Oleh: Dr.K.H. Abdur Rahman Dahlan, MA.

(Ketua PB Al-Wasliyah, Anggota Komisi Fatwa MUI)

Ramadhan adalah karunia Allah yang sangat berharga. Ia adalah bulan bertabur Fadhilah (keutamaan) dan keberkahan (Syahrul-mubarok). Juga merupakan Mahathah (terminal) chek point guna menambah iman, takwa dan bekal amal dunia maupun akhirat, dengan menunaikan ibadah Shaum, berpuasa dan upaya-upaya Qiyamur-Ramadhan, menghidupkan hari-hari Ramadhan dengan amal ibadah yang diridhoi Allah, mengikuti contoh teladan Rasulullah saw. Disebutkan dalam hadits Nabi saw dengan arti: “Ramadhan telah mendatangi kalian. Bulan yang penuh berkah. Allah memfardhukan kepada kalian berpuasa pada bulan ini. Pada bulan ini (pula) pintu langit dibuka, pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup, dan para setan dibelenggu. Pada bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak memperoleh kebaikannya, maka ia akan terhalangi dari kebaikan itu.” (HR. An-Nasai).

Kita tentu sangat menginginkan kebebasan dari neraka dengan wasilah amaliyah Ramadhan, sebagaimana dikemukakan dalam Hadits Nabi Saw, “Barangsiapa yang puasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka dosa-dosanya niscaya akan diampuni (Allah).” (H.R. Bukhari). Ingin pula agar amal ibadah diterima Allah serta dihapus segala dosa. Maka tentu harus ada bekal yang dipersiapkan. Perhatikanlah Allah berfirman, “Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (Q.S. 9: 46).

Jelas, kita tidak dapat menjamin apakah akan bisa sampai ke bulan Ramadhan yang akan datang, ataukah tidak. Kalaupun sampai juga ke bulan Ramadhan nanti, tidak ada jaminan pula bahwa kita dapat meraih keutamaan Ramadhan. Oleh karena itu di sisa hari menjelang Ramadhan kini, harapan untuk diperjumpakan dengan Ramadhan harus selalu menyertai do’a-do’a kita. Termasuk yang harus kita mohon dengan berdoa penuh kesungguhan adalah kekuatan, kemudahan, dan taufiq dari-Nya untuk mengisi Ramadhan dengan berbagai ibadah, amal shaleh, dan ketaatan kepada Allah. Sebab tak sedikit orang yang sepertinya menanti dan merindukan Ramadhan. Tapi ketika bulan mulia itu telah nyata datang, namun ia tidak memperoleh manfaat sama sekali dari bulan yang suci itu. Ia tidak dapat memanfaatkannya dengan beribadah secara maksimal.

Seorang tokoh ulama salaf, Imam Abu Bakr Az-Zur’i memaparkan dua perkara yang wajib kita waspadai. Salah satunya adalah kewajiban telah datang tetapi kita tidak siap untuk menjalankannya. Ketidaksiapan tersebut dapat dianggap sebagai satu bentuk meremehkan perintah Allah, na’udzubillah. Akibatnya pun niscaya sangat besar, yaitu kelemahan untuk menjalankan kewajiban tsb dan terhalang dari ridha-Nya. Kedua dampak tsb merupakan hukuman atas ketidak-siapan dalam menjalankan kewajiban yang telah nampak di depan mata. [Badai’ul Fawaid 3/699].

Lalu Abu Bakr Az-Zur’i menyitir firman Allah yang artinya telah dikutip di atas (Q.S. 9: 46). Maka renungkanlah ayat tersebut dengan baik. Ketahuilah, Allah tidak menyukai keberangkatan mereka untuk berperang, dan Dia lemahkan mereka, karena tidak ada persiapan, juga karena niat mereka yang tidak lurus lagi. Namun, bila seorang melakukan persiapan dengan penuh kesungguhan, untuk menunaikan suatu amal dan ia bangkit menghadap Allah dengan kerelaan hati, maka Allah terlalu mulia untuk menolak hamba yang datang menghadap-Nya. Berhati-hatilah dari mengalami nasib menjadi orang yang tak layak menjalankan perintah Allah yang penuh berkah. Karena, sering mengikuti hawa nafsu, akan menyebabkan tertimpa hukuman berupa tertutupnya hati dari hidayah.

Oleh karena itu kedatangan bulan suci ini perlu dan harus disambut dengan persiapan yang serius. Dengan demikian, tersingkaplah ketidak-jujuran orang-orang yang tidak mempersiapkan bekal untuk berangkat menyambutnya. Dalam ayat di atas mereka dihukum dengan berbagai bentuk kelemahan dan kehinaan disebabkan keengganan mereka untuk melakukan persiapan.

Menyongsong dan menyambut bulan Ramadhan, di antaranya dengan memperbanyak berdoa, memohon kepada Allah agar dikaruniai umur panjang hingga berjumpa dengan bulan penuh berkah itu. Para ulama salaf dahulu memohon dipertemukan dengan bulan Ramadhan sejak enam bulan sebelumnya: “Allahumma barik lana fi Rajaba wa Sya’bana, wa ballighna Ra-madhan; Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, serta sampai-kanlah (usia) kami ke bulan Ramadhan”, adalah salah satu do’a yang masyhur dari para salafus shaleh, dan perlu selalu kita lantunkan setiap waktu.

Sebagai bentuk amal persiapan menyambut Ramadhan, di antaranya, Rasulullah saw memperbanyak berpuasa di bulan Sya’ban. Tentunya setelah membayar utang puasa (Puasa Qodho’) tahun lalu, kalau ada kewajiban puasa yang belum ditunaikan karena halangan syar’i. Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah, “Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156).

Beliau saw tidak terlihat lebih banyak berpuasa di satu bulan melebihi puasanya di bulan Sya’ban, dan beliau saw tidak menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan. Generasi emas umat ini, generasi salafush shalih, mereka selalu mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Sebagian ulama salaf mengatakan, ”Mereka (para shahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan.” [Lathaaiful Ma’arif hal. 232]

Agar buah bisa dipetik saat Ramadhan, maka harus ada benih yang disemai, dan harus dialirkan air sampai menghasilkan buah yang rimbun. Puasa, qiyamullail, bersedekah, dan berbagai amal shalih di bulan Rajab dan Sya’ban, semua itu untuk menanam amal shalih di bulan Rajab dan diairi di bulan Sya’ban. Tujuannya agar kita bisa memanen kelezatan puasa dan beramal shalih di bulan suci. Karena lezatnya Ramadhan hanya bisa dirasakan dengan kesabaran, perjuangan, dan tidak datang begitu saja. Hari-hari Ramadhan tidaklah banyak, perjalanan hari-hari itu begitu cepat. Oleh sebab itu, harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. (USM)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *