Setelah sukses meraih prestasi di level internasional sebagai destinasi wisata halal terbaik di dunia versi GMTI (Global Muslim Travel Index) 2019, Indonesia semakin serius menggarap pasar wisata halal. Meski MUI sudah lebih dulu mengeluarkan panduan, regulasi terkait hal ini masih harus dipersiapkan.
Dinobatkannya Indonesia sebagai destinasi wisata halal terbaik dunia, mengembuskan angin optimisme baru bagi para pemangku kepentingan di bidang wisata halal. Kementerian Pariwisata terus memperluas cakupan destinasi wisata halal prioritas. Sementara LPPOM MUI sebagai lembaga yang fokus menangani sertifikasi halal, tak kalah gesit dalam melakukan sertifikasi halal di daerah-daerah tujuan wisata.
Seperti diketahui, Chief Executive Officer (CEO) CrescentRating, Fazal Bahardeen, pada awal April 2019 lalu menyerahkan piagam penghargaan kepada Indonesia yang menduduki peringkat pertama wisata halal dunia versi GMTI 2019, bersanding dengan Malaysia.
Selain Indonesia dan Malaysia, urutan ranking wisata halal dunia versi GMTI diraih oleh Turki di posisi ketiga (skor 75), Arab Saudi di posisi keempat (skor 72), serta Uni Emirat Arab di posisi kelima (skor 71). Negara lain yang masuk dalam top 10 wisata halal dunia lainnya antara lain Qatar (skor 68), Maroko (skor 67), Bahrain (skor 66), Oman (skor 66), dan Brunei Darussalam (skor 65).
Secara spesifik, GMTI melalui CrescentRating-Mastercard juga telah mengumumkan bahwa top 5 destinasi wisata halal prioritas Indonesia 2019 secara berturut-turut diraih oleh Lombok (Nusa Tenggara Barat) dengan skor 70, Aceh (66), Riau dan Kepulauan Riau (63), DKI Jakarta (59), serta Sumatera Barat (59).
“Saya harapkan prestasi ini akan memacu destinasi wisata lain di Indonesia untuk segera mengembangkan wisata halal di masing-masing daerahnya, karena kita mampu. Indonesia mampu dan layak untuk dikenal dunia” imbuh Menteri Pariwisata Arif Yahya.
Seperti dilansir oleh Tim Komunikasi Pemerintah Kemenkominfo dan Biro Komunikasi Publik, Kementerian Pariwisata RI, Arif Yahya menambahkan, pengembangan pariwisata halal Indonesia merupakan salah satu program prioritas Kementerian Pariwisata yang sudah dikerjakan sejak lima tahun yang lalu. Data GMTI 2019 menunjukkan bahwa hingga tahun 2030, jumlah wisatawan muslim diproyeksikan akan menembus angka 230 juta di seluruh dunia.
Selain itu, pertumbuhan pasar pariwisata halal Indonesia di tahun 2018 mencapai 18%, dengan jumlah wisatawan muslim mancanegara yang berkunjung ke destinasi wisata halal prioritas Indonesia mencapai 2,8 juta dengan devisa mencapai lebih dari Rp 40 triliun.
Mengacu pada target capaian 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara yang harus diraih di tahun 2019, Kementerian Pariwisata menargetkan 25% atau setara 5 juta dari 20 juta wisman adalah wisatawan muslim.
Untuk mencapai target tersebut, Kementerian Pariwisata kemudian membentuk tim pengembangan 10 Destinasi Halal Prioritas Nasional pada tahun 2018 yang mengacu standar GMTI. Kesepuluh Destinasi Wisata Halal Prioritas tersebut adalah Aceh, Riau dan Kepulauan Riau, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur (Malang Raya), Lombok, dan Sulawesi Selatan (Makassar dan sekitarnya).
Tahun ini, penguatan destinasi pariwisata halal dilakukan dengan menambah keikutsertaan 6 Kabupaten dan Kota yang terdapat di dalam wilayah 10 Destinasi Halal Prioritas Nasional, yaitu Kota Tanjung Pinang, Kota Pekanbaru, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Cianjur.
Guna mendorong percepatan pengembangan destinasi pariwisata halal nasional berstandar global, Kementerian Pariwisata menyelenggarakan Indonesia Muslim Travel Index (IMTI) pada tahun 2018 dan 2019. Penilaian IMTI dilakukan langsung oleh CrescentRating-Mastercard yang bekerjasama dengan Indonesia dengan menggunakan empat indikator utama yang telah ditetapkan oleh GMTI yakni: accessibility (aksesibilitas), communication (komunikasi), environment (lingkungan) dan service (layanan). Hasil penilaian dari empat aspek utama tersebut secara otomatis akan menentukan top 5 destinasi wisata halal prioritas Indonesia.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin menyatakan, sertifikasi halal bagi produk pendukung wisata, sangatlah penting. Namun, di luar itu ada hal lain yang juga tak kalah penting, yakni pelayanan secara menyeluruh. “Kita jangan hanya mengandalkan halal dan status Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim. Jika kita tidak bisa memberikan pelayanan terbaik maka wisatawan tidak akan mau datang,” ujar KH. Ma’ruf Amin pada pembukaan Rapat Penyusunan Rencana Strategis Pariwisata Halal 2019-2024 oleh Kementerian Pariwisata, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Perlu Regulasi yang Memadai
Semangat pengembangan wisata halal terus dikembangkan meskipun dengan regulasi yang masih minim. Direktur LPPOM MUI, Dr. Lukmanul Hakim, M.Si mengakui, regulasi yang secara spesifik mengatur tentang wisata halal belum ada.
Namun, LPPOM MUI sebagai lembaga yang menangani sertifikasi halal, terus mendorong agar daerah yang akan mengembangkan destinasi wisata halal, dilengkapi dengan sarana dan prasana yang halal. “Tersedia restoran, pusat kuliner, hingga makanan dan minuman yang bersertifikat halal,” ujar Lukmanul Hakim.
Senada dengan Lukmanul Hakim, dosen tetap pada Business Law Departement Universitas Bina Nusantara (Binus), Abdul Rasyid menjelaskan, Indonesia sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pariwisata halal di skala global karena didukung dengan keindahan alam, keragaman budaya dan populasi muslim terbesar di dunia. Usaha yang telah dilakukan oleh Kemenpar dalam mempromosikan Indonesia sebagai pusat destinasi pariwisata halal juga layak untuk diapresasi.
“Namun penting untuk dipikirkan bahwa pengembangan pariwisata halal tidak hanya semata dengan melakukan promosi secara masif saja guna mengejar posisi tertentu di skala global, tapi juga harus didukung dengan regulasi yang kuat sebagai landasan dalam melangkah,” ujar Abdul Rasyid dalam tulisannya di https://business-law.binus.ac.id.
Dari sisi regulasi, tambahnya, pariwisata halal di Indonesia tergolong lemah karena tidak ada aturan secara spesifik, baik dalam bentuk Undang-Undang maupun Peraturan Menteri. Sampai saat ini aktivitas wisata halal berdasarkan pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. UU ini mengatur tentang kepariwisataan secara umum, dan tidak mengatur pariwisata halal.
Menurut UU tersebut, pariwisata adalah ‘berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah.” (Pasal 1 butir 3). Usaha pariwisata mencakup banyak sektor, antara lain jasa transportasi wisata, jasa perjalanan wisata, jasa makanan dan minuman, penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, pameran, spa, dan lain-lain.
Meskipun dalam pasal di atas kata pariwisata halal tidak disebutkan secara eksplisit, namun apabila diamati kata “berbagai macam kegiatan wisata” dalam definisi pariwisata tersebut mengindikasikan dibolehkannya melakukan kegiatan pariwisata berdasarkan kepada prinsip-prinsip syariah.
Kegiatan usaha pariwisata halal memang mempunyai karakterisitik yang berbeda dengan kegiatan usaha pariwisata pada umumunya. Kegiatan usaha pariwisata halal merupakan konsep yang mengintegrasikan nilai-nilai syariah ke dalam kegiatan pariwisata dengan menyediakan berbagai fasilitas dan pelayanan yang sesuai dengan ketentuan syariah. (Selengkapnya baca: Perbedaan Wisata Konvensional dengan Wisata Halal).
Untuk memfasilitasi dan mendukung kegiatan usaha pariwisata halal, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah. Peraturan Menteri ini dikeluarkan berdasarkan Nota Kesepahaman antara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) tentang Pengembangan dan Sosialisasi Pariwisata Syariah. Secara umum, Peraturan Menteri di atas memberikan pedoman dan standarisasi penyelenggaraan usaha hotel syariah.
Pada tahun 2016, Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah tersebut dicabut dengan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 11 Tahun 2016 karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan kepariwisataan saat ini. Selain itu, Menteri Pariwisata juga telah mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Usaha Pariwisata. Peraturan ini mengatur mengenai sertifikasi usaha pariwisata halal.
“Namun Pasal mengenai sertifikasi usaha pariwisata halal dalam peraturan tersebut juga dicabut dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Usaha Pariwisata. Dengan dicabutnya beberapa peraturan Menteri di atas praktis tidak ada lagi peraturan yang mengatur pariwisata halal. Tentu hal ini membuat bingung para pelaku pariwisata halal ketika akan menjalankan usahanya karena tidak ada pedoman yang harus dikuti,” jelas Abdul Rasyid.
Di sela-sela acara penobatan wisata halal oleh GMTI di Jakarta, Menteri Pariwisata Arif Yahya juga mengakui pentingnya membuat regulasi yang suportif dalam upaya memajukan wisata halal. “Kita juga membutuhkan regulasi terkait halal tourism dan ini akan dibuat atas kerja sama Kemenpar dengan Majelis Ulama Indonesia,” ujarnya.
Panduan dari DSN-MUI
Melihat kondisi tidak adanya peraturan mengenai parawisata halal dan juga atas permintaan beberapa pihak, maka pada akhir 2016 Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengatur mengenai penyelenggaraan parawisata syariah (halal) yang dapat digunakan untuk mengembangkan sektor parawisata halal di Indonesia.
Fatwa DSN MUI Nomor 108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah tersebut mengatur tentang keseluruhan kegiatan parawisata syariah, dari ketentuan akad (perjanjian) yang dilakukan, ketentuan hotel, destinasi wisata, SPA, sauna, massage, biro perjalanan, maupun ketentuan mengenai pemandu wisatanya. Meski dalam beberapa hal terdapat perbedaan, panduan wisata halal juga dikeluarkan oleh Crescent Rating dan GMTI.
Terlepas dari belum lengkapnya regulasi yang mengatur wisata halal, satu hal yang patut disyukuri adalah kuatnya komitmen dari para pemangku kepentingan, untuk secara bersama-sama membangun wisata halal Indonesia. Pemerintah, melalui Kementerian Pariwisata beserta jajaran di bawahnya, telah menggariskan kebijakan tentang pengembangan wisata halal. MUI telah pula mengeluarkan panduan pelaksanaan wisata halal.
Sedangkan LPPOM MUI, seperti disampaikan oleh Wakil Direktur LPPOM MUI Bidang Pembinaan Daerah, Ir. Osmena Gunawan, terus mendorong agar jajaran LPPOM MUI provinsi, terutama yang daerahnya telah dicanangkan sebagai destinasi wisata halal prioritas, terus melakukan langkah-langkah strategis dalam hal sertifikasi halal.
“Pengembangan destinasi wisata halal harus berangkat dari komitmen bersama untuk menciptakan suasana yang ramah, bersih, aman, dan nyaman. Yang tak kalah penting adalah komitmen dari pengelola hotel, restoran dan penyedia makanan lainnya untuk menyediakan makanan dan minuman yang benar-benar terjamin kehalalannya,” ujar Osmena Gunawan. (FMS)