Oleh: Dr. KH. M. Hamdan Rasyid, MA.
Dosen Universitas Islam Jakarta (UIJ), Anggota Komisi Fatwa MUI
Perguliran waktu terus berlalu. Momentum Dzulhijjah yang datang berulang, mengingatkan kita kembali tentang kewajiban ibadah haji, rukun Islam kelima, bagi yang mampu. Ungkapan kata “Haji” itu sendiri dari sisi bahasa adalah “Al-Qoshdu” berarti bertujuan, menyengaja, memiliki maksud yang tertentu. Sedangkan menurut istilah dalam agama Islam adalah: menyengaja menghadiri atau mengikuti ritual di Baitullah Al-Haraam dengan maksud untuk ibadah pada musim haji, yang terdiri dari rukun haji, dan ritual wajib serta sunnah, dengan niat hanya karena Allah semata. Perhatikanlah makna ayat Al-Quran yang menegaskan: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah.” (Q.S Al-Baqarah, 2: 196).
Rukun haji adalah beberapa amalan haji yang menjadi syarat sah atau tidaknya haji yang dilakukan. Apabila salah satu dari rukun ini ditinggalkan maka haji yang dilakukan adalah tidaklah sah dan tidak dapat diganti dengan denda. Tapi harus mengulang pelaksanaan haji kembali di masa yang akan datang. Amal Rukun Haji itu sendiri ada 6 (enam), yaitu: Niat ihram dari miqot, wukuf di ‘Arofah, thawaf ifadhoh, sa’i dan tahallul. Kesemuanya harus dilakukan dengan tertib, atau berurutan.
Sedangkan ritual wajib haji adalah amalan yang harus dilakukan pada saat melaksanakan ibadah haji. Bila tertinggal maka diharuskan menggantinya dengan membayar dam (denda), dan hajinya menjadi sempurna setelah membayar dam tersebut. Dalam hadits Nabi saw disebutkan: “Barang siapa meninggalkan suatu ibadah wajib dalam haji atau lupa, maka dia wajib menyembelih kurban”. (H.R. Imam Malik). Amalan dalam wajib haji diantaranya: mabit di Muzdalifah, mabit di Mina, melontar jumroh dan thawaf wada’. Adapun amalan sunnah haji antara lain: Mandi besar sebelum ihram, mengulang-ulang bacaan Talbiyah, Thawaf Qudum, serta berusaha banyak melaksanakan thawaf sunnah selama di Makkah, dll. Secara umum, amalan yang dilakukan dalam ibadah haji itu sangat banyak dan harus dikerjakan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, semata-mata hanya untuk mengharapkan ridho Allah, bukan karena yang lainnya.
Mengandung Banyak Hikmah
Ibadah haji yang merupakan Rukun Islam kelima itu tentu mengandung hikmah yang sangat banyak, secara lahiriyah maupun ruhiyah. Disebutkan di dalam Al-Quran yang artinya: “Dan serulah manusia untuk berhaji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” [QS. al-Hajj, 22: 27].
Diantara hikmah dan manfaatnya yang disebutkan secara eksplisit di dalam ayat Al-Quran adalah: “Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka…” [QS. al-Hajj, 22: 28].
Dari ayat itu jelas disebutkan hikmah dan manfaat ibadah haji itu, pertama adalah untuk menyaksikan berbagai manfaat ibadah tersebut, khususnya bagi para jemaah haji. Di antaranya berkumpul dan berinteraksi dengan umat manusia dari berbagai penjuru dunia; berbeda suku bangsa, bahasa maupun warna kulit, menunjukkan persaudaraan Islam yang universal dan sangat luar biasa. Semacam kongres umat Islam seluruh dunia. Hal ini tak ada dan tak pernah terjadi dalam ajaran agama lain. Jutaan jemaah datang, khusus untuk beribadah ke Makkah, bersama-sama mengharapkan ridho Allah semata. Dengan moment itu, mereka tentu bisa saling bertukar pikiran tentang kondisi umat Islam di negeri masing-masing, dan menjalin kerjasama dan saling mendukung untuk perkembangan dunia Islam serta peningkatan nilai-nilai kemanusiaan secara universal.
Kalau momentum yang amat berharga itu dapat dimanfaatkan untuk mencari solusi atas berbagai permasalahan umat yang dihadapi, tentu hasilnya pun akan sangat prospektif bagi kemajuan umat. Namun sangat disayangkan, ibadah haji yang sangat bernilai itu kini dilakukan relatif terbatas hanya dalam aspek ritual semata. Padahal kalau kita membaca sejarah perkembangan da’wah Islamiyah, jemaah haji dari Indonesia pada masa penjajahan silam, misalnya, justru dapat menumbuhkan kesadaran dan menggerakkan serta menjalin kerjasama internasional sesama dunia Islam. Sehingga dapat menggelorakan semangat perjuangan umat untuk membebaskan diri dari kungkungan penjajahan, dengan dukungan umat Islam di berbagai belahan dunia. Subhanallah.
Kedua, dari sisi ekonomi, ibadah haji ini menggerakkan ekonomi umat dalam jumlah yang juga sangat fantastis. Mencapai puluhan triliun rupiah, bahkan lebih dari itu. Sebagai contoh sederhana, dari segi kebutuhan pakaian ihrom, tampak berapa juta meter kain ihrom yang diperlukan. Selain untuk ihrom haji setahun sekali, juga untuk ihrom umroh setiap saat ba’da musim haji. Kalau produk itu dapat dibuat oleh umat Islam, tentu akan dapat menghasilkan nilai ekonomi yang tidak terkira, dengan hasil ikutannya yang dapat berkembang sangat beragam. Namun sangat disayangkan, banyak industri tekstil justru dikuasai oleh para pengusaha non-Muslim. Maka tentu kondisi yang memprihatinkan ini harus diperbaiki bersama.
Hikmah berikutnya, jemaah haji selalu diingatkan untuk memperbanyak dzikrullah. Berdzikir, mengingat dan menyebut Nama Allah, sehingga langkah-langkah kehidupan yang dijalani selaras dengan tuntunan agama Allah. Secara praktikal, para jemaah haji atau umrah di Tanah Suci Makkah selalu mengumandangkan kalimah-kalimah talbiyah berulang-ulang.
Bila memahami Kalimah Talbiyyah yang selalu dikumandangkan setiap saat oleh para jemaah haji dan umroh itu. Yaitu dengan lafal Labbaika Allahumma Labbaik. Labbaika laa syarika laka labbaik. Artinya: aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah yang tiada Syarikat bagi-Mu. Dalam Hadits Nabi saw yang diriwayatkan Jabir bin Abdullah, ia berkata tatkala menjelaskan sifat haji Nabi saw, “Kemudian beliau mengawali dengan Kalimah Tauhid, ‘Labbaika allahumma labbaik, Laa syariika laka labbaik. Innal-hamda wan-ni’mata laka wal mulk, laa syariikalak (Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanyalah kepunyaan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu).” (HR. Muslim).
Terus diucapkan berkali-kali, Kalimah Talbiyah itu merupakan bagian dari syiar Haji atau Umrah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah, 5: 2)
Bila dipahami dan dihayati sepenuh hati, Kalimah Talbiyah itu jelas merupakan ucapan, pernyataan, bahkan bisa juga dikatakan sebagai janji kesetiaan yang dikumandangkan berulang-ulang. Sehingga diharapkan dapat menghunjam ke dalam qalbu, dan dibuktikan dengan amalan yang diridhoi Allah, dengan mengikuti contoh teladan Rasulullah saw. Dan tentu, janji yang diucapkan itu harus benar-benar dibuktikan. Jangan diingkari, apalagi dikhianati. Bukan sekedar janji lisan, tanpa bukti amalan yang nyata dalam keseharian hidup yang dijalani: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-anfal, 8:27).
Janji Setia Sebagai Pakta Integritas
Boleh dikata, ikrar itu sebagai janji setia, atau semacam Pakta Integritas bagi para pegawai di perusahaan/organisasi tempatnya bekerja. Bahkan lebih kuat lagi dari sekedar Pakta Integritas yang bersifat duniawi. Karena ikrar atau janji setia itu adalah kepada Allah, yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui, dengan konsekuensi dunia maupun akhirat sekaligus. Yakni benar-benar berpegang teguh dengan Al-Islam, ajaran agama Allah. Menjauhi segala hal yang dapat membatalkan keislaman maupun keimanan.
Jika memenuhi semua ketentuan itu, insya Allah ibadah haji yang dilakukan dapat diterima Allah dengan ganjaran pahala berlipat ganda, sebagai haji yang mabrur. Dalam hadits Nabi saw yang populer disebutkan, haji yang mabrur itu ganjarannya adalah surga: “Dan haji mabrur itu, tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim). Imam An-Nawawi menjelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur itu, tidak cukup jika ganjaran bagi pelakunya hanya sekedar dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk masuk surga.” Hal itu berarti orang yang telah menunaikan haji akan terdorong untuk selalu berbuat dan beramal yang lebih baik, lebih bertaqwa dari sebelum haji.
Dan bila konsisten menjaga janji setia kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tentu itu merupakan bentuk dan langkah hidup halal yang sangat nyata. Bukan sekedar slogan yang tanpa bukti kenyataan. Ritual-ritual haji yang dilakukan juga merupakan bentuk pelatihan dan pembinaan akhlak agar menjadi lebih baik. Dengan demikian jelas, ibadah haji yang dilakukan dengan baik dan benar, niscaya akan dapat membentuk karakter hidup halal yang diridhoi Allah, khususnya bagi para jemaah haji, juga keluarga dan masyarakat lingkungannya.
Lebih lanjut lagi, sebelum keberangkatan dan selama pelaksanaan ibadah yang mulia itu, ongkos perjalanannya, akomodasi makan-minumnya, pakaian ihram yang dikenakan, dan lain-lainnya, tentu harus bersumber dari rezeki yang halal. Diperoleh dengan usaha dan cara yang halal, serta dipergunakan untuk yang halal pula. Dan sejatinya, memang, semua amal-ibadah secara umum, tentu harus memperhatikan kaidah halal ini. Sebab, kalau tidak halal, ibadah yang dikerjakan niscaya tidak akan diterima Allah. Bahkan ditolak. Dan dalam konteks ibadah haji, bukan menjadi haji yang Mabrur, diterima Allah dan mendapat kebaikan dunia wal akhirah, tetapi justru Mardud (tertolak).
Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah saw. telah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rasul, maka Allah telah berfirman: Wahai para Rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal shalih. Dan Dia berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.’ Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhan, wahai Tuhan”, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana orang seperti ini dikabulkan do’anya.” [HR. Muslim].
Dari Hadits yang mulia ini dapat dipahami, orang yang mengerjakan ibadah Haji dengan harta yang tidak jelas kehalalannya, apalagi kalau dengan rezeki yang haram. Juga bergelimang dengan perbuatan yang haram, dilarang agama. Niscaya ibadahnya akan tertolak. Bukan Haji Mabrur yang diperoleh, bahkan menjadi Haji yang Mardud, atau tertolak di sisi Allah. Na’udzubillahi mindzalik. (USM)