Oleh: Drs. KH. Sulhan Abu Fitra, MA.

Ketua PP Persatuan Umat Islam

Anggota Komisi Fatwa MUI

Mengkonsumsi makanan yang halal itu merupakan amanah syariah dari Allah. Amanah sekaligus kewajiban mengkonsumsi makanan yang halal ini disebutkan di dalam banyak ayat Al-Quran. Diantaranya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 168-169).

“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik (yang halal), yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah (beribadah).” (QS. Al-Baqarah [2]:172).

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah [5]: 88)

Nabi saw juga, dalam banyak Haditsnya, memerintahkan dan berarti mewajibkan untuk mengkonsumsi yang halal, serta meninggalkan yang haram. Ini menunjukkan betapa pentingnya mengkonsumsi makanan yang halal itu, karena merupakan masalah keimanan, menunjukkan bukti ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta sebagai ibadah. Sebab, orang yang mengkonsumsi makanan yang tidak halal, maka ibadahnya tidak akan diterima Allah, doanya tidak akan diijabah. Kalau orang katanya mengerjakan ibadah haji, tetapi dengan harta yang haram, maka ibadah hajinya tidak Mabrur, tetapi Mardud, ditolak Allah. 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata : “Telah bersabda Rasulullah: “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rasul, maka Allah telah berfirman: Wahai para Rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal shalih. Dan Dia berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.’ Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhan, wahai Tuhan” , sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana orang seperti ini dikabulkan do’anya.” [HR. Muslim, No. 1015].

Kalau orang mengkonsumsi yang tidak halal, atau yang haram, maka ia diancam dengan siksa neraka. Rasulullah saw berwasiat kepada shahabatnya, Ka’ab bin ‘Ujroh dengan  Hadits yang bermakna: “Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya tidak tumbuh daging yang berasal dari makanan yang haram, kecuali neraka lebih berhak untuknya.” (HR. At-Turmudzi).

Proses Biologis

Lebih lanjut lagi, makanan yang dikonsumsi itu, secara biologis, akan diproses, diantaranya menjadi sari pati kehidupan berupa sel sperma dan/atau sel telur, yang berikutnya tumbuh dan berkembang menjadi janin, lalu lahir anak, sebagai generasi pelanjut kehidupan si orang tua, dan umat manusia secara umum. 

Perhatikanlah makna ayat: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu sebagai Nutfah atau air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. 23: 12-14).

Kalau Nutfah itu tumbuh dan berkembang, berasal dari makanan yang halal, maka insya Allah, anak generasi pelanjut itu akan tumbuh dan berkembang pula dalam kehidupan dengan akhlak-perilaku yang halal. Sebagai anak yang Qurrota a’yun, penyejuk jiwa dan generasi yang bertaqwa (maksud QS. 25:74). Sebaliknya, kalau berasal dari makanan yang haram, maka dapat diduga akhlak dan perilakunya pun akan cenderung pada yang haram. Hal ini selaras dengan isyarat dalam Hadits Nabi saw yang telah disebutkan di atas.

Maka, bicara tentang makanan, halal-haram, berarti juga bicara tentang anak, generasi pelanjut kehidupan umat manusia, dengan karakteristik halal-haram itu. Dan dengan demikian berarti juga tentang peradaban yang terkait dengan kedua kondisi tersebut.

Dalam catatan sejarah, para ulama salafush-sholih tumbuh dan berkembang dari orang tua dan keluarga yang sangat menjaga kehalalan makanan yang mereka konsumsi dan menghindar dari yang haram. Dan demikian berlanjut generasi ke generasi yang sama-sama menjaga kehalalan makanan yang dikonsumsi. Sehingga terwujud kecemerlangan peradaban Islam yang mengagumkan.

Kisah Wara’ yang menjadi Teladan

Perhatikanlah, sebagai contoh, bagaimana Abu Bakar ash-Shiddiq, seorang shahabat Nabi saw yang mulia, amat wara’ dan sangat terkenal karena banyak memiliki keutamaan dan sifat-sifat utama dalam Islam. Disebutkan dalam satu riwayat oleh Imam Bukhari dari ‘Aisyah bahwa ayahnya, Abu Bakar ash-Shiddiq, memiliki seorang budak yang setiap hari selalu melayani Abu Bakar (berupa harta atau makanan) dan beliau makan sehari-hari dengan pelayanannya itu. 

Suatu hari, budak tersebut membawa makanan, lalu Abu Bakar pun menyantapnya. Kemudian budak itu berkata kepada beliau: “Apakah anda mengetahui apa yang anda makan ini?”. Abu Bakar balik bertanya: “Makanan ini (dari mana)?” Budak itu pun menceritakan: “Dulu di jaman Jahiliyah, aku pernah melakukan praktek perdukunan untuk seseorang (yang datang kepadaku), padahal aku tidak bisa melakukannya, dan sungguh aku hanya menipu orang tersebut. Kemudian (beberapa wakltu lalu) aku bertemu orang tersebut (lagi), dan dia memberikan (hadiah) kepadaku (berupa) makanan yang anda makan ini”. Setelah mendengar pengakuan budaknya itu Abu Bakar segera memasukkan jari tangan beliau ke dalam mulut, lalu beliau memuntahkan semua makanan dalam perut beliau”. (HR. Bukhari no. 3629).

Kisah ini menggambarkan tingginya ketakwaan dan keimanan Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau sangat berhati-hati dalam menjaga anggota badan beliau dari mengkonsunmsi makanan yang tidak halal, dan inilah aplikasi dari sifat wara’ yang sebenarnya. (Lihat “Bahjatun Nadzirin”, 1/649).

Dalam kisah lain disebutkan pula secara lebih rinci, seorang lelaki shalih bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba ia melihat sebuah apel terjatuh di luar pagar suatu kebun buah-buahan. Melihat apel merah yang ranum itu tergeletak di tanah, terbitlah air liur Tsabit. Apalagi hari begitu panas dan Tsabit tengah kehausan. Tanpa berpikir panjang Tsabit memungut dan memakan apel itu. Tapi baru setengah memakannya Tsabit ingat: apel itu bukan miliknya, dan ia belum mendapat izin dari pemiliknya. 

Tsabit pun bergegas masuk ke dalam kebun itu, hendak menemui si pemilik kebun dan memintanya agar menghalalkan sebuah apel yang telah dimakannya. Di kebun itu ia bertemu seorang lelaki. “Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda dapat menghalalkannya,” kata Tsabit kepada orang itu. Namun orang itu menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya orang yang ditugaskan menjaga dan mengurus kebun ini.”

Tsabit pun bertanya, “Kalau begitu, dimanakah rumah pemilik kebun ini? Aku harus menemuinya untuk meminta ia menghalalkan apel yang telah kumakan setengah ini, dipungut jauh dari luar pagar kebun ini.”

“Rumahnya sangat jauh. Untuk sampai ke sana engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam,” jawab si penjaga kebun. “Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah saw., sudah memperingatkan kita melalui sabdanya: ‘Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka’,” tukas Tsabit tegas.

Tsabit pergi ke arah yang ditunjuk si penjaga kebun. Ia menuju rumah si pemilik kebun. Dan setiba di sana ia langsung mengetuk pintu. Si pemilik rumah membukakan pintu. Tsabit langsung memberi salam dengan sopan. “Wahai Tuan, saya terlanjur memakan setengah dari sebuah apel yang terjatuh ke luar dari pagar kebun milik Tuan. Karena itu, saya datang untuk meminta Tuan menghalalkan apa yang sudah saya makan itu.”

Lelaki tua pemilik kebun itu mengamati Tsabit dengan cermat. Lalu ia berkata, “Tidak! Aku tidak akan menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.”

Tsabit khawatir tidak dapat memenuhi syarat itu. Namun, ia tidak punya pilihan. “Apa syarat itu, Tuan?” Si pemilik kebun menjawab di luar dugaan. “Engkau harus mengawini putriku!”

Tsabit bin Ibrahim terkejut. “Hanya karena aku makan setengah buah apel yang jatuh keluar pagar kebun Tuan, saya harus mengawini putri Tuan?” Tsabit membuat pertanyaan dengan warna penuh keheranan.

Tapi si pemilik kebun itu tidak peduli. Bahkan ia menambahkan, “Engkau juga harus tahu. Putriku punya kekurangan. Ia buta, bisu, dan tuli. Ia juga lumpuh.”

Tsabit terkejut. Haruskah ia menikahi perempuan seperti itu hanya karena ia memakan sebuah apel yang tidak dihalalkan baginya?

Si pemilik kebun itu kembali menegaskan sikapnya, “Aku tidak akan menghalalkan apel yang telah engkau makan kecuali engkau penuhi syarat itu.”

Tsabit yang tidak ingin di tubuhnya ada barang haram sedikit pun, dengan tegas menjawab, “Baik, aku terima karena aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepada-Nya karena aku amat berharap Allah meridhaiku. Mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala.”

Pernikahan pun dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariah. Setelah akad nikah, Tsabit dipersilakan menemui istrinya. “Assalamu”alaikum!” Tsabit tetap mengucapkan salam, walau telah diberitahu bahwa istrinya tuli dan bisu.

Tsabit kaget. Ada suara wanita,menjawab salamnya. Tsabit masuk menghampiri wanita yang telah menjadi istrinya itu. Wanita itu mengulurkan tangan menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut.

Setelah duduk di samping istrinya, Tsabit bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa kamu buta. Mengapa?”

Wanita itu menjawab, “Ayahku benar. Karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah bagiku.”

Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan kamu tuli, mengapa?”

“Ayahku benar. Karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat Allah ridha,” jawab wanita itu. “Ayahku pasti juga mengatakan kepadamu aku bisu dan lumpuh, bukan?” Tsabit mengangguk mengiyakan pertanyaan istrinya itu.

“Aku dikatakan bisu Aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut Asma Allah saja. Aku dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang membuat Allah murka.”

Mendapati kenyataan demikian, Tsabit merasa sangat bahagia. Ia memperoleh seorang istri yang shalihah. Apalagi wajahnya juga bagaikan bulan purnama di malam gelap. Dari pernikahan ini Tsabit dan istrinya dikaruniai seorang putra yang di kemudian hari menjadi ulama terkemuka, menjadi rujukan dunia Islam: Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit.

Dengan kaidah halal ini, peradaban Islam yang dihasilkan tampak mengandung nilai-nilai ketaatan dan pengagungan ibadah kepada Allah. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dari bentuk arsitektur bangunan, seni kaligrafi, gaya busana sampai pada senandung dan gubahan syair serta nasyid yang bernuansa doa dan penghambaan kepada Allah, Rabb alam semesta.

Sebaliknya, peradaban Barat yang sekularistik-hedonistik tidak mempedulikan kaidah halal yang asasi ini. Sehingga yang mengemuka adalah halal-haram hantam, memperturutkan syahwat yang kelam. Dan tampilannya menguat pada mengumbar nafsu dengan perilaku hidup bebas; free love, dan free sex, dll., dengan nuansa syahwat yang sangat kental-menjijikkan; seni patung yang vulgar, gambar porno, pertunjukan-film yang seronok, bahkan juga camp nudis. Bagaikan perilaku hewan. Bahkan lebih buruk lagi; sangat jorok menjadi homoseks; seperti gay dan lesbi, yang tidak pernah terjadi di dunia hewan. Ditingkahi pula dengan drugs; khamar maupun narkoba. Persis seperti diisyaratkan dalam ayat: “Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan (neraka) jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad [47]: 12).

Dengan demikian jelas, makanan yang dikonsumsi itu sangat menentukan kualitas generasi dan peradaban. Makanan yang halal menghasilkan generasi dan peradaban dengan gaya hidup dan kehidupan yang halal pula. Sedangkan makanan yang haram sebaliknya, menumbuhkan generasi serta peradaban dengan perilaku haram. Na’udzubillahi min dzalik. (USM)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.