Dampak Omnibus Law pada RUU Cipta Kerja ternyata juga berdampak terhadap UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Drs. KH. Sholahuddin Al Aiyub, M.Si menjelaskan mengenai hukum fiqih yang digunakan dalam sertifikasi halal adalah fiqih qadha’i yang bersifat final dan binding serta sudah pada level aturan negara. 

(Baca juga : IHW: RUU Cipta Kerja Berpotensi Hilangkan Peran Ulama dalam Penetapan Fatwa Produk Halal)

Menurutnya, sifat fiqih terbagi menjadi dua, yakni fiqih biasa dan fiqih qadha’i. Untuk opini fikih atau fatwa biasa, setiap ormas memiliki kewenangan yang sama untuk menetapkan hukumnya. Hal ini dimungkinkan adanya perbedaan putusannya dalam satu varian. 

Sedangkan, dalam konteks sertifikasi halal, fiqih yang digunakan adalah fiqih qadha’i yang bersifat final dan binding serta sudah pada level aturan negara. Sehingga, sudah tidak dibolehkan adanya perbedaan pendapat. Artinya, kewenangan tidak bisa dibagikan kepada siapa pun. Meski acuannya sama, namun kalau penetapan fatwanya berbeda itu juga tidak bisa. 

“Misalnya, ada 10 pendapat, ketika negara atau yang ditunjuk oleh negara mengambil pendapat A, maka yang berlaku adalah pendapat tersebut. Itulah fiqih qadha’i. Jadi tidak dibuka peluang pendapat setelah itu. Jika dibuka, maka akan terjadi kekacauan keputusan fatwa” jelasnya.

Lebih jelas lagi, ketika hakim dalam hal ini pemerintah sudah menetapkan sebuah hukum, maka hukum ini mengikat dan seharusnya sudah menghapus semua perbedaan. Inilah yang menjadi alasan kuat secara fiqih, mengapa penetapan fatwa harus dilakukan oleh MUI.

Sebagaimana kita ketahui bahwa MUI merupakan tempat bernaungnya ormas-ormas Islam tempat berhimpunya para Ulama, zuama dan cendekiawan muslim, dari Nahdhlatul Ulama, Muhammadiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Matlaul Anwar dan 59 Ormas Islam lainya hingga Persatuan Umat Islam.

Selain itu, pemerintah juga tidak memiliki kapasitas untuk memutuskan dan merumuskan suatu hal yang berkaitan dengan substansi ajaran agama. Dalam hal tersebut, pemerintah selama ini bertanya dan percaya kepada MUI. “Kalau dari MUI melarang, maka pemerintah baru bisa membuat kebijakan atau pelarangan secara administratif,” papar Aiyub.

Secara fiqih, lanjutnya, halal termasuk dalam terminologi agama dan hukum. Penetapan suatu produk halal atau haram, hanya bisa dilakukan oleh orang yang berkompeten. Dalam sertifikasi halal, kewenangan penetapan hukum kehalalan produk atau fatwa harus diberikan kepada lembaga yang kompeten, yakni Komisi Fatwa MUI. 

Ia juga menambahkan, demi memudahkan investasi boleh saja jika kemudian pemerintah ingin mengubah semua hal. Tapi jangan sampai menghilangkan prinsip-prinsip sertifikasi halal, yakni jaminan keyakinan dari prinsip keagamaan. Sayangnya, omnibus law RUU Cipta Kerja justru mencederai prinsip keagamaan. (*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.