Bogor – Kalau kita memperhatikan secara lebih cermat, ada beberapa pengusaha kuliner, terutama warung-warung makan, termasuk juga pada kemasan produk pangan, yang mencantumkan klaim dengan pernyataan “100% halal”. Jelas klaim dan pernyataan itu sangat berlebihan, bahkan bisa jadi keliru. Sebab, dalam ketentuan syariah, disebutkan: Al-halalalu bayyinun, wal-haraamu bayyinun”. Yang halal itu merupakan ketetapan hukum yang jelas, dan sebaliknya, yang haram telah pula jelas. Oleh karenanya, tidak bisa ada pernyataan halal 90% atau bahkan halal 99%, sedangkan yang 1%-nya, karena dianggap tercampur dengan yang haram sangat sedikit. Jika demikian, tercampur dengan yang haram, sekecil apapun kadarnya, maka hukumnya tetap haram.
Demikian dikemukakan Wakil Direktur LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati, M.Si., dalam kata pengantarnya pada pembukaan Pelatihan Sistim Jaminan Halal yang diselenggarakan pada 24-25 Januari 2017 di fasilitas pelatihan LPPOM MUI, Global Halal Center Bogor.
Persepsi yang Keliru dan Harus Diperbaiki
“Klaim atau pernyataan dan persepsi semacam itu jelas keliru, dan karenanya tentu harus diluruskan. Sebab, kalau suatu produk tercampur dengan yang haram, sekecil apapun, maka ia menjadi terkontaminasi dengan yang haram, dan hukumnya pun menjadi haram pula. Jadi tidak bisa dinyatakan bahwa suatu produk itu 90% atau bahkan 99% halal. Karena bercampur atau sekedar tercampur dengan yang haram, walaupun sangat sedikit,” tuturnya menandaskan.
Sebagai contoh adalah penggunaan khamar, dalam produk kue. Misalnya khamar sebagai Rhum, salah satu bahan tambahan dalam membuat kue, Black Forest. Flavor rhum memang merupakan ciri khas Black Forest. Ada aroma harum yang menusuk hidung dan rasa yang agak dingin.
Dalam kaidah syariah disebutkan, hukum asal mengkonsumsi atau menggunakan khamar seperti bir, arak, dan rhum, haram hukumnya. Selain itu khamar juga dihukumi najis. Dan karenanya, membuat flavor dengan aroma khamar, hukumnya pun haram. Sekalipun tak ada kandungan khamar di dalamnya. Apalagi lagi flavour rhum ternyata masih menggunakan khamar atau alkohol sebagai pelarut.
Contoh berkutnya adalah kue Sus yang menggunakan Fla, yang diantara bahannya memakai Rhum itu tadi. Jadi dalam tinjauan Fiqhiyyah, produk itu selain haram juga bernajis. Maka jelas harus dihindarkan.
“Oleh karena itu, maka jelas produk-produk konsumsi juga perlu diteliti dari sisi kehalalan dan kesuciannya. Agar umat Muslim yang menggunakannya dapat terhindar dari bahan najis yang diharamkan dalam agama,” ujar pimpinan LPPOM MUI ini dengan tegas.
Penegasan dalam Hadits Nabi saw
Para ulama di Komisi Fatwa (KF) MUI, tambahnya lagi, telah menetapkan fatwa, tidak boleh ada Intifa’ atau pemanfaatan bahan dari khamar dalam proses produksi dan pengolahan produk pangan, obat-obatan maupun kosmetika.
Nabi saw melarang dengan tegas, dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Setiap minuman yang memabukkan itu haram, dan minuman yang dalam jumlah banyaknya memabukkan, maka segenggam darinya pun haram.” [HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi].
Khamar, meskipun diberi nama yang berbeda, namun hukumnya tetap haram. Hal ini pun telah pula ditegaskan dalam Hadits Nabi saw yg diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Shamit, ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Sungguh akan ada segolongan dari ummatku yang menghalalkan khamr dengan menggunakan nama lain.” [HR. Ahmad].
Dalam hadits lain, dari ‘Ubadah bin Shamit, ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Sungguh akan ada segolongan dari ummatku yang meminum khamr dengan menamakannya dengan nama lain.” [HR. Ibnu Majah].
Maka proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI dan penetapan fatwa halal oleh KF MUI merupakan satu usaha untuk memastikan bahan-bahan dan proses yang dilakukan dalam produksi pangan, obat-obatan dan kosmetika benar-benar tidak mengandung unsur yang haram maupun bernajis menurut kaidah syariah.
Sedangkan bagi pihak perusahaan, landasan untuk menjamin produksi yang halal ini, menurutnya lagi, adalah dengan memahami dan mengimplementasikan Sistim Jaminan Halal yang konsisten. Dengan demikian, SJH dengan pelatihan yang diselenggarakan oleh LPPOM MUI ini merupakan bagian dari upaya menjamin produksi halal yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Pelatihan SJH ini merupakan agenda rutin LPPOM MUI dalam upaya sosialisasi maupun edukasi halal, terutama bagi para stakeholder. Pada Training yang dilangsungkan pada 24-25 Januari 2017 ini diikuti 40 peserta dari kalangan perusahaan yang telah mendapat Sertifikat Halal maupun yang akan mengajukan proses sertifikasi halal, dengan beragam latar-belakang posisi dan jabatan di perusahaan masing-masing; Quality Control, Quality Assurance, Supervisor, Manajer, bahkan juga dari tingkat manajemen.
Selain dari perusahaan yang menghasilkan produk konsumsi, pelatihan juga diikuti oleh beberapa utusan konsultan industri terkait pangan, dll. Materi pelatihan diberikan dalam bentuk teori maupun praktek oleh para tenaga ahli LPPOM MUI yang telah berpengalaman. (Usm).