli pastikan kedua daging ini dilengkapi dengan sertifikat halal dari lembaga halal yang dapat dipercaya. (***)