Pertanyaan
Assalamu’alaykum warahmatullah
Pak Ustadz, ada teman yang memelihara dan membudidayakan lintah. Katanya lintah itu dapat dimanfaatkan untuk obat oleh pabrik farmasi. Ada pula yang menyebutkan digigit dan dihisap darah dari tubuh oleh lintah sama dengan praktik bekam untuk berobat. Padahal ada pendapat yang menyebutkan bahwa lintah itu menjijikkan dan tidak boleh dimakan. Saya jadi bingung, mana yang benar?
Kami sangat mengharapkan jawaban dari pa’ Ustadz untuk menghilangkan keraguan dan kebingungan pada diri saya, juga bagi beberapa teman saya yang telah menanyakannya pula tentang hal ini, Dan atas jawaban yang diberikan saya mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya.
Wassalam
A. Suba’i
Bogor
Jawaban:
Menjawab pertanyaan tentang lintah itu sendiri. pertama-tama harus dilihat dulu adakah nash Al-Quran dan Al-Hadits sebagai sumber hukum yang pertama dan utama dalam Islam. Lalu menelaah keterangan dan pembahasan dari para ulama, mengenai binatang lintah ini. Apalagi kalau dikatakan sebagai najis. Apakah ada dasarnya; atau ada ataukah tidak ada dalilnya? Sebab, menurut Imam Malik, hal semacam itu, yaitu menyatakan sesuatu itu adalah najis, merupakan ketetapan hukum syara’, dan penetapannya harus didasarkan pada nash yang jelas. Kalau tidak ada dalil atau nash yang jelas, maka kembali kepada hukum asal, yakni mubah.
Bahkan menurut pendapat Imam Malik pula, anjing tidak dianggap sebagai najis, karena tidak ada dalil atau nash yang pasti menyebutkan hal sedemikian. Dalam hadits Nabi saw hanya disebutkan bahwa jilatan lidahnya kepada suatu wadah harus dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali, dan satu diantaranya dicampur dengan tanah. Sedangkan tentang tubuh anjing itu sendiri sebagai najis, tidak ada nash yang menyebutkannya secara jelas dan tegas.
Apalagi tentang hal yang menjijikkan. Hal ini bersifat subjektif dan sangat relatif. Karena menjijikkan bagi seseorang, mungkin tidak bagi yang lain. Atau bahkan justru dibutuhkan bagi yang lain lagi. Seperti menangkap dan memegang belut. Jadi hal ini juga tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum yang pasti dan mengikat.
Namun kita patut mengingatkan dan menyarankan, makanlah produk atau bahan makanan maupun obat yang telah jelas kehalalannya. Jangan yang macam-macam, atau neko-neko, yang tidak jelas atau dianggap meragukan status kehalalannya. Karena mengkonsumsi makanan dan obat yang jelas halal itu merupakan perintah agama, dan bahannya relatif banyak tersedia di sekitar kita. Mengapa malah merepotkan atau mempersulit diri dengan yang syubhat/meragukan. Sangat dikhawatirkan, memakan yang syubhat itu akan mengakibatkan orang tergelincir pada yang haram. Sebuah Hadits Nabi saw menegaskan, “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram.” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim).
Kita juga harus memegang panduan dengan Hadits Nabi saw: “Aku telah menghafal (sabda) dari Rasululloh Saw: “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, bergantilah kepada apa yang tidak meragukan kamu.“ (H.R. Imam Turmudzi dan An-Nasa-i).
Praktek bekam untuk berobat memang ada contohnya dari Nabi saw. Tapi dalam prakteknya, tidak pernah ada riwayat yang menyebutkan bekam itu dengan menggunakan binatang seperti lintah. Sehingga meng-qiyaskan atau menganalogikan lintah sebagai alat bekam, tentu keliru.
Dan tentang lintah itu sendiri, berlaku juga kaidah yang bersifat umum. Yakni kalau ternyata membahayakan bagi manusia, maka jadi terlarang. Dengan demikian hukum mengkonsumsi dan membudidayakannya pun menjadi haram pula. Tentu aspek bahaya dan/atau manfaat ini harus didasarkan pada bukti hasil penelitian ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan. Bukan berdasarkan katanya-katanya, yang tidak jelas sumbernya. Perhatikanlah makna ayat yang mengingatkan kita: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. 16:43). Dan makna ayat seperti ini diulang lagi di surat Al-Anbiyaa’ (21) ayat: 7). Ini menunjukkan tentang pentingnya ilmu pengetahuan dalam kehidupan kita.