Oleh : Hendra Utama (Senior Auditor LPPOM MUI)

Seruput kopi di pagi hari, bagaikan ritual tak terhindarkan bagi sebagian orang. Oleh karena itu, kedai atau warung kopi sudah mulai ramai bahkan sebelum matahari menampakkan dirinya. Walaupun tidak sedikit juga, minuman kopi dihidangkan di rumah masing-masing.  Bagi pencinta kopi, ada sesuatu yang hilang jika di hari itu tidak mencicipi minuman kegemarannya.

Begitulah yang dahulu marak ditemui di desa-desa sebelum petani mendatangi sawah, sebelum pedagang menggelar lapak, sebelum guru-guru atau karyawan koperasi bekerja, atau sebelum penganggur melanjutkan cara menikmati hidupnya. Warung kopi juga didatangi oleh para jemaah masjid sebelum balik ke rumah dengan kopiah masih bertengger di kepala dan sorban yang masih melingkari lehernya.  

Bisa dibilang, warung kopi menjadi semacam hub, bahkan information center bagi penduduk desa. Informasi mengenai peristiwa, bahkan hoaks bisa bermula dari sini. Tak terkecuali, pembahasan mengenai situasi politik atau kondisi sosial mutakhir juga bisa hadir di sini.

Kalau kita mempelajari budaya warung kopi, rasanya hampir semua budaya memilikinya. Baik itu secara lokal di berbagai daerah pelosok, sampai hingar bingar perkotaan. Tentunya, hal ini akan jauh lebih luas ketika kita bicara kopi untuk pasar dunia yang mencakup berbagai negara dengan budaya dan jenis kopinya sendiri.

Bertumbuhnya sebagian peminat—bahkan bertransformasi menjadi penikmat dan pencinta—produk warung kopi kini mulai menjadi gaya hidup. Umumnya, konsumen kopi ingin mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari sebuah komunitas yang mempunyai gaya hidup yang sama. Walaupun tidak terikat secara organisasi, tetapi pengalaman yang sama mampu membuat mereka merasa menjadi bagian dari komunitas.

Produk atau Menu Warung Kopi

Di daerah perdesaan, kopi tubruk atau kopi susu panas sering menjadi pilihan. Sedangkan di perkotaan, minuman kopi muncul dalam aneka varian. Budaya kuliner lokal yang berasimilasi dengan budaya luar membuat varian tersebut semakin banyak.      

Lihatlah menu yang ditawarkan. Jika pertama kali berkunjung ke warung kopi semacam itu, maka varian menu yang ditawarkan mungkin akan terasa asing. Bukan sekadar campuran kopi dan air panas, berbagai jenis bahan dicampurkan.

Tak hanya itu, minum kopi rasanya tak lengkap jika belum ditemani makanan ringan atau camilan. Biasanya, camilan yang ditawarkan berupa aneka kue dan roti. Berapa banyak kombinasi antara minuman dan cemilan yang bisa dipilih konsumen tergantung berapa banyak jenis minuman dan cemilan yang mereka tawarkan.

Tidak sekadar menjual produk, warung kopi “modern” menekankan pada kualitas pelayanan yang mengistimewakan konsumen. Mutu produk terjaga, kualitas pelayanan pun paripurna. Karena model bisnisnya berbeda, maka harganya pun menjadi berbeda. 

Di perdesaan, harga secangkir atau segelas kopi hanya sekitar lima ribu rupiah. Sedangkan di outlet warung kopi “modern” bisa mencapai sepuluh kali lipatnya. Meski harganya terbilang fantastis, namun peminat kopi justru semakin bertambah ramai.

Bahkan, kini mulai banyak warung kopi yang bertransformasi menjadi hub atau information center di dunia online (daring). Warung kopi jenis ini menyajikan layanan wifi untuk memudahkan konsumennya berselancar dan berjejaring di dunia online.

Fasilitas warung kopi yang menyediakan wifi dan lingkungan yang nyaman untuk bekerja memang membuat konsumen betah berlama-lama. Lingkungan yang nyaman bukan tanpa tujuan. Dengan berlama-lama, kemungkinan konsumen melakukan repeat order atau memesan menu lain tentu semakin besar. Ujung-ujungnya cuan dan manfaat penyediaan fasilitasnya memang kembali ke pemberi fasilitas—dalam hal ini warung kopi.    

Namun jangan lupa, selaku muslim mengunjungi warung kopi yang bersertifikat halal adalah prioritas utama. Mengapa? Walaupun kopi berasal dari tanaman atau nabati, banyak warung kopi yang mencampur produknya dengan bahan-bahan yang kritis. Mari kita cari tahu bahan-bahan kritis apa saja yang mungkin bercampur dengan kopi dan mengapa dinyatakan kritis. 

Titik Kritis Keharaman di Warung Kopi

Indonesia yang merupakan negara dengan mayoritas populasi muslim terbesar di dunia menyebabkan sebagian besar dari kita merasa aman dalam mengkosumsi sesuatu. Artinya, apa pun yang dijual di Indonesia tidak perlu dipertanyakan status kehalalannya.

Kini, setiap negara dapat terhubung dengan mudah. Tak terkecuali dengan bahan-bahan pangan yang dengan mudah datang dari negara mana pun, termasuk dari dan ke Indonesia. Sebagian besar bahan-bahan itu datang dari negara yang tidak mempertimbangkan status kehalalan bahan.

Sama halnya dengan warung kopi, khususnya dengan format franchise dari negara lain. Tentu bahan-bahannya akan menyesuaikan dengan standar dari mana warung kopi tersebut berasal.  Tak jarang bahan yang biasanya dengan standar tinggi tak mampu disediakan pemasok dalam negeri. Akhirnya, impor dari negara lain menjadi solusi.

Berikut ini beberapa contoh bahan impor dari negara lain, diantaranya: susu kental manis, krimer kental manis, non-dairy creamer (krimer bukan turunan susu): sebagai bahan pembuat minuman—di samping kopi; atau, tepung terigu, shortening, gula, whipped cream, keju, selai/jam, agar, gelatin:  sebagai bahan pembuat kue atau reroti atau dessert.

Mari kita bahas beberapa contoh dan mengapa kritis dari perspektif kehalalan.

  1. Susu Kental Manis/Krimer Kental Manis. Selain gula, bahan yang menjadi titik kritis adalah laktosa. Laktosa adalah hasil samping samping industri keju yang kehalalannya sangat ditentukan oleh kehalalan kejunya.
  2. Non-Dairy Creamer. Walaupun berbahan baku dari nabati biasanya non-dairy creamer mengunakan emulsifier, anti kempal dan bahan pewarna yang mungkin saja berbahan hewani.
  3. Terigu. Sebagai bahan kue atau roti terigu memang berbahan gandum, namun Standar Nasional Indonesia (SNI) mewajibkan terigu diperkaya dengan vitamin dan mineral.  Premix vitamin dan mineral inilah yang perlu diwaspadai kemungkinan tidak halalnya.
  4. Shortening. Selain berasal dari lemak nabati, shortening pun bisa menggunakan lemak hewani.
  5. Whipped Cream. Walaupun berasal dari susu dalam proses pengolahannya, whipped cream kadang-kadang ditambahkan gula dan flavor vanilla. Titik kritis ketidakhalalannya terletak pada gula dan flavor-nya.
  6. Keju. Produk olahan susu ini digumpalkan dengan enzim rennin atau rennet. Enzim ini yang kritis karena bisa berasal dari bahan hewani atau produk mikrobial.
  7. Selai. Produk selai kritis karena walaupun biasanya berasal dari nabati, biasanya ditambahkan gula dan bahan pewarna.
  8. Gelatin. Bahan ini berfungsi sebagai pengental atau penstabil dihasilkan dari kulit dan tulang hewan.

Selain seluruh bahan yang disebutkan, sebagian warung kopi juga menyediakan kopi yang dicampur dengan minuman keras atau alkohol, namanya coffee cocktail. Beberapa istilah tersebut diantaranya:

  • Irish coffee: campuran kopi dengan Irish cream dan whiskey; minuman koktail Irlandia
  • Spanish Coffee With Brandy
  • Cinnamon Whiskey Coffee Cocktail
  • Expresso Negroni: campuran antara kopi ekspresso dan negroni (campuran gin—minuman beralkohol yang berasal dari fermentasi dan diberi aroma buah juniper
  • Sweet Vermouth: anggur yang dicampur dengan rempah
  • Campari: campuran minuman alkohol dan rempah yang pertama kali dikenalkan oleh Gaspare Campari; minuman Italia. 

Jika menilik sejarah kopi, pemanfaatan kopi berawal dari Ethiopia dan berkembang di Jazirah Arab. Kopi yang dalam bahasa lokal Arab disebut kahwa ternyata dalam praktek kuliner bisa dicampur dengan minuman keras (khamar). Oleh karena itu, sebagai konsumen muslim, kehati-hatian memang menjadi pertimbangan nomor satu. (***)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.

//
Assalamu'alaikum, Selamat datang di pelayanan Customer Care LPPOM
👋 Apa ada yang bisa kami bantu?