Pertanyaan

Assalamu’alaykum warahmatullah

Pak Ustadz, di kampung saya banyak orang yang memakan laron. Terutama di musim hujan. Banyak laron keluar dari sarangnya, beterbangan, lalu jatuh dan dikumpulkan oleh warga untuk kemudian diolah menjadi bahan makanan. Ada yang menyebutkan, kandungan gizi dan protein makanan dari laron itu juga sangat tinggi. Dan bagi warga pedesaan, harganya tentu sangat murah bahkan tidak perlu keluar biaya, asal saja mau berusaha untuk mengumpulkan laron-laron yang bertebaran itu.

Menurut beberapa kyai dan tokoh umat setempat, ada yang menyatakan bahwa memakan laron itu hukumnya boleh dan halal. Bahkan juga baik bagi kesehatan, karena kandungan gizi dan proteinnya yang tinggi itu. Namun saya masih ragu-ragu. Maka dengan ini saya minta penjelasan tentang hukum memakan laron itu yang sebenarnya.

Jawaban dari pa’ Ustadz sangat kami harapkan untuk menepis keraguan pada diri saya, juga bagi beberapa warga di kampung saya yang telah menanyakannya pula, Dan atas jawaban yang diberikan saya mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya.

Wassalam

K. Abdullah

Bandarlampung

Jawaban:

Tentang laron itu sendiri. pertama-tama harus dilihat dulu penjelasan dari nash Al-Quran dan Al-Hadits sebagaisumber hukum yang pertama dan utama dalam Islam. Lalu menelaah keterangan dan pembahasan dari para ulama, mengenai binatang itu.

Kalau ia termasuk hewan yang diharamkan, maka tentu tidak boleh dimakan. Sehingga karenanya, kalau dikonsumsi, walaupun dinyatakan memiliki kandungan gizi dan protein yang tinggi, serta baik untuk kesehatan, tetap terlarang. Karena banyak riwayat dan nash yang tegas melarang kita mengkonsumsi bahan atau makanan yang haram.

Namun ada pula ulama dan Imam Madzhab yang menyatakan bahwa laron itu struktur tubuhnya dapat dianalogikan sama dengan belalang. Sehingga dapat dikategorikan halal mengkonsumsinya. Jumhur ulama menyatakan, binatang-binatang yang tidak punya darah mengalir di tubuhnya, “Maa laa daama lahu sailun” maka umumnya dianggap suci. Tapi kalau untuk dimakan, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat membolehkannya, dan ada pula yang melarangnya.

Tapi dalam hal ini tetap berlaku kaidah yang bersifat umum. Yakni kalau membahayakan bagi manusia, maka tentu jadi terlarang. Dan dengan demikian hukum mengkonsumsinya pun menjadi haram.

Selanjutntya, bagi orang yang awam, boleh saja menerima dan mengikuti pendapat dari para kyai, pimpinan agama dan ulama yang dikenalnya secara perorangan. Dalam hal ini tentu adalah ulama yang terpercaya dan diakui kredibilitasnya. Bukan hanya orang yang mengaku-aku ulama, tanpa ada track-recordnya, rekam-jejaknya yang terpercaya. Namun pendapat dari orang yang lebih banyak, seperti ijma’ ulama, itu tentu lebih baik lagi. Seperti untuk konteks kita di Indonesia adalah pendapat atau fatwa yang dikeluarkan oleh para ulama di Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Itu tentu lebih layak untuk diterima.

Terakhir, kalau boleh kita mengingatkan dan menyarankan, makanlah produk atau bahan yang telah jelas kehalalannya. Jangan yang macam-macam, atau neko-neko, yang tidak jelas atau dianggap meragukan status kehalalannya. Karena makanan yang jelas halal itu masih sangat banyak tersedia di sekitar kita. Mengapa malah menyibukkan diri dengan yang meragukan, atau  yang syubhat. Sebab dikhawatirkan, yang syubhat itu akan mengakibatkan orang tergelincir pada yang haram.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.