Search
Search

Fatwa Halal Menghambat Ekonomi?

Kehadiran Omnibus Law pada RUU Cipta Kerja yang berkaitan dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) ternyata bukan tanpa sebab berarti. Beberapa kalangan selama ini menganggap proses sertifikasi halal, termasuk penetapan fatwa di dalamnya, menghambat perkembangan ekonomi di Indonesia. Hal yang banyak berkembang menjadi isu di masyarakat berkaitan dengan kurun waktu proses dan biaya sertifikasi halal. 

Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Drs. KH. Sholahuddin Al Aiyub, M.Si. mengungkapkan bahwa pada prinsipnya, UU JPH ini dibangun salah satunya berkaitan dengan motif ekonomi atau investasi.

“Jangan sampai, karena berfokus pada motif ekonomi, kemudian mengabaikan substansi ajaran agama,” ujarnya.

Aiyub menegaskan fatwa tidak menghambat ekonomi, melainkan sebaliknya. MUI selalu melakukan inovasi hukum Islam untuk mempermudah dan memfasilitasi pelaku industri tanpa melanggar prinsip-prinsip kehalalan dan kesyariahan. 

Dengan adanya fatwa halal MUI, justru dapat memperluas segmen market. Apalagi, tambahnya, permintaan konsumen atas produk halal terus meningkat dari waktu ke waktu. Seharusnya pasar dapat mengikuti selera konsumen muslim, yang juga mendominasi masyarakat Indonesia.

Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof. Dr. Suparji Ahmad, juga buka suara. Kesejahteraan menjadi landasan dasar rancangan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Salah satu gerbang kesejahteraan dengan meningkatnya perekonomian Negara.

Menurut Suparji, terhambatnya perekonomian Negara bukan semata karena investasi yang tak kunjung datang atau sulitnya perundang-undangan dan perizinan di Indonesia. Ada tiga hal yang harus dipenuhi untuk menarik investasi, yakni politic stability, kepastian hukum, dan economy opportunity.

“Yang tidak ada di Indonesia adalah kepastian hukum, karena perizinan yang mahal dan lama. Itu juga bukan soal aturan, melainkan soal pelaksananya,” tutup Suparji.

LPPOM MUI sangat mendukung peningkatan perekonomian Negara. Hal ini dibuktikan dengan berhasilnya LPPOM MUI dalam meraih standar UAE 2055:2-2016 dari Emirates Emirate Authority for Standardization and Metrology (ESMA) sehingga sertifikat halal MUI dapat diterima oleh negara-negara Uni Emirat Arab. 

Selain itu, LPPOM MUI telah mempunyai lima kantor representatif di luar negeri, yakni di China, Korea Selatan, Taiwan, dan Mexico. Secara global pula, LPPOM MUI dan 55 Lembaga Sertifikasi Halal Luar Negeri (LSHLN) lainnya tergabung dalam World Halal Food Council (WHFC). 

Adapun standar halal yang diadopsi oleh anggota WHFC adalah HAS 23000 yang telah menjadi standar utama dalam pelaksanaan pelayanan sertifikasi halal di Indonesia selama puluhan tahun. (YN, YS)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.