Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar istilah “jajanan pasar”? Pikiran sebagian besar orang mungkin langsung menuju ke pasar tradisional dan sibuk memilih aneka kue dengan beragam bentuk dan warna. Bagaimana kehalalannya?  

Resep yang biasanya digunakan dalam membuat jajanan pasar sering kali didapatkan secara turun temurun. Inilah yang menghadirkan cita rasa dan aroma klasik yang sering membuat banyak orang rindu aneka jenis jajanan ini. Tak heran, meski jajanan kekinian telah banyak hadir di tengah masyarakat, kenikmatan jajanan pasar tetap tak bisa terlewati begitu saja dan tetap eksis hingga saat ini.

Sampai saat ini, jajanan pasar masih banyak diproduksi dalam skala rumah tangga. Hal ini mungkin menjadi satu dari sekian alasan sebagian masyarakat merasa aman dan menganggap penganan tersebut aman dan halal.

Padahal, jajanan pasar terbuat dari berbagai macam bahan yang tentu harus dicermati kehalalannya. Misalnya, tepung terigu, mentega, minyak goreng, kecap, dan bahan lainnya. Belum lagi proses pengolahannya. Jajanan pasar diolah dengan bermacam-macam cara, seperti digoreng, dikukus, dibakar, atau direbus.

Setiap prosesnya memiliki titik kritis masing-masing. Saat bahan penganan digoreng, misalnya, minyak untuk menggoreng perlu diperhatikan. Meski terbuat dari tumbuhan (kelapa sawit, zaitun, wijen, dll.), pada proses pengolahannya bisa saja digunakan bahan tambahan dan bahan penolong yang berasal dari bahan yang belum jelas kehalalannya.

Yang juga tak kalah penting adalah bahan campuran dan pendukung jajanan pasar. Sudah banyak ditemui kasus pedagang yang mengakali produknya dengan bahan campuran tertentu untuk menekan biaya produksi, membuat produk menjadi lebih tahan lama, atau menghasilkan warna yang menarik mata. Hal ini terbukti dari maraknya kasus ditemukan zat-zat berbahaya dalam makanan tertentu. Karena itu, konsumen perlu lebih bijak dan berhati-hati dalam menyikapi hal ini.

Kali ini, Jurnal Halal akan membahas salah satu jajanan pasar yang digemari masyarakat dari beragam usia, yaitu kue lapis. Jajanan pasar ini terdiri dari beberapa bahan utama, yaitu tepung beras, gula, pewarna makanan, dan santan.

Meski kebanyakan kue lapis dibuat dalam skala rumah tangga, kita tetap perlu memperhatikan titik kritis bahan-bahan yang terkandung dalam kue lapis. Berikut ini pemaparan titik kritis dalam bahan-bahan utama kue lapis.

Tepung Beras

Tepung beras merupakan salah satu bahan utama yang diperlukan dalam pembuatan kue lapis. Surat Keputusan LPPOM MUI mengategorikan tepung beras ke dalam kelompok “Bahan Tidak Kritis”. Hal ini dikarenakan, produk yang berasal dari nabati diolah melalui proses fisik tanpa penambahan bahan atau dengan penambahan bahan aditif yang umumnya merupakan bahan kimia.

Gula

Kebanyakan gula pasir biasanya terbuat dari tebu. Karena berasal dari tanaman, maka sudah bisa dipastikan produk tersebut halal. Namun untuk sampai menjadi gula pasir, tebu perlu melalui beberapa tahapan, mulai dari proses ekstraksi, penjernihan, evaporasi, kristalisasi, hingga pengeringan.

Tahapan-tahapan proses ini berpeluang menggunakan bahan dekolorisasi yang menggunakan arang aktif. Bahan ini dapat terbuat dari tulang, kayu, atau bambu. Perlu dikaji lebih lanjut apabila menggunakan arang aktif dari tulang karena ada kemungkinan berasal dari tulang babi atau hewan yang disembelih tidak sesuai syar’i.

Pewarna Makanan

Bahan selanjutnya yang mempercantik kue lapis adalah pewarna (colorings). Saat ini, pewarna makanan semakin berkembang, ada yang dibuat dari bahan sintetis (buatan) dan natural (alami). Pewarna sintetis disukai produsen makanan karena memiliki tingkat kestabilan warna yang cukup baik serta harga yang relatif murah.

Sementara itu, pewarna alami biasanya bersifat kurang stabil. Untuk menghindari kerusakan warna dari pengaruh suhu, cahaya, serta pengaruh lingkungan lainnya, maka sering kali pewarna jenis ini ditambahkan senyawa pelapis (coating agent) melalui proses micro-encapsulation. Salah satu jenis pelapis yang sering dipakai adalah gelatin.

“Beberapa pewarna berbahan alami menggunakan gelatin sebagai penstabil. Dalam hal ini, sumber gelatin harus dipastikan berasal dari hewan halal yang disembelih sesuai syar’i,” papar Ir. Muti Arintawati, M.Si., Wakil Direktur Lembaga Penelitian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).

Lebih dari itu, kadang-kadang pengusaha yang nakal menggunakan pewarna bukan makanan (nonfood grade) untuk produknya demi mengeruk keuntungan lebih banyak. Pada banyak kasus ditemukan jajanan pasar dicampur dengan pewarna tekstil, seperti Rhodamin B. Tentu ini sangat berbahaya bagi kesehatan.

Santan

Dalam pembuatan kue lapis, kita memerlukan santan sebagai salah satu bahan utama. Santan akan melalui dua kali proses memasak, yakni direbus dan dikukus. Santan segar yang didapatkan dari hasil perasan parutan kelapa sudah bisa dipastikan kehalalannya karena tidak melalui proses pencampuran bahan apa pun.

Namun, saat ini santan yang dikemas dan diproduksi dalam skala pabrik juga menjadi primadona ibu rumah tangga karena dianggap lebih praktis. Santan inilah yang juga perlu disoroti kehalalannya. Santan kemasan dibuat dengan beberapa bahan campuran, di antaranya santan kelapa, air, dan bahan penstabil.

Dengan banyaknya peluang produsen berbuat curang, konsumen perlu lebih berhati-hati memilih produk untuk dikonsumsi, termasuk kue lapis, yang sering dijumpai di pasar-pasar. Cermatilah kehalalannya, setidaknya dari bahan-bahan yang digunakan. (YN)

Sumber foto: cookpad.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.

//
Assalamu'alaikum, Selamat datang di pelayanan Customer Care LPPOM
👋 Apa ada yang bisa kami bantu?