Search
Search

Penjelasan LPPOM MUI Tentang Sertifikasi Halal

Menanggapi beredarnya pemberitaan di berbagai media, baik cetak maupun elektronika  yang mempersoalkan sertifikasi halal  MUI, maka demi keberimbangan informasi serta untuk menghindari kesalahpahaman,  bersama ini disampaikan penjelasan sebagai berikut :

1. Secara umum, perkembangan sertifikasi halal oleh MUI yang sudah dijalankan selama lebih dari 30 tahun, ditanggapi positif oleh kalangan masyarakat dan dunia usaha. Namun ada beberapa pihak yang tidak suka dengan berkembangnya sertifikasi halal, dan mencoba membangun opini  dengan mengambil sudut pandang atau kacamata negatif. Sementara sisi positif dan fakta yang ada, tidak disampaikan, bahkan disembunyikan. 

2. Adalah fakta bahwa selama lebih dari 30 tahun,  sertifikasi halal di Indonesia bersifat voluntary atau suka rela.  Artinya, atas inisiatif sendiri dengan pertimbangan untuk memenuhi tuntutan pasar konsumen muslim, perusahaan mengajukan sertifikasi halal  termasuk dengan konsekuensi pembiayaannya. 

3. Adalah fakta bahwa dengan sertifikasi halal, bisnis mereka berkembang pesat. Dan tidak ada satu perusahaan pun yang usahanya bangkrut karena sertifikasi halal.

4. Selama ini, sertifikasi halal dapat diidentikkan dengan lembaga sertifikasi mutu yang dilakukan secara suka rela oleh perusahaan dengan membayar sejumlah biaya.

5. Mengingat dampak pemasarannya yang cukup signifikan, sertifikasi halal MUI selama ini merupakan upaya untuk menumbuhkembangkan bisnis UMKM karena menjadi lebih mudah mencari bahan baku produksi yang sudah halal.

6. Biaya sertifikasi untuk UKM sendiri, saat ini  sebagian besar ditanggung oleh instansi pemerintah, baik kementrian maupun Pemda. Dengan demikian, jika kemudian sertifikasi halal menjadi wajib sesuai amanat UU nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal,  maka pemerintahlah yang wajib memikirkan pembiayaannya,  bukan ditimpakan ke atau mempersalahkan  LPPOM MUI maupun MUI. 

7. UU Jaminan Produk Halal yang akan diberlakukan pada Oktober 2019 menganut prinsip mandatory, sehingga pemerintah melalui UU tersebut menegaskan wajib sertifikasi halal untuk produk yang beredar di Indonesia, berupa produk makanan, minuman, kosmetika, obat-obatan dan barang gunaan. 

8. Terkait sertifikasi halal barang gunaan,  peningkatan permintaan sertifikasi halal datang dari kalangan produsen sebagai upaya antisipasi atas pemberlakuan UU tersebut, yang dalam salah satu penjelasannya menyatakan bahwa yang termasuk wajib sertifikasi halal adalah makanan, minuman, obat obatan, kosmetika, dan barang gunaan.  Artinya, pihak perusahaanlah yang berinisiatif mengajukan, agar produknya lebih memiliki daya saing dan daya pembeda di pasaran.

9. Mengingat batasan tentang barang gunaan yang belum sepenuhnya jelas, maka LPPOM MUI  bersama  Komisi Fatwa MUI mulai memilah,  mana yang perlu diterima pendaftarannya dan mana yang harus ditolak. Secara umum produk yang kontak langsung dengan pangan, digunakan sebagai sarana ibadah, kontak dengan tubuh manusia,  masih bisa disertifikasi halal. 

Demikian penjelasan ini disampaikan untuk menghindari kesalahpahaman dan ketersesatan informasi.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *