Search
Search

Ketetapan Fatwa Halal Harus oleh Ulama dengan Otoritas Keagamaan yang Shahih

  • Home
  • Berita
  • Ketetapan Fatwa Halal Harus oleh Ulama dengan Otoritas Keagamaan yang Shahih

Ketetapan fatwa dan tanda/label halal tidak boleh dibuat sendiri secara individual ataupun oleh pihak produsen. Tapi harus dengan ijin dan pemeriksaan/proses sertifikasi halal oleh lembaga yang berwenang, memiliki otoritas yang mumpuni dan diakui secara legal. Karena, ketentuan halal itu merupakan ketetapan agama. Maka ia hanya boleh dibuat oleh mereka yang memiliki pemahaman agama dan otoritas keagamaan yang shahih. Demikian ditandaskan oleh Dr. KH. Ma’ruf Amin, Wakil Presiden Republik Indonesia, dalam bukunya, FATWA PRODUK HALAL, Melindungi & Menenteramkan.

Dalam kaidah syariah, fatwa merupakan istinbath hukum kontemporer dalam ranah agama. Yakni fatwa sebagai hasil ijtihad para ulama yang ahli atas fenomena hukum yang tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Digali berdasarkan kedua sumber utama syariah tersebut, serta ijma’ ulama salafus-sholih. Oleh karenanya, penetapan fatwa tidak boleh sembarangan.

Perhatikanlah pula Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat: 43 yang artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

Kandungan makna ayat seperti ini diulang lagi di surat Al-Anbiya ayat 7: “Dan Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.”

Ayat-ayat tersebut menunjukkan prinsip pokok ajaran Al-Qur’an yang jelas, yang memiliki pengaruh besar dalam meluruskan perjalanan manusia menuju Rabbnya, mengatur ibadah, muamalah, dan perilaku-perilakunya, serta mengetahui apa yang samar atau bermasalah baginya dalam urusan Agamanya. Tegasnya, ilmu yang dimaksud adalah ilmu tentang Kitab Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik bin Anas, “Sesungguhnya ilmu itu adalah Agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil Agama kalian.”

Jangan Ber-Tahaakum

Kalau membuat pernyataan halal sendiri, menurut tokoh umat ini, maka itu berarti ber-tahaakum, membuat-buat hukum sendiri. Dan perbuatan ini dilarang dengan tegas. Lantas ia pun mengingatkan, “Mari kita merenungi dan menghayati makna ayat ILahi-Robbi di dalam Al-Qur’an yang bermakna: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. 16:116).

Makna ayat tersebut melarang dengan tegas untuk ber-tahaakum atau membuat-buat ketetapan hukum tentang keagamaan, tanpa nash yang shahih, yang diakui dalam agama. Seperti mengatakan “Ini halal, dan yang itu haram”, tetapi hal itu tidak didasarkan kepada nash dari ayat Al-Quran, atau Hadits Nabi saw, atau dengan kaidah-kaidah keilmuan yang benar dalam menetapkan hukum yang shahih dengan landasan kedua sumber hukum Islam tersebut. Sebab, kalau bertahaakum, menetapkan hukum atas sesuatu tanpa didasarkan pada pemahaman ilmu atas nash yang shahih itu, maka hal itu dianggap sebagai perbuatan dusta dengan mengatas-namakan agama!

Jelas hal itu merupakan perbuatan yang sangat tercela, dan diancam dengan siksa yang pedih, sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat tersebut: “(Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka adzab yang pedih.” (QS. 16:117).

Yaitu perbuatan atau tindakan membuat-buat ketetapan hukum itu tak lain adalah dengan tujuan untuk mendapatkan kesenangan dunia atau keuntungan materi yang sedikit. Menetapkan hukum itu bukan karena takut kepada Allah atau ingin menegakkan Agama Allah, tetapi adalah untuk kepentingan diri pribadi atau kelompoknya sendiri secara sempit. Seperti mengatakan “Ini halal” dengan maksud agar barang dagangannya atau produk yang dihasilkannya dapat diterima dan dibeli oleh masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Padahal produknya itu belum diperiksa dan diteliti serta diverifikasi oleh tenaga ahli yang mumpuni dan berkompeten di bidangnya.

Berdusta Atas Nama Agama

Dari makna kedua ayat tersebut (QS. 16: 116-117), dapat dipahami, orang yang berbuat demikian, termasuk kepada kelompok orang yang berdusta atas nama Agama atau berdusta atas nama Allah, agar produknya dapat dibeli, misalnya tadi, demi meraih keuntungan materi duniawi. Karena berdusta atas nama agama, maka orang itu pun dianggap berbuat zhalim, dan diancam dengan siksa yang pedih.

Perhatikanlah pula makna ayat: “Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa ilmu? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-An’aam : 144)

Guna menghindarkan diri dari perbuatan terlarang ini, Allah memberi panduan dalam ayat yang artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Israa’: 36).

Dengan paparan yang dikemukakan ini, maka jelas kita harus bertanya (meminta fatwa) dan mengikuti (fatwa) para ulama yang memiliki kapabilitas serta otoritas yang mumpuni dan diakui. (USM)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *