Diasuh oleh: Dr. KH. Maulana Hasanuddin, M.A. (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat); dan Drs. H. Sholahudin Al-Aiyub, M.Si. (Wakil Sekretaris Jenderal MUI Pusat dan anggota Komisi Fatwa MUI Pusat).

Dengan perkembangan ilmu dan teknologi, terutama di bidang pakan ternak, ketika diperhatikan, ada beberapa kalangan memanfaatkan bahan dari babi untuk pakan ternak, guna memacu pertumbuhan dan perkembangan ternak yang dikelola. (HalalMUI)

Sebagai contoh, ada yang memanfaatkan darah babi menjadi tepung darah, atau tulang babi sebagai tepung tulang, yang kemudian dicampur guna memperkaya kandungan gizi pakan ternak untuk sapi, kambing, atau ayam.

Kenyataan praktik itu menggelitik hati, lantas bagaimana sesungguhnya hukum memanfaatkan bahan dari babi  untuk pakan ternak, yang kemudian kita konsumsi sehari-hari?

Menjawab pertanyaan tersebut, dapat dikemukakan beberapa kajian-pembahasan. Pertama, dari sisi Hukum Taklify, dapat ditegaskan bahwa hewan tidak terkena Hukum Taklif (pembebanan). Jadi tidak ada ketentuan halal-haram bagi hewan. Taklif Hukum hanya berlaku bagi manusia, itu pun dengan syarat manusia yang telah dewasa dan berakal. Anak-anak yang belum baligh-berakal, maupun orang gila yang hilang akalnya, tidak pula terkena Taklif Hukum. Dalam Hadits Nabi saw. disebutkan,

“Ada tiga golongan manusia yang telah diangkat pena darinya (yaitu tidak diberi beban syari’at) yaitu; orang yang tidur sampai dia terjaga, anak kecil sampai dia baligh dan orang yang gila sampai dia sembuh.” (HR. Abu Dawud)

Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Telah diangkat pena dari tiga golongan: dari orang gila sampai ia sadar, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga ia baligh.” [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir 3514], Sunan at-Tirmidzi (II/102/693)

Dari pandangan Fiqhiyah, secara zhohiri (lahiriah), kita tidak memakan babi, tetapi mengkonsumsi daging ayam atau sapi. Namun sebagai orang beriman, kita harus menjaga dan menghindarkan diri dari hal-hal yang Syubhat, sebagaimana telah diperintahkan oleh Nabi saw. dalam haditsnya, yang diriwayatkan dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan.“ (HR. Bukhori dan Muslim).

Selanjutnya, kalau kita perhatikan, banyak orang yang memelihara ikan di kolam yang di atasnya ada jamban, atau kandang ayam. Ikan itu memakan kotoran ayam atau kotoran manusia yang buang hajat di jamban tersebut. Bahkan ada yang sengaja memberi makan ikan lele dumbo, misalnya, dengan bangkai ayam. Dan ikannya tetap halal. Tidak ada ulama yang mengharamkan ikan dengan pemeliharaan semacam itu.

Namun, berkenaan dengan pakan dari bahan babi itu, kalau daging ayam atau sapi itu berubah warna, bau dan rasanya dari yang diberi pakan secara normal, maka ayam atau sapi itu harus dikarantina dulu sebelum disembelih, sampai kondisi dagingnya normal. (HalalMUI)

Zero Tolerance, Tidak Boleh Ada Intifa’

Tapi dari sisi perbuatan, kalau sengaja membeli tepung darah atau tepung tulang dari babi itu, maka perilaku membeli dan memanfaatkan babi itu, termasuk kategori perbuatan yang dilarang dalam agama. Para ulama di MUI telah menetapkan prinsip yang berkenaan dengan babi dan segala bentuk turunannya ini: tidak ada toleransi sedikit pun, “Zero Tolerance”. Maka semua produk turunannya juga menjadi haram.

Nah, penggunaan bahan dari babi ini dengan sengaja, sebagai bahan untuk pakan ternak, jelas dilarang dalam kaidah syariah. Karena termasuk dalam kategori Intifa’ atau pemanfaatan babi atau bahan/barang yang dilarang dan diharamkan dalam Islam. Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr dan hasil penjualannya dan mengharamkan bangkai dan hasil penjualannya serta mengharamkan babi dan hasil penjualannya.” (HR. Abu Daud).

Tegasnya, dalam masalah babi ini, tidak boleh ada intifa’ atau pemanfaatan bahan atau kandungan dari babi sama sekali. Dalam riwayat disebutkan, “Ma haruma akluhu, haruma tsamanuhu”. Apa-apa yang diharamkan untuk memakannya, maka haram pula harganya (memperjual-belikannya). Dan keharaman ini termasuk dalam kaidah Saddudz-Dzari’ah. Sebagai tindakan preventif atau pencegahan, agar tidak sampai melanggar hukum yang telah ditetapkan.  Wallahu a’lam bish-showab. (HalalMUI)

Sumber: Jurnal Halal, 116

(HalalMUI)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.