Search
Search

Gaya Hidup Halal Membentuk Masyarakat Taat Hukum

Gaya Hidup Halal Membentuk Masyarakat Taat Hukum

Oleh: Dr. KH. M. Ma’rifat Iman, MA.

Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Wakil Sekretaris KF MUI

Sebagai orang beriman, kita memang perlu untuk selalu dan terus saling mengingatkan dengan kebenaran dan kesabaran, sesuai dengan perintah Allah: watawasho bil-haqqi watawashow bish-shobri. “Dan hendaklah kalian terus saling berwasiat, saling mengingatkan dengan al-haq, dan terus saling mengingatkan dengan penuh kesabaran.” (HalalMUI)

Di antara hal yang yang perlu terus diingatkan adalah dalam aspek mengkonsumsi makanan yang halal, karena sangat penting bagi umat Islam maupun masyarakat secara keseluruhan. Merupakan perintah Allah yang sangat jelas di dalam Al-Qur’an: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithon; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaithon itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah, 2:168-169). 

Juga perintah Allah dalam ayat yang lain, khusus bagi orang beriman, “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik (yang halal), yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah (beribadah).” (QS. Al-Baqarah, 2:172).

Lebih lanjut lagi, menaati perintah Allah dalam aspek konsumsi ini, dan menjalani hidup halal dalam pengertian yang lebih luas, itu berarti menaati dan mematuhi ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah. Dan taat hukum serta mengikuti peraturan itu merupakan barometer sekaligus parameter prinsip dan kunci untuk mendapatkan ketenteraman batin bagi diri pribadi yang bersangkutan, yang pada gilirannya juga akan dapat membentuk serta mewujudkan ketertiban dan kedamaian hidup keluarga maupun masyarakat secara umum. 

Tegasnya, menjalani hidup halal merupakan manifestasi ketaatan dan kepatuhan pada hukum dan peraturan dalam kehidupan sosial, yang akan menghasilkan kehidupan yang damai dan harmoni dalam lingkup diri pribadi, keluarga maupun masyarakat. 

Sebagai contoh sederhana, taat pada peraturan lalu lintas di jalan raya, antri dengan tertib pada jalur yang telah ditentukan. Tidak menyerobot atau bahkan merampas hak jalan/jalur orang lain, yang berarti berbuat zhalim, karena jelas hal itu dilarang agama: “Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zhalim…” (QS. 14:42). Bahkan orang yang zhalim niscaya akan diazab oleh Allah: “Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.” (QS. 11:102). (HalalMUI)

Dalam Hadits Qudsi yang diriwayatkan dari Abu Dzar, Nabi saw. bersabda tentang apa yang Beliau riwayatkan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala bahwa Dia berfirman: “Wahai hamba-Ku… Aku haramkan kezhaliman atas diri-Ku. Dan Aku jadikan perbuatan zhalim itu sebagai larangan bagimu, maka janganlah kalian saling berbuat zhalim.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)

Secara sederhana, jika melanggar peraturan lalu lintas, misalnya, maka itu bisa dikatakan berbuat zhalim. Karena merampas jalan/jalur orang lain tanpa hak. Dampaknya, niscaya akan mengalami derita atau sebagian dari adzab, berupa kesemrawutan dan kemacetan di jalan raya, bahkan dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas, yang menimbulkan korban tiada terkira, seperti yang banyak terjadi di negeri kita ini. 

Tetapi kalau taat hukum dan peraturan lalu lintas, berapa pun panjang antrean, niscaya akan dapat terus bergerak di jalurnya masing-masing, terhindar dari kesemrawutan dan kemacetan total. Seperti yang dapat dilihat di negara-negara Eropa, Jepang, Singapura, atau Malaysia, yang masyarakatnya taat pada hukum dan peraturan lalu-lintas.

Begitu pula tertib membuang sampah, sebagai contoh sederhana berikutnya, tentu akan dapat menghasilkan lingkungan yang bersih dan nyaman bagi kehidupan bersama. Sementara yang terjadi, banyak warga di antara kita tidak taat aturan, dengan membuang sampah sembarangan. Akibatnya, lingkungan pun jadi tercemar, saluran air tersumbat, sehingga terjadi genangan air atau bahkan banjir di musim hujan. (HalalMUI)

Maksiat dan Berdosa

Melanggar hukum Allah, berarti berbuat maksiat dan berdosa. Niscaya berdampak akan mengusik ketenteraman batin, menimbulkan kegelisahan jiwa, dan hidup pun menjadi tidak tenang, selain bahwa karena perbuatan dosa itu niscaya akan mendapat sanksi dari Allah. Seperti meminum khamar yang diharamkan, berdampak otak jadi rusak, penyakit jantung, dll. 

Dalam ketentuan syariah, menurut jumhur ulama, orang yang ketahuan minum khamar harus dihukum. Dan hukuman atas peminum khamar ini adalah Hukum Hadd atau Hudud, yang segala ketentuannya datang langsung dari Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini sanksi hukum bagi orang yang minum khamar, mabuk ataupun tidak mabuk adalah didera, atau dicambuk, sebagaimana ditetapkan dalam Hadits Nabi saw., yang artinya: “Orang yang minum khamar maka cambuklah ia.” (HR. Muttafaqun ‘alaih).

Hadits tersebut termasuk jajaran hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada tiap thabaqatnya (jenjang) dan mustahil ada terjadi kebohongan di antara mereka. Jumhur ulama tidak membedakan antara orang yang mabuk dengan orang yang minum khamar tanpa mabuk, keduanya tetap harus bahkan wajib dikenakan hukuman, sesuai dengan Kaidah Fiqhiyyah yang telah ditentukan itu. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata: “Rasulullah saw. mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunnah. Tapi yang ini (80 kali) lebih aku sukai.” (HR. Muslim). Sedangkan siksa akhirat juga menanti, kalau tidak taubat dari maksiat yg terlaknat itu. 

Ibn Umar ra. berkata Rasulullah saw. pernah bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya dan peminum/pecandu khamar.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).

Ini karena amal shalat dan amal kebaikan pecandu khamar pasti tertolak. Jabir berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Ada tiga kelompok orang yang tidak akan diterima amal shalatnya dan tidak akan diangkat ke langit kebaikannya (yaitu: budak yang lari dari tuannya hingga ia kembali kepada tuannya dan meletakkan tangannya di telapak tangan tuannya; istri yang dimurkai suaminya hingga suaminya kembali ridha kepada dirinya; dan orang mabuk (minum khamar) hingga dia sehat.” (Adz-Dzahabi, Al-Kaba’ir, I/29). (HalalMUI)

Abu Said al-Khudri berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Allah tidak akan menerima shalatnya peminum khamar selama di dalam tubuhnya masih tersisa sedikit saja dari khamer itu.”

Rasulullah saw. juga bersabda, “Siapa saja yang meninum khamer meski tidak mabuk, Allah akan berpaling dari dirinya selama 40 malam… Siapa saja yang mati dalam keadaan menjadi pecandu khamer, matinya seperti kematian penyembah berhala.” (Adz-Dzahabi, Al-Kaba’ir, I/29). Artinya, matinya dianggap sebagai orang musyrik atau kafir.

Jika melanggar hukum, atau maksiat/dosa berlanjut, dampak berikutnya akan menjadi stres dan terus menggejala, menjadi penyakit psikosomatis. Yaitu penyakit fisik yang berpangkal dari kondisi jiwa yang terganggu, seperti perasaan gelisah dan/atau mengalami stres yang berkepanjangan, karena rasa bersalah telah melakukan perbuatan dosa. Perhatikanlah isyarat dari hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh shahabat An-Nawwas bin Sam’an: “Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah apa saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka memperlihatkannya pada orang lain.” (HR. Muslim).

Dalam hadits lain dari Wabishah bin Ma’bad, ia berkata: Aku datang kepada Rasulullah saw., kemudian beliau berkata: “Kamu datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Aku menjawab: benar. Kemudian beliau bersabda (artinya): “Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa yang menyebabkan hati bimbang dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan.” (HR. Imam Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, dan Al-Baihaqi dalam Dalaailun-nubuwwah).

Makanan tidak halal atau yang haram itu sendiri pada dasarnya ada dua macam. Pertama, haram  Li dzatihi, dari sisi zatnya secara material, seperti bangkai, darah, daging babi, khamar, dll., yang diharamkan dengan tegas di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Dan ini yang diteliti dengan proses sertifikasi halal oleh LPPOM MUI, lalu ditetapkan fatwanya oleh Komisi Fatwa MUI. (HalalMUI)

Kedua, haram Li ghoirihi, yakni dari segi perilaku atau cara memperolehnya. Misalnya, daging ayam, sejatinya halal. Tetapi kalau diperoleh dengan mencuri, maka menjadi haram. Menjual telur ayam halal. Tetapi kalau mencurangi timbangan/takaran dalam menjualnya, maka hasil keuntungan yang diperoleh pun menjadi haram. 

Perbuatan haram itu juga akan berdampak dalam lingkup keluarga. Karena, kalau seorang kepala keluarga mencuri, atau melakukan korupsi, tentu akan ditangkap oleh aparat hukum. Lalu diproses pengadilan. Keluarganya pun akan terkena pula dampaknya. Misalnya dalam aspek ekonomi rumah tangga menjadi goyah, dicemooh, martabat atau kehormatan keluarga pun jatuh, dan lebih lanjut lagi dikucilkan dalam lingkup pergaulan sosial, dll. 

Pada lingkup masyarakat, karena terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum, niscaya juga akan timbul konflik sosial, karena tidak ada orang yang mau dilanggar atau dirampas haknya. Seperti berbuat curang dalam takaran; Waylul-lil muthoffifin… menipu, manipulasi, dan/atau korupsi, dalam kaidah syariah jelas semua itu tidak halal. 

Perbuatan curang pada hakikatnya merupakan satu bentuk praktek Sariqah (pencurian) terhadap milik orang lain dan tidak bersikap adil dengan sesama. Mengambil milik orang lain melalui takaran dan timbangan yang curang, walaupun dianggap hanya sedikit, niscaya berakibat ancaman kecelakaan. Tentu ancaman akan lebih besar bagi siapa saja yang merampas harta dan kekayaan orang lain dalam jumlah yang lebih banyak. 

Dalam Al-Qur’an disebutkan secara khusus, satu kaum disiksa karena melanggar ketentuan dalam aspek ekonomi; mereka berbuat curang dalam timbangan dan takaran: “Dan kepada (penduduk) Madyan, (Kami utus saudara mereka), Syu’aib. Ia berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allâh, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (Kiamat)”. (HalalMUI)

Dan Syu’aib berkata, “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa keuntungan dari Allâh adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu.” (QS. Hud, 11:84-86)

Namun kaum Nabi Syu’aib menolak dan mengingkari dakwah beliau. Allah mengisahkan: “Mereka berkata, “Hai Syu’aib, apakah agamamu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami.” (QS. Hûd, 11:87)

Beliau pun menjawab: “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu dengan mengerjakan apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allâh aku bertawakkal dan hanya kepada-Nyalah aku kembali.” (QS. Hûd, 11:88)

Akhirnya, Allah menghancurkan mereka dengan siksa-Nya: “Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan. Sesungguhnya azab itu adalah azab hari yang besar.” (QS. Asy-Syu’ara, 26:189).

Allah juga berfirman dengan makna: “Dan orang-orang yang zhalim itu dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya. Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu.” (QS. Hud, 11:94-95). Dalam ayat yang lain disebutkan, “Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (QS. Al-A’raf, 7:91). (HalalMUI)

Dengan demikian, ketentuan halal itu bukan hanya dalam aspek makanan atau konsumsi saja, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan diri pribadi, keluarga maupun masyarakat. Ringkasnya, sebagai orang beriman, kita harus menjalani hidup ini dengan cara yang halal, mengikuti tuntunan Allah dan Rasulullah saw.

Sebagai manifestasi taat hukum, yang pada gilirannya niscaya akan membentuk kehidupan keluarga dan masyarakat yang damai dan harmonis. Karena kesemuanya taat pada hukum dan peraturan. Dalam hal ini, MUI telah pula mencanangkan ungkapan “Halal is My Life”. Dan kini telah pula kian populer, banyak diimplementasikan dan semakin menjadi kebutuhan masyarakat. Wallahu a’lam bish-showab.

(HalalMUI)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *