Search
Search

Halal, Kedamaian dan Harmoni Sosial

Oleh:  Prof. Dr. H. Ahmad Satori Ismail, M.A. (Ketum IKADI, Anggota KF MUI)

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al-Maidah, 5: 90). (HalalMUI)

Para ahli medis, kesehatan maupun kehidupan sosial menyebutkan betapa dampak buruk dari mengkonsumsi khamar itu sangat banyak. Tidak bisa dianggap main-main.

Masalahnya sangat serius. Bahkan masyarakat di Eropa maupun Amerika yang  sangat sekular sekalipun, mengakui bahaya khamar ini, sehingga ada peraturan perundang-undangan yang menyebutkan, orang yang mengemudikan kendaraan dalam pengaruh miras dianggap sebagai melakukan tindak kriminal yang dapat dituntut pidana secara hukum.

Bebagai bukti menunjukkan, misalnya, perilaku kriminal bertindak sangat sadis, karena banyak dari pelaku kejahatan itu sebelum beraksi biasanya terlebih dahulu meminum minuman keras yang diharamkan dalam Islam. Akibatnya, kesadaran nalar dan perasaannya jadi hilang. Sehingga tak sungkan lagi berbuat sangat kejam dan sadis terhadap korbannya.

Orang yang terganggu akal pikirannya, niscaya tidak dapat berpikir secara normal, tak dapat melakukan pertimbangan yang baik. Banyak pelaku kriminal, sebelum melakukan tindak kejahatan, terlebih dahulu mengkonsumsi khamar atau miras.

Terbukti juga, sangat banyak kasus asusila maupun tindak kejahatan/kriminal dilakukan, pelakunya dalam keadaan mabuk, karena pengaruh khamar, atau minuman keras (Miras). Seperti pencurian, perampokan, pelecehan seksual, bahkan juga pemerkosaan sampai pada pembunuhan yang sangat keji dan sadis. Sehingga bisa dikatakan, mengkonsumsi Miras yang diharamkan agama itu, sebagai pangkal dari berbagai tindak kriminal. (HalalMUI)

Begitu pula banyak anak-anak pelajar melakukan tawuran juga berbuat sadis, sampai menganiaya bahkan membunuh temannya sesama pelajar. Dalam pemeriksaan oleh aparat berwenang, terbukti sebelum tawuran mereka terlebih dahulu meminum miras. Atau bahkan sangat boleh jadi, anak-pelajar itu berbuat tawuran demikian rupa karena banyak mengkonsumsi makanan yang tidak halal.

Yaitu dari rezeki keluarga yang diberikan orang tuanya yang diperoleh dengan cara tidak halal seperti dari mencuri, korupsi, manipulasi, dll., yang telah disebutkan tadi. Hadits Nabi saw. telah mengisyaratkan hal ini dengan tegas: ”Setiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram, maka api neraka lebih utama baginya (lebih layak membakarnya).” (HR. At-Thabrani).

Hal ini telah pula ditegaskan dalam Hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwa Nabi saw. bersabda: “Khamr itu adalah induk dari segala kejahatan, barang siapa meminumnya, maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari, apabila ia mati sementara ada khamr di dalam perutnya, maka ia mati sebagaimana matinya orang Jahiliyyah.” (HR. Ath-Thabrani). Bahkan ada satu riwayat menyebutkan, karena khamar seorang ‘abid sampai berbuat zina dan membunuh.

Sebagaimana diriwayatkan dari Utsman bin ‘Affan, ia menyatakan, “Jauhilah khamar (minuman keras), karena khamar itu merupakan induk segala keburukan (biang kerusakan). ‘Utsman lalu bercerita, dahulu ada seorang ‘abid (ahli ibadah) yang biasa pergi ke masjid di antara orang-orang sebelum kalian dan ia disukai oleh seorang pelacur. (HalalMUI)

Pelacur tersebut mengutus pembantunya untuk menyampaikan pesan, “Kami mengundang engkau untuk suatu kesaksian.” Ahli ibadah itu pun pergi bersama pembantu tersebut. Ketika dia sudah sampai dan masuk ke rumah sang pelacur, segera pelacur itu menutup rapat semua pintu rumahnya, dan tak ada orang lain.

Mata sang abid tertuju ke sosok seorang wanita yang amat cantik (berpenampilan seksi dengan pakaian yang menantang) sambil membawa secawan khamar dan di dekatnya ada bayi yang masih kecil. Wanita tersebut berkata, “Demi Allah, aku tidak mengundangmu untuk sebuah kesaksian, tapi aku mengundangmu agar engkau bercinta denganku, atau engkau ikut minum khamar barang segelas bersamaku, atau engkau harus membunuh bayi ini.” (Kalau engkau menolaknya, maka aku akan menjerit dan berteriak, ‘ada orang memasuki rumahku.’).

Akhirnya sang ahli ibadah bertekuk lutut dan dia berkata, “Zina, saya tidak mau. Membunuh juga tidak.” Lalu ia memilih untuk meminum khamar (karena dianggapnya dosanya lebih ringan). Diminumnya seteguk demi seteguk hingga akhirnya ia mabuk. Dan setelah mabuk hilanglah akal sehatnya yang pada akhirnya ia berzina dengan pelacur tersebut dan juga membunuh bayi itu. Lantas ‘Utsman pun berkata, Karena itu jauhilah khamar (miras), karena demi Allah, sesungguhnya iman tidak dapat menyatu dengan khamar dalam dada seseorang, melainkan harus keluar salah satunya. (HR. An-Nasa’i, Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Berikutnya, ada orang yang bersungguh-sungguh ibadah dan berdoa kepada Allah, namun ditolak oleh Allah; berinfak-shodaqoh, mengeluarkan zakat, tidak diterima. Ada pula yang melakukan ibadah haji, namun tidak mendapat Haji yang Mabrur, tapi malah jadi Haji yang Mardud. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Telah bersabda Rasululloh: “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik (halal).” [HR. Muslim].

Hal ini lebih ditegaskan dalam hadits Nabi saw. yang terkenal, dan tercantum dalam Kitab Hadits Al-Arba’in an-Nawawiyah, dengan makna: “Nabi saw. menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, dan badannya lusuh penuh debu. Sambil menengadahkan tangan ke langit ia berdoa, “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia selalu bergelut dan dikenyangkan dengan yang haram. (Maka Nabi saw. pun menegaskan), lantas bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya.” (HR. Imam Muslim).

Jelas, dari hadits Nabi saw. itu dapat dipahami, orang yang mengkonsumsi makanan yang tidak halal, maka berdampak sulit diajak taat, ibadah kepada Allah. Sebaliknya, sangat mudah berbuat maksiat, dosa yang dilarang agama. Sehingga mendapat siksa neraka. (HalalMUI)

Memang diakui, ada kesenjangan antara ajaran Islam yang ideal dari Allah dan pasti menyelamatkan hidup manusia, dengan umat Islam yang memeluk agama yang mulia ini. Maka seharusnya, orang yang mengaku beragama Islam itu benar-benar menyerahkan diri, tunduk patuh kepada Allah dan mengamalkan ajaran Islam dengan penuh kesungguhan. Bukan sekedar pengakuan saja, yang populer disebut Islam KTP.

Maka, kalau ada orang Islam namun (sering) berbuat maksiat, bahkan melakukan korupsi atau perbuatan dosa lainnya yang tidak halal, berarti dia kurang atau bahkan tidak memahami inti dari makna bahasa dari ungkapan kata “Islam” itu sendiri. Karena sebagaimana telah dijelaskan, diantaranya, Islam bermakna damai dan selamat. Islam mengajarkan halal haram untuk menciptakan kedamaian dan harmoni sosial.

Maka semestinya orang yang mengaku beragama Islam harus berbuat yang menyejukkan, membawa kedamaian dan keselamatan bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perbuatan korupsi itu, jelas menimbulkan keresahan, mencelakakan diri maupun keluarga, juga merugikan bahkan menyengsarakan orang lain maupun negara yang berpenduduk berjuta-juta jiwa ini.

Selanjutnya, harus dipahami pula hakikatnya, Islam itu satu. Yaitu agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw., sebagai risalah yang disampaikan kepada seluruh umat manusia. Innad-diina ‘indallahil islam… Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam...” (QS. Ali Imran, 3: 19). Jadi, sejatinya, tidak ada istilah dengan embel-embel yang menyebutkan Islam kiri, Islam kanan, atau Islam liberal, Islam moderat, dll.

Ungkapan itu dipergunakan oleh orang-orang sekuler atau kafir, untuk memecah belah umat Islam, sehingga menjadi tercerai-berai, tidak bersatu dan lemah. Karena kalau umat Islam bersatu, berpegang teguh dengan ajaran agamanya, niscaya akan menjadi kuat dan tak terkalahkan. Wa’tashimu bihablillah jami’an… (HalalMUI)

Ummatan Wasathan dan Islam Wasathiyyah

Kalaupun ada ungkapan yang menyebutkan Islam sebagai agama pertengahan, atau Islam Wasathiyyah, maka sesungguhnya itu merupakan bagian dari ciri agama Islam itu sendiri, dari ungkapan bahasa yang disebutkan Allah secara eksplisit di dalam Al-Quran. Yakni Ummatan Wasathan… (maksud QS. 2: 143). Maksudnya ialah umat Muslim harus bersikap “Tawazun” yaitu adanya keseimbangan antara dunia dan akhirat.

Bukan menitik-beratkan pada kehidupan dunia saja, misalnya, tetapi melupakan kehidupan akhirat yang abadi. Bukan pula yang sebaliknya, hanya khusyu’ ibadah dalam pengertian yang sempit untuk kepentingan akhirat, seperti mengucilkan diri, hanya berdiam diri di masjid saja, asyik sendiri dengan amalan i’tikaf secara individual, tetapi meninggalkan kerja-kerja sosial yang bersifat duniawi seperti bermuamalah atau berusaha secara ekonomi, bekerja mencari rezeki yang halal, berupaya memakmurkan negeri, dll.

Allah telah menegaskan dalam ayat yang artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash, 28: 77). (HalalMUI)

Ayat ini mengingatkan kita agar mencari bekal untuk kehidupan akhirat yang abadi, tetapi tidak boleh meninggalkan amalan yang bersifat duniawi. Bahkan dalam doa “sapu jagat” yang sangat masyhur di kalangan awam, ada isyarat untuk mendahukan kehidupan akhirat, tanpa melalaikan aspek keduniaan: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, juga kebaikan di akhirat. Dan peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Al-Baqoroh, 2: 201). Dari ayat ini ada tiga permintaan; 1 permintaan untuk kehidupan dunia, dan 2 permintaan utk kehidupan akhirat. Inilah isyarat, bahwa kita harus lebih memikirkan dan beramal untuk kehidupan akhirat.

Oleh karenanya agama Islam ini harus dipahami dengan baik, dipegang dengan kuat, dan diamalkan dengan penuh kesungguhan. Memiliki komitmen yang tinggi untuk mengamalkan dan memperjuangkan agama ini, guna meraih Ridho Allah, hidup berkah dunia wal akhirah.

Maka jelas, beragama itu harus serius. Shalat dengan serius, fokus, dan khusyuk. Ibadah juga serius, menjalankan tuntunan agama dengan penuh kesungguhan, dst. Tidak boleh main-main. Karena agama bukan barang mainan. Orang bekerja saja, di kantor, pabrik, dll., ditekuni dengan serius. Mengapa untuk meraih Ridho Allah, dengan harapan memperoleh ganjaran surga yang bernilai sangat luar biasa, malah tidak serius. (***)

Sumber: Jurnal Halal, 127

(HalalMUI)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.