Search
Search

Haji Harus dengan Harta Halal dan Berimplikasi Sosial

Oleh: Prof. Dr. Hj. Uswatun Hasanah

Gurubesar Fakultas Hukum UI

Anggota Komisi Fatwa MUI

Berkunjung ke Tanah Suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji merupakan dambaan bagi setiap muslim. Namun demikian masih ada orang yang belum memahami dengan baik makna dan hakikat haji. Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang muslim yang mampu. Dalam kesempatan ini penulis ingin berbagi sedikit pengetahuan tentang ibadah haji kepada para pembaca.

Dari segi bahasa atau etimologis haji (al-hajj) berarti tujuan, “maksud dan menyengaja”. Ulama fikih mendefinisikan haji dengan “menyengaja mendatangi Ka’bah untuk menunaikan amalan-amalan tertentu” atau “mengunjungi tempat tertentu pada waktu tertentu untuk melakukan amalan-amalan tertentu”. Lebih rinci Ulama Fikih menjelaskan bahwa yang dimaksud tempat tertentu dalam definisi haji adalah Ka’bah dan Arafah, dan yang dimaksud dengan waktu tertentu adalah Asyhur al-Hajj, bulan-bulan (untuk pelaksanaan ibadah) haji. Di samping itu setiap amalan yang dikerjakan dalam waktu ibadah haji memiliki waktu-waktu khusus pula. Ungkapan “amalan tertentu” dalam definisi haji di atas mengandung pengertian bahwa setiap amalan  yang menjadi rukun, wajib, dan syarat dalam haji tersebut harus dimulai dengan niat haji dan dilaksanakan dalam keadaan ihram. 

Sebagai ibadah yang diwajibkan bagi setiap umat Islam yang mampu, ibadah haji memiliki hikmah, baik bagi orang yang melaksanakan haji itu sendiri, maupun bagi masyarakat secara umum. Karena Allah mensyariatkan ibadah haji untuk sejumlah tujuan dan beragam hikmah. Dengan melaksanakan ibadah haji seseorang bisa menyaksikan langsung tempat kelahiran Nabi Muhammad saw dan mengetahui tempat-tempat kehidupan beliau di Makkah dan Madinah. Dengan demikian ia bisa menggambarkan juga merasakan bagaimana suasana pada saat Rasulullah berjuang untuk syiar Islam bersama-sama para  sahabatnya yang dengan ikhlas mencurahkan jiwa raga dan harta untuk berjuang di jalan Allah. Saat menyaksikan Ka’bah, jamaah haji juga akan teringat pada keberkahan Nabi Ibrahim dan puteranya, Nabi Ismail serta Ibundanya, Hajar sebagai contoh keluarga yang penuh keikhlasan, kesabaran, keimanan, dan ketaqwaan sehingga perintah seberat apapun dianggapkan ringan. Meskipun harus menghadapi ujian yang berat seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya, yakni Isma’il. Ritual ibadah haji juga mengingatkan pelakunya akan usaha Ibunda dari Ismail yang berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa berkali-kali sambil menyenandungkan permintaan kepada Allah demi kehidupan buah hatinya, sehingga kemudian muncullah sumur Zamzam, yang tetap memancarkan airnya selama aribuan tahun hingga kini.

Manifestasi Kehambaan

Ibadah haji juga mengandung unsur manifestasi atau menunjukan status kehambaan seorang manusia di hadapan Allah. Saat ihram misalnya, jamaah haji menunjukkan penampilan yang sangat bersahaja, jauh dari perhiasan dan keglamouran. Namun tampil dengan kesederhanaan baji ihram, seraya memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan. Dalam ibadah haji terpapar dengan jelas persamaan sesama umat Islam dalam wujud yang paling signifikan dan makna yang paling agung, di mana kaum muslimin berkumpul di suatu tempat dengan penampilan yang sama. Semuanya tunduk dan bersimpuh, merendah terhadap keagungan Allah. Tidak ada perbedaan antara satu suku dengan suku yang lain, antara satu ras dengan ras yang lain, antara si kaya dengan si miskin. Tak ada pula keistimewaan antara satu orang dengan orang lain. Haji menyiratkan sebuah kekuatan efektif bagi kesatuan umat Islam dari segala penjuru dunia dan merupakan kesempatan kepada para jamaah untuk saling mengenal dan menjalin persaudaraan. Sehingga setiap muslim dapat merasakan jalinan kuat yang mengikat kaum muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia.

Apabila ibadah haji dilaksanakan dengan baik dan benar, niscaya ibadah tersebut akan memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan kepribadian seseorang yang berhaji itu, juga bagi kehidupan sosial kemasyarakatan. Bagi orang yang melaksanakan ibadah haji dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan Hukum Islam serta menggunakan dana yang halal, maka lazimnya, pengalaman yang dia peroleh selama ia melaksanakan ibadah haji akan membuat yang bersangkutan dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah, rendah hati, dermawan, tidak sombong. Lebih istiqamah dalam menghadapi berbagai hal dalam kehidupan ini. Apalagi jika jamaah yang bersangkutan mendapat pengalaman spiritual yang menyebabkan orang tersebut merasa bahwa dirinya hanyalah hamba Allah yang lemah dan tidak berdaya kecuali atas izin Allah.

Dari pengalaman spiritual tersebut akan terpatri pada dirinya bahwa pada prinsipnya semua manusia adalah sama sebagai hamba Allah. Berbagai kenikmatan yang dia rasakan di dunia ini sejatinya adalah karena kurnia Allah semata. Dengan demikian ia akan lebih mendekatkan diri kepada Allah dan dalam mengarungi kehidupan di dunia ini, dia akan selalu mengikuti ketentuan-ketentuan Allan yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw yang saat ini ada dalam Kitab-kitab Hadits.

Implikasinya dalam Kehidupan Sosial

Adapun implikasinya dalam kehidupan sosial kemasyarakat cukup banyak. Antara lain: ibadah haji dapat menumbuhkan disiplin sosial yang tinggi. Orang yang telah menunaikan ibadah haji niscaya akan cepat tanggap dengan apa yang terjadi dalam masyarakat, dan siap membantu baik dalam bentuk tenaga maupun harta. Di samping itu, ibadah haji juga dapat meningkatkan kerjasama dan tolong menolong sesamanya. Selama melaksanakan ibadah haji seseorang tidak akan mampu hidup sendiri, tetapi harus ada kerjasama dan tolong menolong di antara para jamaah. Pengalaman selama yang bersangkutan melaksanakan ibadah haji, di mana tolong-menolong di antara para jamaah sangat kuat, biasanya juga akan dia terapkan setelah kembali ke tanah air. Dengan demikian sering terjadi, sepulang dari tanah suci, orang yang bersangkutan lebih peduli terhadap fakir-miskin, orang-orang yang terlantar, dan pihak-pihak yang memerlukan. 

Berdasarkan pengamatan penulis, ibadah haji juga dapat meningkatkan rasa persaudaraan sesama umat Islam. Rasa persaudaraan yang tertanam selama yang bersangkutan melaksanakan ibadah haji, biasanya juga sangat berpengaruh terhadap kehidupannya dalam masyarakat sesampainya yang bersangkutan tiba di tanah air. Di samping itu ibadah haji juga dapat menumbuhkembangkan sikap saling menghormati dan menghargai hak orang lain. Sebagaimana sudah diketahui bahwa dalam melaksanakan ibadah haji, seseorang akan bertemu dengan orang-orang yang berasal dari berbagai Negara yang memiliki adat kebiasaan yang mungkin berbeda. Kondisi demikian jelas akan melatih jamaah yang bersangkutan untuk berpandangan luas dan toleransi terhadap sikap dan pendapat orang lain terutama di bidang muamalah. Yang lebih penting lagi, jika dikerjakan dan dihayati dengan baik ibadah haji juga dapat menggalang persatuan dan kesatuan umat Islam.

Sebagaimana sudah dikemukakan, haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang beragama Islam yang memiliki kesanggupan yang dilakukan sekali seumur hidup. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 97, yang artinya: “…Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam semesta.”

Dengan demikian orang Islam yang sudah memenuhi syarat untuk melaksanakan ibadah haji hanya wajib menjalankan ibadah haji satu kali seumur hidup, sedangkan yang sesudah itu hukumnya sunnah. Namun jelas, harus dengan uang-rezeki yang halal. Karena Allah tidak akan menerima ibadah serta doa, dengan rezeki yang diperoleh dari sumber yang haram! Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, dengan makna: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.’” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (HR. Imam Muslim).

Patut pula dipahami, orang yang menunaikan ibadah haji berkali-kali, selain sebagai ibadah kepada Allah, kadang kala juga karena tugas atau sebab yang lain, seperti tugas dari Pemerintah. Hal ini terjadi misalnya pada pegawai dan pejabat Kementerian Agama RI. Ada juga karena yang bersangkutan menjadi Pembimbing jamaah haji; dan ada pula orang-orang yang melaksanakan ibadah haji karena yang bersangkutan memang ingin memperbaiki diri dan lebih mendekatkan diri kepada Allah.

Sebelum melaksanakan ibadah haji atau umrah, seseorang biasanya sudah menyiapkan diri dengan baik, termasuk dana yang akan dia pergunakan. Bagi orang yang sudah memahami makna dan tujuan ibadah haji, orang tersebut akan selalu mohon ampun kepada Allah dari dosa-dosa yang pernah dia perbuat dengan cara memperbanyak istighfar dan bertaubat. Kemudian juga minta maaf kepada sesama manusia atas kesalahan-kesalahan yang mungkin pernah dia lakukan dalam interaksi sosialnya. Sewaktu dia akan membayar biaya haji, biasanya yang bersangkutan juga menggunakan harta yang benar-benar halal dan thoyyib, karena sebagaimana telah disebutkan, ibadah haji harus menggunakan harta yang diyakini benar-benar halal. Tidak bercampur dengan yang syubhat, apalagi haram.

Jika haji dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan hukum Islam serta menggunakan uang yang halal, insya Allah jamaah akan menjadi haji yang mabrur. Dalam hidup dan kehidupannya akan selalu berusaha menjalankan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan Allah yang telah ditetapkan di dalam al-Qur’an, yang kemudian dijelaskan dan dicontohkan lebih lanjut oleh Rasulullah saw dalam Sunnah-sunnah-Nya. 

Di samping itu, dia juga akan selalu meningkatkan ibadah sosialnya dengan cara mempererat hubungannya dengan sesamanya, membantu orang-orang yang memerlukan seperti menyantuni anak-anak yatim dan fakir miskin, baik langsung maupun melalui lembaga-lembaga terkait, karena haji merupakan gabungan terpadu semua unsur-unsur ibadah, baik ibadah Mahdlah maupun Ghairu Mahdlah. Dengan demikian ia akan menjadi teladan bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Jika dia seorang pejabat, niscaya dia akan menjadi panutan bagi bawahannya sehingga ia mampu mendobrak praktek-praktek yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Semoga tulisan pendek ini bermanfaat bagi kita semua. Amin ya Rabb al-‘alamin. (USM)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *