Menghadapi momen pergantian kalender, banyak warga masyarakat merancang agenda liburan akhir tahun. Apalagi dalam penetapan kalender, hari libur akhir tahun ini lebih lama. Sehingga banyak dari mereka yang berencana memanfaatkan libur panjang itu, di antaranya dengan berjalan-jalan, traveling, atau dalam istilah agama melakukan safar. Secara individual, bersama keluarga maupun teman sejawat. 

Berasal dari kata bahasa arab, “safar” berarti “tampak”. Disebut demikian karena Safar atau melakukan perjalanan (jauh) selama beberapa hari, niscaya akan menampakkan wajah asli dan akhlak seorang musafir; apakah ia seorang penyabar, santun memiliki solidaritas sosial yang baik dan tetap berakhlakul-karimah; atau justru seorang yang temperamental, dan egoistis. Shadaqah bin Muhammad berkata, “safar merupakan timbangan seorang”. Disebut safar karena ia menampakkan akhlak seseorang (Al-Jami’ li akhlaq al-rawi wa adab al-sami’ 1793). Saat safar, sifat-sifat asli yang tersembunyi saat muqim menjadi tampak dan terlihat (Lisanul Arab 4/368).

Dikisahkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ada seorang laki-laki berkata kepada Umar, “Sesungguhnya si Fulan itu orang yang baik.” Lantas Umar bertanya, “Apakah engkau pernah bersafar bersamanya?” Lelaki itu menjawab, “Belum pernah.” Umar bertanya, “Apakah engkau pernah bermuamalah (berbisnis) dengannya?” Lelaki itu menjawab, “Belum pernah.” Umar bertanya, “Apakah engkau pernah memberinya amanah?” Lelaki itu menjawab, “Belum pernah.” Umar berkata, “Kalau begitu engkau tidak memiliki ilmu tentangnya. Barangkali engkau hanya melihat dia shalat di masjid.” (Mawa’idz shohabah)

Berkenaan dengan hal ini, Umar bin Khattab berkata: “Apakah dia pernah menemanimu dalam safar, yang safar merupakan indikasi mulianya akhlak seseorang?” (Ibnu Hajar berkata, ini dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Ghalil 8/260 No. 2637).

Ya, untuk mengetahui karakter asli seseorang, maka ingatlah perkataan Umar tersebut. Yakni, saat sedang dalam perjalanan, misalkan bagi orang yang pelit niscaya akan kelihatan. Seperti bekal kue yang dia bawa disimpan terus. Tetapi giliran temannya yang membuka bekal, dia ikut mengambil, dan bekalnya dimakannya sendiri, atau malah bertambah ketika dibawa pulang. Lalu, saat membayar ongkos atau jajan, tangannya seolah tersangkut di dalam sakunya sehingga lama mengeluarkan uang, supaya dibayari temannya. Belum lagi keluh-kesahnya. Misalnya, “Jalan-jalan bikin capek.” Padahal dia sendiri yang ingin jalan-jalan. Hingga kalau sudah capek emosinya akan tampak, begitu juga keegoisan, keserakahan, dan lain-lainnya. Karena dalam safar itulah, misalnya, orang yang tidak sabar akan terbuka ketidak-sabarannya. Sebetulnya bukan Allah yang membukanya, tapi dia yang membukanya sendiri, sehingga Allah mengizinkannya terbuka.

Memang, ketika masa senang agaknya semua bisa jadi teman. Tetapi saat susah, seperti saat safar, belum tentu banyak yang bisa jadi teman baik.

Tuntunan di dalam Al-Qur’an

Paling tidak, ada sembilan ayat Al-Qur’an yang membahas tentang safar atau traveling, melakukan perjalanan jauh ini. Di antaranya, “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk, 67:15).

Ditinjau dari sisi hukumnya, secara umum safar terbagi atas tiga, yakni (1) safar Taat, (2) safar Maksiat, dan (3) safar Mubah. Safar Taat adalah perjalanan yang dilakukan dalam rangka menunaikan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Diantara contoh safar taat adalah perjalanan haji, umrah, berjihad di jalan Allah, menuntut ilmu, bersilaturrahim, dan menziarahi (menjenguk) orang sakit. Sedangkan safar maksiat adalah perjalanan untuk melakukan sesuatu yang dilarang syari’at, seperti safar ke suatu tempat dengan maksud untuk berbuat dosa atau maksiat, melanggar ketentuan syariat. 

Adapun safar mubah adalah perjalanan untuk melakukan aktivitas duniawi yang dihalalkan secara syar’i, seperti perjalanan dagang, rekreasi, dll., yang tidak ada maksiat di dalamnya. Namun safar jenis ini juga bisa bernilai ibadah, bila diniatkan untuk itu, dengan mengikuti ketentuan-ketentuan agama. (lihatlah artikel: Agar Traveling Bernilai Ibadah Membawa Berkah).

Dalam prakteknya, banyak faedah dan tujuan seseorang melakukan safar, bepergian; entah untuk bekerja, melanjutkan pendidikan, atau hanya sekadar pelesiran, menikmati keindahan alam yang Allah ciptakan. Sejak dulu, merantau telah menjadi salah satu cara para ulama, kaum sufi, juga cendekiawan muslim untuk mendapatkan ilmu dan hikmah. Para muhaddits, yaitu para ahli ilmu hadits, misalnya, mereka menjelajah dari satu negeri ke negeri lain demi mencari hadis, melakukan kajian dan klarifikasi, serta mencari berkah dari para guru.

Begitu juga para ulama lainnya, tak terkecuali ulama fikih. Bisa kita simak, misalnya lagi, adalah imam mazhab fikih yang ajarannya diterapkan secara luas di Indonesia, yakni Imam Asy-Syafi’i. Beliau lahir di Gaza pada 150 H, melakukan rihlah keilmuan ke banyak penjuru, mulai dari Makkah, Madinah, Baghdad, serta banyak negeri lainnya, dan akhirnya wafat di Mesir. Karyanya banyak dijadikan rujukan dalam ilmu fikih, dan mazhabnya menjadi satu di antara empat mazhab fikih yang diakui secara luas oleh kalangan Ahlussunnah wal Jamaah. 

Di luar karya-karya fikih yang monumental, ulama bernama asli Muhammad bin Idris ini juga menulis kitab berisi kumpulan syair-syair renungan dan hikmah, yang dinamakan Diwan asy Syafi’i.

Banyak sekali hal yang beliau ulas dalam kitab itu, mulai refleksi keagamaan, kehidupan sosial, perjalanan mencari ilmu, juga tata krama bersama orang lain. Salah satu syair yang diabadikan oleh beliau dalam kitabnya itu adalah tentang hikmah dan faedah safar, merantau dan bepergian. Imam Asy-Syafi’i menuliskan syair (yang artinya):

Mengasinglah (berpindahlah) ke banyak negeri untuk mencari kemuliaan

Dan bepergianlah, dalam bepergian itu ada lima faedah (yang bisa didapat)

Hilangnya kesusahan, mendapatkan penghidupan

Serta (mendapatkan) ilmu, tata krama, serta teman-teman yang mulia

Dalam syair itu, Imam Asy-Syafi’i menyebutkan bahwa ada lima hal yang bisa didapat seseorang jika melakukan safar, atau merantau dengan niat yang mulia dan mengharap ridha-Nya semata, yaitu:

Menghilangnya kesusahan dan kesumpekan. Seseorang bisa saja datang ke suatu daerah, dengan beban yang dibawa dari asal daerahnya. Segala resah di negeri sendiri, agaknya akan bisa sirna dengan melihat keadaan atau datang di negeri orang yang bisa jadi lebih indah, lebih dinamis, atau adanya kelebihan-kelebihan yang tidak bisa didapat di kampung halaman. Maka keceriaan dalam lelahnya bepergian, bisa terbayar dengan rasa terhibur di negeri orang. Demikian pula seorang akan merasakan jemu dan bosan jika ia hanya terus-menerus berada di satu tempat, seperti halnya kalau ia hanya memakan satu jenis makanan saja, tanpa ada variasi (menu). Namun kalau ia pindah tempat dan menyibukkan diri dengan suasana yang baru, niscaya rasa kesumpekan lambat laun akan segera hilang. Sehingga safar atau traveling bisa juga disebut sebagai bentuk refreshing, penyegaran suasana dan menghilangkan kesumpekan.

Mendapatkan penghidupan. Kadang kala, karena berbagai faktor, kampung halaman tidak menyediakan lebih banyak peluang untuk mencari nafkah, penghidupan untuk keluarga, atau tempat pendidikan yang lebih layak. Maka merantau pun menjadi pilihan, sebagaimana kita lihat saat ini banyak warga masyarakat pergi ke kota yang konon menjanjikan lapangan kerja lebih luas. Meski tak harus ke kota, namun ketika seseorang merantau, niscaya ia akan berusaha untuk menjalani keadaan secara mandiri, sehingga lebih memacu dirinya untuk menggali potensi dan kemampuan diri untuk survive, mempertahankan hidupnya.

Bertambah ilmu dan amal. Setiap ladang punya kumbangnya sendiri. Setiap daerah punya kelebihan dan keistimewaan ilmu dan hikmah yang tak bisa didapat di kampung halaman sendiri. Maka merantau adalah satu sarana mencari ilmu, mendapatkan sebanyak mungkin ibrah dan teladan, agar batin bisa menjadi semakin terisi dengan kebijaksanaan, baik dalam wawasan maupun bersikap.

Dengan safar juga bisa menjadi sarana untuk menambah amal dengan dakwah. Dan Itulah yang telah dilakukan para da’i dan pejuang dakwah pendahulu kita, bahkan juga sejak zaman para Nabi.

Mendapatkan pelajaran tata krama. Setiap daerah punya kulturnya masing-masing. Hal ini akan menyadarkan seseorang yang merantau bahwa hidup bersama dalam keragaman memerlukan proses belajar hidup yang terus menerus. Belajar toleransi, menghargai orang lain, saling membantu, adalah tata krama yang bisa didapat jika seseorang sudah merantau dan mengenali realitas daerah perantauannya.

Bertambahnya kawan yang mulia. Di tanah rantau, menjalin relasi-relasi baru yang baik akan sangat menguntungkan, baik dalam perjalanan karir maupun proses mencari ilmu. Dari relasi dan pertemanan bisa didapat kebaikan-kebaikan yang tak terduga. Ketika pulang, hal itu bisa dimanfaatkan untuk kembali turut membangun kampung halaman, memberdayakan masyarakat bersama.

Batasan Jarak Safar

Para ulama berbeda pendapat tentang jarak perjalanan yang telah dianggap sebagai safar. Imam ash-Shan’ani menyebutkan ada sekitar dua puluh pendapat dalam masalah ini sebagaimana dihikayatkan oleh Ibnul Mundzir (Subulus Salam, 3/109). Pentingnya mengetahui ketentuan tentang batasan jarak safar itu adalah berkenaan dengan ketentuan Fiqhiyyah Syariah dan syarat diperbolehkannya mengerjakan sholat fardhu dengan Rukhshoh Qasar. Yakni keringanan yang boleh dilakukan untuk mengerjakan sholat yang empat rakaat menjadi hanya dua rakaat. 

Dalam kesempatan ini akan disebutkan beberapa pendapat. Di antaranya disebutkan: 

Jarak minimal suatu perjalanan dianggap/disebut safar adalah 4 barid = 16 farsakh = 48 mil = 85 km.

Ini adalah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, al-Hasan al-Bashri, az-Zuhri, Malik, Ahmad, dan asy-Syafi’i. Dalilnya adalah riwayat dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, Beliau berdua (Ibnu Umar dan Ibnu Abbas) shalat dua rakaat (qashar) dan tidak berpuasa dalam perjalanan empat barid atau lebih dari itu.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang sahih, dan al-Bukhari dalam Shahih-nya secara mu’allaq).

Mereka juga berdalil dengan sabda Nabi Saw, “Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian meng-qashar shalat (dalam perjalanan) kurang dari empat barid dari Makkah ke Asfan.” (HR. ad-Daraquthni dan al-Baihaqi)

Sedangkan Ibnu Qudamah berkata, “Tidak ada dasar yang jelas untuk menentukan batasan jarak safar. Sebab, menetapkan batasan jarak safar membutuhkan nash (dalil) yang datang dari Allah atau Rasul-Nya.” Sementara itu, dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, safar disebutkan secara mutlak tanpa dikaitkan dengan batasan tertentu. Perhatikanlah firman Allah yang bermakna: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, tidaklah mengapa kamu meng-qashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. An-Nisa, 4: 101).

Demikian pula ayat: “Dan barang siapa sakit atau dalam safar (kemudian berbuka), maka hendaklah ia berpuasa (sebagai puasa qadha di hari lain) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu.” (QS. Al-Baqarah, 2: 185).

Sedangkan dalam Hadits Nabi Saw, di antaranya, dari Abdullah bin Umar, dia berkata, “Aku telah menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau tidak pernah menambah lebih dari dua rakaat dalam safar. Demikian pula aku menemani Abu Bakr, Umar, dan Utsman seperti itu.” (Muttafaqun alaih, lafaz ini adalah lafaz al-Bukhari)

Dalam Kaidah Fiqhiyyah disebutkan, “Sesuatu yang mutlak tetap berada di atas kemutlakannya, sampai datang sesuatu yang memberi batasan atasnya.” Ketika tidak ada pembatasan jarak safar dalam syariat (nash), demikian pula tidak ada pembatasannya dalam bahasa Arab, maka pembatasan safar kembali kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Selama masyarakat setempat menganggap atau menyatakan perjalanan tersebut adalah safar, maka perjalanan itu adalah safar yang disyariatkan untuk meng-qashar shalat dan berbuka puasa di dalamnya.

Pendapat yang paling kuat—wallahu a’lam—adalah pendapat Ibnu Qudamah dan yang lainnya, bahwa batasan safar kembali kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, al-Allamah Ibnul Qayim. Demikian pula dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikhuna Muqbil bin Hadi al-Wadi’i. (Lihat al-Mughni, 2/542—543; al-Majmu’, 4/150; Majmu’ al-Fatawa, 24/21; asy-Syarhul Mumti’; 4/497, al-Jam’u baina ash-Shalataini fis Safar; hlm. 122). (USM)

*Dirangkum dari berbagai sumber

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.