Oleh: Drs. H. Zainut Tauhid Sa’adi, M.Si.
Wakil Menteri Agama Republik Indonesia
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah akan mempertemukan kita semua dengan hal yang baik, jika niat awal kita adalah mencari kebaikan. Allah pun akan menuntun kita berkumpul dengan orang yang baik, di tempat yang baik, serta kesempatan yang baik. Dari kisah itu, maka perlu digaris-bawahi ungkapan, “Kita hanya akan dipertemukan dengan apa yang kita cari”.
Di masyarakat sering terdengar ungkapan, alih-alih mencari yang halal untuk mendapatkan rizki yang haram saja susah. Ucapan seperti ini tentu tidak laik dilontarkan oleh orang yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah yang Maha Pemurah, Maha Pemberi Rizki. Sebab, setiap makhluk hidup sudah dijamin jatah rizkinya oleh Allah.
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Q.S. Huud, 11:6).
Ungkapan tersebut juga jelas menunjukkan sikap dan perilaku yang keliru dan berlebihan. Seperti perbuatan yang mencari-cari masalah. Pernyataan “mencari yang halal itu susah” itu berarti dapat dianggap sama dengan menyatakan, melaksanakan tuntunan agama Allah itu susah. Karena sejatinya, mencari dan mengkonsumsi yang halal itu adalah perintah Allah yang tegas di dalam ayat Al-Quran: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 168-169).
Allah memerintahkan agar mengkonsumsi yang halal dan thoyyib itu, dengan ayat yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik (yang halal), yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah (beribadah).” (Q.S. Al-Baqarah, 2:172).
Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang paling ahli ibadah bukan dilihat dari banyaknya ibadah yang ia kerjakan, tapi dilihat dari paling jauhnya ia dari mengkonsumsi makanan yang haram. Rasulullah Saw pernah menyampaikan nasihat berharga pada Abu Hurairah, “Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah. Jadilah orang yang qonaah (selalu merasa cukup dengan pemberian Allah), maka engkau akan menjadi orang yang benar-benar bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia sebagaimana engkau suka jika ia ada pada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi seorang mukmin yang baik. Berbuat baiklah pada tetanggamu, maka engkau akan menjadi muslim sejati. Kurangilah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah).
Bila kita perhatikan keadaan kaum Salafus Shalih, mereka memiliki bobot ucapan yang berkualitas sehingga menyusup ke dalam sanubari, memendarkan cahaya dan hikmah. Tidak sedikit orang-orang yang ahli maksiat bertaubat kepada Allah dengan berkah ucapan mereka. Sedangkan di masa ini, tidak sedikit orang yang tampak ahli dan fasih berbicara, namun banyak dari isi bicara mereka adalah sumpah serapah, fitnah dan dusta. Salah satu penyebab semua itu karena terlalu mudah memasukkan makanan ke dalam perut, atau menerima hadiah dan uang yang tidak jelas sumbernya, sehingga tidak pula jelas kehalalannya. Dalam hadits Nabi saw disebutkan, ”Setiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram, maka api neraka lebih utama baginya (lebih layak membakarnya).” (H.R. At-Thabrani).
Jika makanan dan minuman yang dikonsumsi halal dari segi dzatnya dan diperoleh dengan cara yang halal pula, maka makanan dan minuman yang masuk ke dalam perut akan menjadi darah dan daging yang melahirkan energi positif serta memudahkan langkah seseorang melakukan amal-amal kebajikan yang mulia. Sebaliknya, jika makanan dan minuman yang masuk ke dalam perut berasal dari barang haram atau diperoleh dengan cara yang dilarang agama, seperti mencuri, korupsi, manipulasi, apalagi menipu dan merampok, maka ia akan menjadi energi negatif yang pada akhirnya menarik seseorang untuk cenderung kepada perbuatan-perbuatan maksiat.
Allah memberikan perintah kepada hamba-hamba-Nya, sesuai dengan kapasitas kemampuan hamba-Nya itu. Tidak mungkin Allah memberikan perintah sebagai beban tugas yang harus ditunaikan, yang melebihi kemampuan hamba-Nya untuk melaksanakan perintah Allah itu. Artinya, secara tegas, semua perintah agama Allah itu pasti bisa dilaksanakan: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (Q.S. Al-Baqarah, 2:286).
Maka perintah Allah kepada kita untuk mencari dan mengkonsumsi yang halal saja, pasti bisa dikerjakan, jika kita benar-benar beriman dan ingin menaati perintah Allah, sebagai manifestasi atau bukti keimanan yang dimiliki.
Lebih lanjut lagi, semua perintah Allah itu tentu mudah untuk diamalkan atau dikerjakan. Tidak sulit. Karena Allah menghendaki kemudahan bagi kita, sebagai hamba-Nya yang beriman. Dia tidak menghendaki kesukaran maupun kesulitan. Kalaupun tetap menyatakan sulit, itu berarti orang tersebut memang enggan atau tidak mau menaati perintah Allah yang pasti akan membawanya kepada keselamatan hakiki dunia sampai akhirat yang abadi nanti. Perhatikanlah isyarat yang dikemukakan dalam ayat: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [Q.S. Al-Baqarah, 2: 185].
Apalagi dalam kehidupan ini, Allah telah menyediakan semua kebutuhan konsumsi kita yang halal dalam jumlah yang sangat banyak. Perhatikanlah makna ayat berikut:
“Dia-lah (Allah) yang telah menjadikan UNTUKMU bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap.” (QS. Al-Baqarah: 29). Juga makna ayat: “Dan Dia telah menundukkan (memudahkan) untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jatsiyah: 13). Dan ayat: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-nikmat-Nya lahir dan batin (yang nampak maupun yang tidak nampak).” (QS. Luqman: 20).
Ketiga ayat tersebut, dan beberapa ayat lainnya jelas dan tegas menyebutkan bahwa Allah telah menyediakan segala sesuatu di bumi ini untuk manusia. Inilah nash yang bersifat umum tentang kehalalan segala sesuatu, sebagai kaidah asal. Lalu para ulama merumuskan Kaidah Fiqhiyyah yang menyebutkan: “Al-ashlu fi al-asy-ya’i al-ibaahah, illaa maa dalla daliilu ‘alaa tahriimihi” (Segala sesuatu itu pada dasarnya adalah halal atau boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Dan bahan konsumsi yang diharamkan itu hanya sedikit. Tertentu saja. “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (Q.S. Al-Baqarah, 2:173).
Dalam ayat yang lain dijelaskan pula: “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-An’aam, 6:145).
Karena yang halal itu sangat banyak. Bahkan tersedia berlimpah. Sedangkan yang haram amat sedikit. Hanya beberapa jenis yang tertentu saja. Maka dengan pemahaman sederhana, mencari dan mengkonsumsi yang halal itu tentu amat mudah. Kalaupun ada kesulitan yang amat sangat, dan tidak bisa diatasi, misalnya, maka tetap ada jalan keluar. Disebut sebagai kondisi dharurat. Hal ini telah pula dijelaskan dalam ayat yang artinya: “Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-An’aam, 6:145). Sehingga tidak ada alasan lagi bagi kita yang beriman untuk mencari rizki dan/atau mengkonsumsi bahan makanan maupun minuman yang tidak halal.
Logo Halal MUI
Dengan perkembangan ilmu dan teknologi, banyak bahan konsumsi telah dibuat dengan sistim fabrikasi dalam industri pangan. Menggunakan berbagai bahan dari berbagai sumber yang tidak jelas kehalalannya. Sehingga berakibat boleh jadi tidak semua produk tersebut terjamin kehalalannya untuk dikonsumsi oleh umat Muslim. Namun mencari bahan konsumsi yang halal itu tetap sangat mudah bagi kita. Yakni dengan melihat adanya tanda label atau logo halal dari MUI, sebagai bukti bahwa secara dzatiyah atau material, produk tersebut telah memperoleh Sertifikat Halal. Yakni melalui proses sertifikasi halal dan penetapan fatwa halal, oleh lembaga yang berwenang di negeri kita ini.
Dan untuk mengkonfirmasi validitas Sertifikat Halal dengan logo halal yang dipasang pada kemasan produk itu, bisa dicek di Daftar Produk halal di laman atau situs Halalmui.org. Sedangkan untuk produk restoran, bisa diperiksa dengan melakukan scanning pada QR Code Halal yang dipasang di restoran tersebut. Sehingga tidak ada alasan lagi untuk mengatakan bahwa mencari dan mengkonsumsi yang halal itu merupakan hal yang sulit.
Pelajaran dari Buya Hamka
Kalaupun masih beranggapan mencari yang halal itu sulit, maka perlu diteliti kondisi hati orang yang mengatakan sulit itu. Sebagaimana dikemukakan oleh Buya Hamka. Dalam satu ceramahnya yang terekam luas, Buya Hamka pernah mengemukakan, ketika ditanya oleh seorang laki-laki yang terlihat begitu menggebu-gebu. “Subhanallah Buya, sungguh saya tidak menyangka. Ternyata di Makkah itu ada wanita nakal, Buya. Kok bisa?,” ucapnya.
Dengan tenang dan tidak terbawa emosi, Buya Hamka justru menjawab, “Oh ya? Saya baru saja dari Los Angeles dan New York. Dan Masya Allah, ternyata di sana tidak ada wanita nakal.”
Nampak merasa aneh dan heran, laki-laki itu pun membantah Buya Hamka, “Ah mana mungkin Buya! Di Makkah saja ada kok. Pasti di Amerika jauh lebih banyak lagi.”
Dengan tenang Buya Hamka menjawab. “Kita memang hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari,” ucap Buya Hamka lagi sembari tersenyum teduh. Jadi meskipun seseorang pergi ke Makkah yang notabene adalah Tanah Suci, namun kalau yang diburu dan dicarinya hanyalah yang buruk, maka setan dari golongan jin maupun manusia niscaya akan menuntunnya ke arah keburukan tersebut; minal-jinnati wan-naas . “yang (selalu) membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin maupun manusia.” (Q.S. An-Naas, 114: 5-6). Sementara jika seseorang mencari kebaikan, meskipun ke Los Angeles dan New York, maka segala kejelekan pun akan tersembunyi dan enggan untuk muncul.
Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim yang baik, hendaknya kita selalu mengedepankan prasangka yang baik, itikad yang baik, dan harapan yang baik sehingga akan selalu dapat memperoleh kebaikan yang diridhoi Tuhan.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah akan mempertemukan kita semua dengan hal yang baik, jika niat awal kita adalah mencari kebaikan. Allah pun akan menuntun kita berkumpul dengan orang yang baik, di tempat yang baik, serta kesempatan yang baik.
Dari kisah itu, maka perlu digaris-bawahi ungkapan, “Kita hanya akan dipertemukan dengan apa yang kita cari”. (Usm).
Sumber : Jurnal Halal No. 136