Oleh : Hendra Utama (Senior Auditor LPPOM MUI)

Minuman keras yang dalam istilah Al-Qur’an disebut khamar, digunakan bukan sekadar produk minuman saja.  Aplikasinya di luar itu, amatlah luas. Jika seseorang tidak terikat dengan ketentuan hukum syarak, maka baginya, merupakan suatu hal yang biasa bila menggunakan khamar sebagai minuman atau dipasangkan dengan makanan utama atau bisa pula, ditambahkan pada produk lain—seperti produk pangan atau kuliner.

Dalam dunia yang mengedepankan dan menuntut kreativitas, salah satu cara berinovasi dengan melakukan modifikasi dari bentuk yang sudah eksis sebelumnya. Para ahli memberi label pada proses kreatif seperti itu sebagai ATM (amati, tiru, dan modifikasi). 

Maka, para koki atau perancang produk dalam konteks berinovasi dengan segala kreativitasnya, sering melakukan eksperimen—trial and error—berangkat dari produk-produk yang sudah ada sebelumnya. Dengan sedikit modifikasi, baik dari sisi bahan atau prosesnya, maka produk/menu tersebut bisa menjelma jadi produk baru yang disebut produk inovatif. 

Pun bagi mereka, bukan sesuatu yang tabu memasukkan khamar—dengan tipe, jenis, dan umurnya yang bervariasi—ke dalam menu atau produknya. Imajinasi dan penciptaan aneka cita rasa tanpa batas berperan di situ sebagai dasar untuk merancang produk/menu baru atau varian baru tersebut. Sepanjang masih dalam rentang flavor atau selera yang bisa diterima penikmatnya, maka produk atau menu tersebut tentu akan menjadi pilihan dari sekian banyak hasil eksperimen tersebut.

Begitulah lanskap dan ekosistem pada hamparan dunia dengan sistem nilai yang berbeda.  Maka, berpikir tanpa bataslah—tidak saja outside the box bahkan without the box—yang menjadi lokomotifnya. Jika meminjam kacamata dunia kapitalistik, pertimbangan berproduksi, berinovasi, dan berinvestasi memang asas manfaat serta jelas ujungnya lembaran mata uang.  Sepanjang bisa menguntungkan, apa pun boleh dilakukan. Dalam sistem nilai tersebut, halal dan haram memang bukan pertimbangan.

Bagi seorang muslim yang baik, hukum Islam adalah filter. Segala sesuatu harus disandarkan pada aturan nilai tersebut. Jika hendak mengerjakan suatu perbuatan maka yang terlebih dahulu dipikirkan, apakah sesuatu tersebut: halal atau haram? Itu penyaring utamanya. 

Haram karena Zat dan Perbuatan

Dunia fikih membaginya dalam konsep: li dzatihi dan li ghoirihi. Sesuatu bisa diharamkan karena hukum benda atau zatnya (li dzatihi) dan karena hukum perbuatannya (li ghoirihi).    

Khamar secara zat dihukumi haram dan najis. Tidak semua zat haram itu juga najis, namun untuk khamar oleh komisi fatwa MUI dihukumi haram dan najis karena mayoritas (jumhur) ulama menyatakan pendapat tersebut yang paling kuat. Sehingga ketika dia berdiri sendiri sebagai bahan tunggal maka minuman keras dihukumi haram dan najis.  Hal yang sama dengan minuman keras dimasukkan ke dalam produk atau menu yang awalnya halal, karena kehadiran minuman keras maka produk tersebut tercemar dengan bahan haram dan najis—istilahnya mutanajis—maka produk/menu tersebut dikategorikan pula sebagai produk haram. 

Tidak itu saja, karena begitu kerasnya larangan terhadap minuman keras, maka beberapa aktivitas yang berkaitan dengannya pun dilarang karena hukum perbuatan yang berkaitan dengan jenis minuman ini.

Berikut hadits yang menyatakan hal tersebut: “Allah melaknat (mengutuk) khamar, peminumnya, penyajinya, pedagangnya, pembelinya, pemeras bahannya, penahan atau penyimpannya, pembawanya, dan penerimanya.” (H.R. Ahmad dan Thabrani dari Ibnu Umar, sebagaimana dalam Kitab Musnad Ahmad, juz 2 halaman 97).

Sedikit lebih teknis, berdasarkan keputusan Komisi Fatwa MUI pada tahun 2018, minuman beralkohol yang masuk kategori khamar adalah minuman yang mengandung alkohol/etanol (C2H5OH) lebih dari 0,5%.

Khamar sebagai bagian dari produk lain—bukan sekadar minuman keras yang berdiri sendiri—sudah dilakukan berabad-abad oleh praktisi kuliner. Oleh karena itu, bukan pula sesuatu yang asing, jenis minuman keras bisa ditemukan dalam minuman kopi kreasi, menyelinap dalam produk cokelat, menyusup ke dalam nasi goreng, penghilang amis dan pengaya cita rasa tumisan cumi, pengempuk olahan daging, serta pengaya aroma campuran kue—black forest yang menggunakan saos kahlua atau pudding yang menggunakan saos vla yang bercampur dengan rum; termasuk salah satu varian rasa es krim yang favorit yakni rhum and raisin

Bagi penikmat khamar, semua hal yang berkaitan dengan jenis minuman yang memabukkan tersebut senantiasa berasosiasi positif. Bahkan merupakan bagian dari gaya hidup. Bagi dirinya, pilihan tersebut adalah representasi diri yang menganut nilai-nilai kekinian; begitu persepsi yang ingin ditampilkannya. Suatu persepsi yang harus diluruskan jika kita adalah seorang muslim.

Dosanya Lebih Besar daripada Manfaatnya

Motivasi sebagian orang untuk mengonsumsi minuman keras adalah menikmati efek yang ditimbulkannya, ada kesenangan (pleasure) di setiap sesapan rasanya—cara lain dalam menikmati hidup versi mereka. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa ada manfaat atas kebiasaan meminum keras tersebut.   

Kalau berbicara manfaat, suatu hal yang alamiah ketika sebuah benda ada plus dan minusnya.  Allah selalu menciptakan sesuatu dalam keadaan berpasang-pasangan: gelap-terang, baik-buruk, tinggi-rendah, besar-kecil, manfaat-mudharat, termasuk soal khamar. 

Oleh karena itu, bagi kita sebagai ciptaan Ilahi, semua fakta tersebut adalah cara Allah dalam menguji manusia. Untuk orang yang berpikir, khamar itu walaupun ada manfaatnya, namun ketahuilah, dosanya jauh lebih besar daripada manfaatnya. Petikan Q.S. Al-Baqarah ayat 219 berikut, bisa memberi jawaban atas klaim manfaat tersebut.

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.”

Mengonsumsi Khamar Tanpa Sadar

Bagi seorang muslim yang berusaha menerapkan hukum Islam secara kaafah, tentu secara istiqamah akan berusaha menjalankan kewajibannya. Namun jelas kesadaran tersebut harus diiringi oleh cukupnya ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu pengetahuan, niat baik atau ikhlas saja tidaklah cukup. 

Para ulama sepakat menyatakan bahwa secara umum suatu ibadah akan diterima oleh Allah Swt. apabila memenuhi dua syarat mutlak, yaitu niat ikhlas hanya mengharap pahala dari Allah Swt. dan yang kedua adalah mutaba’ah ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam atau mengikuti petunjuk Rasul saw. Kedua syarat ini mesti ada dan tidak bisa dipisahkan.

Mengenai kewajiban untuk menuntut ilmu tentu ada banyak dalil yang menerangkan. Termasuk dalam mencari ilmu yang berkaitan dengan mengonsumsi hanya yang halal. Salah satunya adalah “Berilmulah sebelum kamu berbicara, beramal, atau beraktivitas.” (H.R. Imam Bukhari).

Teknologi sedemikian berkembangnya, sehingga asal-usul suatu produk bisa menjadi sumir ketika tidak ada ahli yang berusaha untuk menyingkap misteri di balik sebuah teknologi proses produksi suatu produk. Di situlah letak pentingnya lembaga yang berkaitan dengan sertifikasi halal.

Ketika suatu produk sudah disertifikasi halal oleh lembaga halal yang kompeten, maka produk yang disertifikasi tersebut insyaAllah akan terjamin kehalalannya. Setelah itu, kita sebagai muslim yang baik tentu telah mempunyai pilihan dengan tersedianya produk yang bersertifikat halal. (***)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.

//
Assalamu'alaikum, Selamat datang di pelayanan Customer Care LPPOM
👋 Apa ada yang bisa kami bantu?