Oleh:  Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi, M.A. (Guru Besar UIN Jakarta, Anggota Komisi Fatwa MUI)

Beberapa saat lagi Ramadhan 1440 H segera menjelang, lalu diikuti Idul Fitri. Maka pada kesempatan baik kali ini, kita perlu merenungi dan menghayati, betapa puasa Ramadhan sebagai ibadah yang amat hebat dan luar biasa. (HalalMUI)

Mengapa dikatakan hebat dan luar biasa? Pertama, ia merupakan bagian dari Rukun Islam sebagai sendi dasar Islam yang sangat vital. Kalau rukun yang satu ini kurang, berarti keislaman dan keimanan seseorang itu juga berkurang. Allah memerintahkan kepada orang beriman, kita semua, dengan kalimat langsung di dalam Al-Qur’an: “diwajibkan atas kalian….” Perhatikanlah makna ayatnya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah, 2: 183).

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, dari Nabi saw., beliau saw. bersabda: “Islam dibangun di atas lima sendi, (yakni): mentauhidkan (mengesakan) Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan, dan haji”. Seorang laki-laki mengatakan: “Haji dan puasa Ramadhan,” maka Ibnu Umar berkata: “Tidak, puasa Ramadhan dan haji, demikian ini aku telah mendengar dari Rasulullah saw.” [HR. Muslim]. Oleh karenanya tentu puasa Ramadhan itu harus dilaksanakan dengan baik, agar hasilnya juga memperoleh kebaikan. 

Manifestasi Kejujuran

Berikutnya, ibadah puasa itu sebagai manifestasi kejujuran dan latihan untuk bersikap jujur bagi diri pribadi yang sebenarnya. Dan jelas, kejujuran itu sangat dibutuhkan dalam kehidupan kita semua. Sebab, yang tahu apakah puasa yang dikerjakan itu benar dan sah atau tidak, hanyalah Allah dan dirinya sendiri. Bukan orang lain. Suami atau istri, bapak maupun anak, juga tidak dapat mengetahuinya dengan pasti. Kalau bersyahadat, jelas terdengar dan disaksikan oleh orang lain. Mengerjakan shalat, juga kelihatan gerakannya secara fisik. Ibadah haji, apalagi. Karena harus berangkat bersama para jemaah lain. (HalalMUI)

Kalau ada orang berpuasa, lalu ingin membatalkannya, maka itu sangat mudah baginya, dan sangat mungkin bisa tidak diketahui oleh orang lain. Misalnya ketika di dalam rumah seorang diri, pintu jendela dikunci. Atau saat berwudhu, karena merasa sangat haus, bisa saja pura-pura berkumur, lalu menelan atau meminumnya. 

Boleh dikata, tidak ada satu pun pelatihan atau training tentang kejujuran yang sesungguhnya, kecuali dengan berpuasa. Maka kalau kita lihat kehidupan berbangsa dan bernegara banyak yang curang, maka bisa dikatakan puasanya tentu tidak benar. 

Jujur merupakan sifat wajib yang terpuji. Allah menyanjung orang-orang yang mempunyai sifat jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka. Para Nabi dan Rasul memiliki sifat utama ini, Ash-Shiddiq. Termasuk dalam sifat jujur ini adalah jujur kepada Allah, jujur kepada diri sendiri dan jujur dengan sesama. 

Kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan banyak masalah keislaman, seperti akidah, akhlak ataupun muamalah. Dalam aspek muamalah itu sendiri juga memiliki banyak cabang, seperti perkara transaksi jual-beli, utang-piutang, perjanjian-kontrak, sumpah, dan sebagainya. (HalalMUI)

Sikap jujur merupakan kunci untuk memperoleh ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan yang hakiki. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Kejujuran adalah ketenangan, sementara kebohongan adalah kegelisahan.” (HR. Turmudzi).

Orang yang selalu berbuat jujur dan benar, niscaya ucapan, perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Sedangkan satu kedustaan atau kebohongan, tentu akan menuntut atau memerlukan kedustaan berikutnya, untuk menutupi kedustaan yang sebelumnya. (HalalMUI)

Demikian seterusnya, sehingga orang yang berdusta, jika tidak segera taubat, niscaya akan terus berdusta, dan menjadi pendusta yang sebenarnya, dan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta yang sesungguhnya. Tentu hal itu akan berdampak kecelakaan dunia maupun akhirat. Na’udzubillahi mindzalik.

Hal ini dinyatakan lebih tegas lagi, dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Rasulullah Saw. bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta (pembohong).’” (HR. Imam Ahmad dan Al-Bukhari)

Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa kejujuran adalah pangkal ketenangan, ketentraman, yang akan membawa pada kemaslahatan dan kebahagiaan. Oleh karena itu, Allah mengingatkan seluruh umat Islam untuk senantiasa bertaqwa kepada-Nya seraya menjauhi kebohongan: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. 33: 70-71).

Dengan demikian, jika kita sebagai umat Islam di negeri ini ingin peroleh kedamaian, ketentraman dan kejayaan, hendaknya benar-benar menghayati dan mengamalkan nilai-nilai kejujuran dengan sebenar-benarnya, baik dalam konteks pribadi, berkeluarga, bermasyarakat bahkan bernegara. Sebab, kunci segala kebahagiaan berpangkal pada kejujuran.

Sayangnya, ketidakjujuran boleh dikata telah merebak hampir di semua lini kehidupan sosial kita. Mencuri timbangan di pasar. Kecurangan dalam spek pembangunan infrastruktur. Manipulasi pajak yang tiada terkira. Biaya ini-itu yang tidak jelas aturannya atau lebih dikenal dengan pungutan liar (pungli) di jalan raya maupun dalam berbagai proses perizinan. Pungli dalam proses rekrutmen pegawai, promosi pangkat dan jabatan aparat. Bahkan juga kecurangan di ranah pendidikan, dengan kasus sering terjadi kebocoran soal ujian bagi anak-anak sekolah, dll. (HalalMUI)

Pada lingkup yang lebih kecil, kehidupan keluarga menjadi rusak disebabkan hilangnya kejujuran. Seperti selingkuh, kasus PIL (pria idaman lain) dan/atau WIL (wanita idaman lain), menyalahi janji, berkhianat, dan lain-lain yang mengindikasikan tidak ada lagi nilai-nilai kejujuran dalam biduk rumah tangga tersebut, sehingga menjadi karam. 

Rasulullah saw. juga bersabda bahwa bohong adalah pertanda kiamat kecil, yang berdampak kerusakan atau bahkan kehancuran: “Di antara tanda kiamat kecil adalah banyaknya kebohongan.” (HR. Ahmad). Dan boleh dikata, kiamat kecil berupa kerusakan negeri dan tatanan sosial, telah kita rasakan bersama dengan data dan fakta yang telah dipaparkan di atas.

Maka perlu ditekankan kembali, jika seluruh penduduk suatu negeri mengagungkan sifat jujur, tentu keberkahan akan menjadi selimut kehidupannya. Sebaliknya, manakala kebohongan yang ditinggikan, maka kesemerawutan akan menjadi monster kehidupannya.

Bertaubat Dapat Menyembuhkan Penyakit

Ada satu kisah yang sangat memprihatinkan dari seorang relasi yang bercerita. Dia bekerja sebagai salesman di luar kota. Dari rumah berangkat rapi, dan setiap bulan Ramadhan, oleh keluarganya dia tampak seperti orang yang berpuasa dengan baik. Tapi di jalan, karena berbagai alasan, puasanya pun batal, tanpa Rukhshoh yang dibenarkan syariah. Dan itu terus berlangsung, bertahun-tahun, setiap Ramadhan. Perjalanan dekat pun ia tidak puasa, apalagi berjalan jauh. Begitulah, dia tidak jujur, yang pada hakikatnya berarti dia menipu dirinya sendiri. 

Suatu ketika dia jatuh sakit parah, sangat berat. Boleh dikata tak bisa diobati. Pada saat itu timbul kesadaran diri dan penyesalan yang mendalam bahwa selama ini ia telah menipu diri dan keluarganya, dianggap berpuasa padahal sebenarnya tidak. Maka ia pun bertaubat dengan penuh kesungguhan. Dan Alhamdulillah, dengan perkenan Allah ia sembuh, penyakitnya pun hilang. 

Dari sini hendaknya kita dapat mengambil ibroh-pelajaran bahwa mengamalkan tuntunan syariah itu sejatinya adalah untuk keselamatan diri pribadi, keluarga, masyarakat, dan bangsa secara umum. Kalau selama ini ada persepsi, pada sebagian orang, bahwa ajaran syariah itu sebagai beban, maka persepsi keliru ini harus diperbaiki. Tuntunan syariah itu bukan beban, tetapi justru sebagai kebutuhan yang sangat diperlukan agar kita dapat hidup selamat, dunia akhirat. (HalalMUI)

Bahkan sejatinya, ajaran agama itu malah menguntungkan dan membahagiakan. Perhatikanlah ayat Al-Qur’an yang bermakna: “Sesungguhnya beruntung/berbahagialah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (syahwatnya)…” (QS. Al-Mu’minuun, 23: 1-5). 

Dari ayat tersebut, termasuk orang yang beruntung dan berbahagia adalah yang menjaga syahwat atau hawa nafsunya. Dan di antara inti amalan puasa juga ialah menjaga hawa nafsu dari amalan-perbuatan buruk yang akan mencelakakan. 

Dalam ayat lain disebutkan, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf, 12: 53). Dari ayat itu jelas, memperturutkan hawa nafsu niscaya akan membawa kepada kejahatan dan kecelakaan.

Maka mesti kita ingatkan bersama, dengan momentum Ramadhan yang segera menjelang, agar melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dengan baik dan benar, guna mengembalikan kejujuran yang sangat kita perlukan bersama. Ingatlah Rasulullah saw. bersabda dengan makna: “Puasa itu adalah benteng penghalang, maka janganlah ia berucap dengan kalimat buruk, mencaci, dan menghina. Jika ada yang mengganggunya atau mengumpatnya, katakanlah ‘aku puasa, aku puasa…’” (HR. Imam Bukhari).

“Puasa itu adalah benteng penghalang”. Al-Imam Ibn Hajar di dalam “Fathul Baari bisyarh Shahih Al Bukhari” menjelaskan, maksudnya sebagai benteng atau penghalang dari neraka dan kemurkaan Allah. Karena orang yang berpuasa itu tentu akan terhindar dan menghindarkan diri dari semua perbuatan maksiat yang tercela dan dilarang agama. Sehingga niscaya akan dicintai Allah. Lihat makna hadits selanjutnya, “Jangan sekali berucap kalimat-kalimat yang hina di saat puasa juga, di saat selain bulan puasa. Jangan pula mengucap kalimat-kalimat yang menipu orang lain, kalimat-kalimat yang hina”. Perhatikanlah, bicara dusta saja dilarang dengan tegas, apalagi melakukan kedustaan atau penipuan. 

Sehingga dengan menghayati dan mengimplementasikan nilai-nilai pelatihan puasa selama satu bulan penuh Ramadhan, dengan istiqomah seterusnya ba’da Ramadhan, maka pada saat Idul Fitri, kita dapat kembali kepada kesucian fitrah insani, mendapat ridho dan berkah Allah dunia wal akhirah. Sebagaimana kabar gembira yang disampaikan Rasulullah Saw. dalam haditsnya yang bermakna, “Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharapkan ridha Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. Al-Bukhari). Amin ya Allah.

(HalalMUI)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *