Search
Search

Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat halal dunia, namun mengapa justru masih berada di peringkat kedelapan? Melalui digitalisasi layanan dan kolaborasi lintas sektor, BPJPH optimis target 7 juta produk dengan sertifikat halal BPJPH yang diproses dengan cepat dan mudah akan tercapai, demi menjadikan Indonesia nomor satu di dunia dalam industri halal. LPH LPPOM konsisten mendorong akselerasi wajib halal BPJPH dengan menjunjung tinggi integritas sertifikasi.

Komitmen Indonesia untuk menjadi pusat halal dunia bukan lagi sekadar mimpi. Namun, untuk mewujudkannya, dibutuhkan lebih dari sekadar potensi: harus ada ketertiban, kolaborasi, dan integritas. Hal inilah yang disampaikan oleh Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Ahmad Haikal Hasan, dalam seminar Indonesia International Halal Festival (IIHF) beberapa waktu lalu di Jakarta International Convention Center. 

Pihaknya juga menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan lembaga pemeriksa halal untuk mendorong percepatan dan kemudahan sertifikasi halal, terutama menjelang target tujuh juta produk bersertifikat halal pada akhir 2025. 

Dalam paparannya, Ahmad Haikal Hasan menyampaikan data yang cukup mengejutkan. Indonesia, yang dikenal sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, justru menempati posisi kedelapan dalam peringkat ekosistem halal global. Padahal, Indonesia menyumbang mayoritas dari 20 perusahaan makanan dan minuman halal terbesar di dunia. 

“Indonesia sebenarnya terbanyak memiliki makanan minuman produk halal. Kontradiksi dengan data yang dikeluarkan oleh DinarStandard. Ada 20 company terbesar di dunia, 15-nya dari Indonesia,” jelasnya. 

Namun, menurut Haikal Hasan, peringkat rendah Indonesia ini bukan karena minimnya potensi, melainkan ketidaktertiban dalam pelaksanaan sertifikasi halal. Dari sekitar 60 juta pelaku UMKM di Indonesia, sekitar 50 persennya bergerak di bidang kuliner. Sayangnya, dari 30 juta UMKM kuliner, baru sekitar 2,4 juta yang memiliki sertifikat halal (SH). 

“Oleh karena itu, BPJPH berkolaborasi dengan sejumlah stakeholder untuk bersama-sama menyerukan halal. Ini baru bicara soal kuliner. Masih ada 40-an juta lagi di sektor kosmetik, obat-obatan, barang gunaan, dan lain-lain,” tambah Haikal.  

“Kalau semua ber-SH maka, saya jamin Indonesia is number one in the world for halal.” Untuk mencapai target tujuh juta produk halal, BPJPH mencanangkan kecepatan penerbitan 10 ribu sertifikat halal per hari hingga akhir tahun. 

Menjawab tantangan percepatan sertifikasi, LPPOM sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) tak tinggal diam. Direktur LPH LPPOM, Muti Arintawati, menyampaikan bahwa digitalisasi adalah langkah krusial untuk mendukung proses sertifikasi halal yang transparan, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan. 

“Kami sangat mendukung BPJPH, bahwa digitalisasi merupakan salah satu yang sangat penting dan utama untuk mendukung berlangsungnya proses sertifikasi halal,” ujarnya. Melalui sistem digital, seluruh tahapan mulai dari pendaftaran pelaku usaha, pemeriksaan oleh LPH, hingga penetapan fatwa oleh Komisi Fatwa MUI dapat dipantau secara real-time

“Dengan platform digital, semua pihak itu akan bisa mengetahui, saya prosesnya sampai mana, kalau ada masalah itu masalahnya ada di mana, sehingga tidak ada kemudian saling menyalahkan,” jelas Muti. 

Lebih jauh, Muti juga menyinggung potensi teknologi blockchain dan kecerdasan buatan (AI) untuk melacak asal bahan baku, memastikan kehalalan dari hulu ke hilir, hingga menyederhanakan proses pemeriksaan. 

“Dengan perkembangan AI saat ini, tentu kita bisa mencari informasi untuk mengetahui satu bahan ini berasal dari mana, dibuatnya dari apa. Itu akan sangat mempermudah proses yang diharapkan tadi menjadi lebih sederhana, lebih mudah, lebih tidak rumit,” tuturnya. 

Namun, teknologi dan regulasi saja tidak cukup. Integritas para pemangku kepentingan halal adalah fondasi utamanya. Menutup pernyataannya, Muti menekankan bahwa semua pihak yang terlibat dalam ekosistem halal wajib menjunjung tinggi kejujuran dan tanggung jawab moral. 

“Setiap stakeholder halal harus menjunjung tinggi integritas. Karena halal adalah integritas, halal adalah amanah. Kalau kita tidak bisa menjaga itu, maka halal akan ternodai, sehingga tidak akan ada harganya lagi,” tegasnya. 

Potensi Indonesia untuk menjadi pusat industri halal dunia sangat besar, tetapi hanya akan terwujud bila seluruh elemen – dari regulator, pelaku usaha, hingga konsumen – saling menguatkan dalam satu barisan. Dengan percepatan sertifikasi halal melalui digitalisasi, dorongan kebijakan wajib halal dari BPJPH, serta semangat integritas yang dijaga oleh lembaga seperti LPPOM, harapan “Indonesia is number one in the world for halal” bukan lagi sekadar slogan, melainkan misi bersama yang kian nyata di depan mata.  

Untuk mewujudkan hal itu, LPH LPPOM mengajak seluruh pelaku usaha segera melakukan sertifikasi halal. Ruang diksusi terbuka lebar melalui layanan Customer Care pada Call Center 14056 atau WhatsApp 0811-1148-696. Pelaku usaha juga dapat mendalami alur dan proses sertifikasi halal dengan mengikuti kelas tak berbayar Pengenalan Sertifikasi Halal (PSH) yang diselenggarakan secara rutin setiap pada minggu ke-2 dan ke-4 setiap bulannya https://halalmui.org/pengenalan-sertifikasi-halal/.      

LPH LPPOM juga mengajak konsumen musim untuk cerdas dalam memilih produk dengan mengecek secara cepat dan mudah terkait daftar produk yang sudah bersertifikat halal BPJPH yang diperiksa oleh LPH LPPOM melalui website www.halalmui.org, atau aplikasi Halal MUI yang dapat diunduh di Playstore. Adapun informasi menyeluruh dapat diakses cepat diwebsite BPJPH https://bpjph.halal.go.id/. (YN) 

Semakin banyak konsumen mempertanyakan kehalalan makanan yang mereka konsumsi, termasuk dari pedagang kecil seperti bakso gerobak keliling. Bagi sebagian pelaku usaha, pertanyaan ini menimbulkan kekhawatiran. Apakah usaha sekecil itu harus disertifikasi halal? Bagaimana prosedurnya? Apakah bisa lewat jalur gratis?

Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya produk halal, para pelaku usaha makanan pun mulai merasakan dampaknya. Salah satunya adalah seorang pedagang bakso gerobak keliling di wilayah Bekasi yang mengaku usahanya kini mulai ramai pembeli. Beberapa pelanggan bahkan sudah mulai menanyakan status kehalalan baksonya. Pertanyaan ini kemudian membuka kegelisahan yang juga dirasakan banyak pelaku UMK lainnya: apakah usaha kecil seperti miliknya perlu disertifikasi halal? Apakah prosesnya rumit dan mahal? Apakah bisa menggunakan jalur gratis seperti self-declare? 

Menanggapi hal tersebut, Dr. Ir. Sugiarto, M.Si., auditor senior dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) LPPOM memberikan penjelasan yang gamblang namun mudah dicerna. Menurutnya, dalam dunia sertifikasi halal, tidak semua produk memiliki tingkat risiko yang sama. Produk berbahan dasar daging seperti bakso termasuk dalam kategori bahan baku berisiko tinggi (high risk).  

Artinya, produk ini tidak bisa diajukan melalui jalur self-declare atau pernyataan halal mandiri yang hanya diperuntukkan bagi produk berisiko rendah seperti makanan kering non-hewani yang tidak memerlukan audit mendalam terhadap bahan dan proses produksinya. Karena mengandung daging, bakso membawa risiko kontaminasi najis atau unsur haram sehingga proses verifikasi kehalalannya harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari sumber bahan baku hingga dapur pengolahan. 

Salah satu kekhawatiran umum adalah kemungkinan diwajibkannya audit sampai ke Rumah Potong Hewan (RPH). Namun, dr. Sugiarto menenangkan, hal tersebut tidak selalu perlu dilakukan. Bila pedagang membeli daging langsung dari RPH yang sudah bersertifikat halal dan dapat menunjukkan bukti pembelian serta salinan sertifikat halalnya, maka proses audit cukup dilakukan sampai pada tahap itu. Audit hanya akan dilanjutkan sampai ke RPH jika bahan baku dibeli dari pasar atau pemasok tanpa informasi kehalalan yang memadai, karena auditor wajib memastikan bahwa seluruh rantai pasok benar-benar bebas dari unsur haram dan najis. 

Terkait kewajiban sertifikasi halal untuk usaha bakso gerobak, Dr. Sugiarto menjawab tegas bahwa usaha semacam ini pun wajib memiliki sertifikat halal. Ketentuan ini merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2024, yang menyatakan bahwa semua produk makanan dan minuman yang diedarkan serta diperjualbelikan di Indonesia wajib bersertifikat halal, kecuali produk yang secara eksplisit diharamkan—dan itu pun harus diberi label “tidak halal.” Artinya, tidak ada perbedaan antara usaha besar dan kecil dalam hal kewajiban sertifikasi. Selama produknya dikonsumsi masyarakat, status halalnya wajib dijamin. 

Lalu bagaimana jika pedagang memiliki beberapa gerobak yang beroperasi di berbagai lokasi? Dr. Sugiarto menjelaskan bahwa hal ini bergantung pada sistem operasional yang diterapkan. Jika masing-masing gerobak memiliki dapur, produksi, atau pemasok bahan baku yang berbeda, maka setiap unit usaha perlu dicantumkan secara jelas dalam cakupan sertifikasi atau disertifikasi secara terpisah. Namun, bila seluruh gerobak mengambil pasokan dari satu dapur pusat yang sama, maka proses sertifikasinya bisa dikelola secara kolektif dalam satu sistem. Pendekatan ini tentunya akan lebih efisien dan terjangkau bagi pelaku usaha. 

Di akhir penjelasannya, Dr. Sugiarto menegaskan bahwa sertifikasi halal bukan sekadar kepatuhan administratif, melainkan bentuk tanggung jawab moral terhadap konsumen. Ketika pelanggan bertanya tentang status halal suatu produk, itu merupakan tanda kepercayaan yang harus dijawab dengan komitmen dan bukti resmi. LPPOM dan lembaga terkait pun terus berupaya menghadirkan sistem yang lebih ramah UMK, baik dari sisi teknis, edukasi, maupun biaya. Sertifikasi halal adalah langkah strategis untuk memperluas pasar, meningkatkan kredibilitas, dan tentu saja, meraih keberkahan dalam usaha. 

Bagi para pedagang bakso keliling dan pelaku usaha mikro lainnya, kini adalah waktu yang tepat untuk melangkah lebih jauh. Kehalalan produk bukan hanya menjadi nilai tambah, tapi sudah menjadi standar kepercayaan konsumen. Dan dengan pendampingan serta informasi yang memadai, proses sertifikasi halal bisa dijalani dengan yakin dan optimis—bukan sebagai beban, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab dan investasi masa depan. 

Oleh karenanya, LPH LPPOM senantiasa membuka ruang diskusi bagi setiap pelaku usaha yang produknya belum melakukan sertifikasi halal melalui layanan Customer Care pada Call Center 14056 atau WhatsApp 0811-1148-696. Selain itu, pelaku usaha juga dapat mendalami alur dan proses sertifikasi halal dengan mengikuti kelas Pengenalan Sertifikasi Halal (PSH) yang diselenggarakan secara rutin setiap pada minggu ke-2 dan ke-4 setiap bulannya https://halalmui.org/pengenalan-sertifikasi-halal/.      

Jadi, bagi Anda yang memiliki produk kemasan makanan dan minuman belum memiliki sertifikasi halal, segera pilih LPH LPPOM sebagai mitra Anda dalam proses sertifikasi halal. Anda juga dapat mengecek daftar produk bersertifikat halal yang diperiksa oleh LPH LPPOM melalui website www.halalmui.org, aplikasi Halal MUI yang dapat diunduh di Playstore, serta informasi secara menyeluruh pada website BPJPH https://bpjph.halal.go.id/. (YN) 

Source : https://halalmui.org/jurnal-halal/173/ 

Oleh: Rina Maulidiyah, STP 

Pernahkah Anda membayangkan, di balik semangkuk bakso hangat atau sepiring sosis lezat yang Anda nikmati, ada proses panjang yang menyangkut bukan hanya rasa dan kualitas, tapi juga status kehalalan yang ketat? Salah satu titik kritis dalam industri pengolahan daging yang sering luput dari perhatian adalah mesin penggiling daging.

Mesin ini, yang bertugas menghaluskan daging sebelum diolah lebih lanjut, bisa menjadi ‘penentu nasib’ kehalalan sebuah produk. Sekali saja mesin ini terkontaminasi bahan haram—seperti daging babi—atau tidak dicuci sesuai aturan, maka seluruh produk yang digiling di dalamnya bisa beralih status dari halal menjadi tidak halal. Ironisnya, kontaminasi ini sering tak kasat mata, namun dampaknya luar biasa besar, terutama bagi konsumen Muslim yang menjunjung tinggi nilai kehalalan. 

Mengenal Mesin Penggiling Daging: Dari Dapur Rumah hingga Skala Industri 

Penggilingan daging bukan cuma urusan rumah tangga. Di balik industri bakso, sosis, nugget, hingga kaldu, ada berbagai jenis mesin penggiling daging yang digunakan sesuai dengan skala produksi dan tujuan akhir. Yuk, kita berkenalan satu per satu. 

1. Blender & Food Processor 

Untuk ibu rumah tangga atau pelaku usaha kuliner rumahan, blender dan food processor menjadi andalan. Keduanya cocok untuk menggiling daging dalam jumlah kecil. Meskipun hasilnya tidak sehalus mesin industri, cukup untuk membuat bakso rumahan atau nugget anak-anak. 

2. Meat Grinder 

Inilah mesin penggiling daging ‘sesungguhnya’. Ada yang manual, ada yang listrik, bahkan yang berkapasitas industri. Mesin ini mampu menggiling daging dalam jumlah besar dengan hasil potongan yang konsisten. Di skala industri, meat grinder seringkali dilengkapi dengan sistem otomatis yang dapat langsung memasukkan hasil gilingan ke dalam casing sosis, misalnya. 

3. Bowl Cutter 

Ini adalah ‘raja’ penggiling daging di industri besar. Mesin ini bisa menggiling hingga sangat halus sambil mencampur bumbu dan bahan tambahan lainnya. Dengan kecepatan putaran tinggi dan teknologi modern, bowl cutter menghasilkan adonan daging yang sangat homogen—sangat pas untuk produk premium seperti bakso super halus atau sosis khas Jerman. 

Persyaratan Halal Penggilingan Daging 

Memastikan mesin bersih ternyata tak cukup. Dalam perspektif halal, kebersihan harus ditinjau dari sudut pandang syariat. Ada peralatan yang, walaupun tampak bersih, dianggap najis jika sebelumnya bersentuhan dengan bahan haram dan tidak dibersihkan sesuai prosedur sertu, yakni yaitu pencucian sebanyak tujuh kali dengan salah satu pencucian menggunakan tanah yang suci atau bahan pengganti yang memiliki daya pembersih setara.  

Dalam industri pengolahan daging, mesin penggiling adalah salah satu titik kritis karena kontak langsung dengan bahan utama. Jika mesin ini pernah digunakan untuk menggiling daging babi atau daging dari hewan yang tidak disembelih secara syar’i, maka seluruh sistem harus dibersihkan dengan prosedur yang ketat. 

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) mewajibkan implementasi Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) pada penggilingan untuk menjamin mesin penggiling layak digunakan dalam proses halal. Beberapa poin yang perlu menjadi perhatian dalam konteks jasa penggilingan, di antaranya: 

  1. Bahan Daging yang Digunakan Harus Bersertifikat Halal 

Setiap daging yang akan digiling wajib berasal dari pemasok yang telah memiliki sertifikat halal. Pelaku usaha harus melakukan verifikasi atas label kemasan dan sertifikat halal resmi sebelum menerima bahan baku untuk diproses. Praktik ini bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada daging dari hewan yang disembelih secara tidak syar’i ataupun dari hewan haram seperti babi yang masuk ke dalam mesin penggilingan. 

  1. Peralatan Produksi Harus Khusus dan Terpisah 

Dalam proses penggilingan, mesin penggiling daging harus dipastikan tidak digunakan untuk menggiling bahan haram, seperti babi, dan tidak tercemar najis. Jika sebelumnya mesin penggiling pernah digunakan menangani daging non-halal, maka Pelaku Usaha wajib memastikan bahwa seluruh prosedur pencucian terhadap kontaminasi najis mughallazah dalam jalur produksi halal dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.  Najis mughallazah, seperti babi dan turunannya, hanya dapat disucikan melalui proses sertu. Dalam konteks industri, proses sertu harus dilakukan secara sistematis dan terdokumentasi, mencakup identifikasi peralatan yang terkontaminasi, metode pembersihan, bahan pembersih yang digunakan, serta pengawasan mutu hasil pencucian. Untuk selanjutnya, jika mesing penggilingan tersebut ingin disertifikasi halal, maka tidak diperkenankan lagi menangani babi. 

  1. Pelaku Usaha Memiliki Prosedur Pembersihan 

Mesin penggilingan daging harus dibersihkan secara menyeluruh sesuai petunjuk pabrik, dengan cara membongkar seluruh bagian alat kemudian mencucinya menggunakan air dan bahan pencuci yang bebas najis. Pembersihan dapat memenuhi persyaratan jika melalui proses yang benar dan bahan pencuci yang bebas najis.  

Proses pembersihan sesuai dengan kategori najisnya. Untuk persyaratan bahan pencuci wajib bebas najis sehingga dapat mensucikan peralatan. Pada beberapa kasus, jika pembersihan menggunakan air akan merusak mesin, maka pembersihan dapat dilakukan dengan menggunakan selain air selama bahan tersebut suci, dan bekas najis berupa bau, rasa dan warna telah hilang.  

Setelah dibersihkan, tidak boleh ada jejak bahan dari proses sebelumnya. Pelaku Usaha harus melakukan validasi pasca pembersihan berupa uji visual atau bahkan uji laboratorium jika untuk memastikan mesin benar-benar bebas dari kontaminasi. Jika menggunakan swab test, maka Pelaku Usaha harus memperhatikan metode yang digunakan dan sumber media bukan berasal dari dari babi. 

  1. Pelaku Usaha Mendokumentasikan Bukti Pembersihan 

Pelaku usaha harus mendokumentasikan pembersihan mesin dengan jelas, mencakup frekuensi pembersihan (misalnya, setelah setiap batch produksi), metode dan bahan pembersih yang digunakan, petugas yang bertanggung jawab. Seluruh proses pembersihan harus didokumentasikan sebagai bagian dari pemenuhan sistem Sistem Jaminan Produk Halal. 

Tantangan di Lapangan: Banyak yang Belum Siap 

Meskipun regulasi tentang kehalalan produk daging sudah cukup jelas, kenyataan di lapangan tidak semudah teori di atas kertas. Banyak pelaku usaha, terutama yang berada di sektor jasa penggilingan tradisional, belum sepenuhnya memahami, apalagi menerapkan prinsip-prinsip halal dalam operasional mereka. 

Fakta ini diperkuat oleh sebuah survei di Yogyakarta yang mengungkap bahwa beberapa jasa penggilingan daging bahkan tidak menolak saat diminta menggiling daging babi. Kondisi semacam ini tentu memprihatinkan dan menunjukkan adanya celah besar antara regulasi dan praktik. 

Salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya edukasi di kalangan pelaku usaha mikro dan kecil. Banyak dari mereka belum menyadari bahwa layanan penggilingan daging termasuk dalam kategori usaha yang wajib tersertifikasi halal. Mereka cenderung menganggap bahwa kehalalan adalah tanggung jawab pelanggan, bukan penyedia jasa.  

Selain itu, proses sertifikasi halal kerap dianggap rumit dan mahal. Biaya, waktu, dan birokrasi yang menyertainya membuat pelaku usaha kecil merasa keberatan, padahal sebenarnya ada banyak program subsidi dan pendampingan yang bisa dimanfaatkan. 

Tantangan lain datang dari aspek penelusuran bahan baku atau traceability. Dalam praktiknya, jasa penggilingan menerima daging dari berbagai konsumen dengan sumber yang tidak selalu dapat dipastikan kehalalannya. Karena tidak semua pelanggan membawa daging dari Rumah Potong Hewan (RPH) bersertifikat halal, pelaku usaha pun sulit memastikan kehalalan bahan baku yang mereka proses.  

Ditambah lagi, masalah teknis seperti penggunaan mesin yang tidak sesuai standar juga menjadi persoalan serius. Beberapa peralatan penggilingan masih menggunakan bahan besi cor yang tidak food grade, mudah menyerap lemak, dan sulit dibersihkan. Lebih parahnya lagi, satu mesin sering digunakan untuk menggiling berbagai jenis daging, termasuk yang haram, tanpa prosedur pencucian yang memadai, sehingga membuka risiko kontaminasi silang yang tinggi. 

Untuk menjawab beragam tantangan tersebut, dibutuhkan pendekatan yang komprehensif. Edukasi dan pendampingan menjadi langkah awal yang paling mendesak. Pemerintah, lembaga sertifikasi halal, serta akademisi perlu turun tangan memberikan pelatihan secara rutin dan berkelanjutan. Di sisi lain, sertifikasi halal untuk UMKM perlu didukung dengan skema pembiayaan yang terjangkau, seperti subsidi atau pendampingan teknis gratis, agar pelaku usaha tidak merasa terbebani.  

Prinsip halal dedicated harus diterapkan secara konsisten demi menghindari potensi kontaminasi silang. Pelaku usaha juga dituntut memiliki sistem yang memastikan proses pencucian fasilitas berlangsung secara memadai dan efektif dalam menghilangkan residu maupun kontaminan. Berdasarkan penelitian Sunjung Chung dan Rosalee S. Hellberg dalam jurnal Food Control (2023), kontaminasi silang pada produk daging giling dapat dicegah apabila mesin penggiling dibersihkan secara menyeluruh mengikuti prosedur yang sesuai. 

Proses pembersihan ini pun berbeda-beda, sesuai dengan jenis penggilingannya. Misalnya, pada blender dan food processor, pencucian dilakukan dengan cara membongkar komponen seperti pisau, lalu mencucinya menggunakan air bersih dan sabun yang bebas najis. Sementara itu, untuk mesin penggiling industri seperti meat grinder dan bowl cutter, proses pencucian memerlukan pembongkaran unit-unit utama, kemudian dibersihkan secara menyeluruh sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO, 2007) memberikan panduan teknis mengenai prosedur pencucian peralatan penggilingan daging, khususnya meat grinder dan bowl cutter, untuk memastikan kebersihan dan keamanan pangan. 

Pada kasus mesin penggiling yang berbahan besi cor, tentu dapat coba diganti dengan bahan stainless steel food grade jenis SS 304 yang lebih higienis, tidak mudah berkarat, dan lebih mudah dibersihkan. Dengan kombinasi langkah-langkah ini, jasa penggilingan daging diharapkan dapat lebih siap memenuhi standar halal yang dibutuhkan masyarakat muslim Indonesia. 

Apa yang terlihat sebagai ‘sekadar’ mesin penggiling, ternyata menyimpan tanggung jawab besar. Satu kesalahan prosedur bisa berdampak pada status halal seluruh produk. Kehalalan bukan cuma soal label yang melekat pada kemasan produk. Ia adalah hasil dari sebuah proses yang penuh kehati-hatian, tanggung jawab, dan integritas. Termasuk dalam urusan mesin penggiling daging. 

Dengan semangat kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, industri penggilingan daging halal di Indonesia tak hanya bisa tumbuh lebih sehat, tapi juga menjadi inspirasi bagi dunia. Karena pada akhirnya, makanan halal bukan sekadar permintaan pasar, tetapi bagian dari ibadah. 

Jika Anda tertarik untuk mengetahui apakah jasa penggilingan daging langganan Anda sudah bersertifikat halal, Anda bisa mengeceknya langsung di laman resmi BPJPH atau website resmi LPH LPPOM www.halalmui.org. Karena bagi kami, memastikan kehalalan bukan hanya hak—tapi juga tanggung jawab bersama. (***) 

Source : https://halalmui.org/jurnal-halal/173/  

Referensi 

Patriani P, Hafid H, Mirwandhono E, Wahyuni TH. 2020. Teknologi Pengolahan Daging. Medan:  CV. Anugrah Pangeran Jaya Press. 

Heinz G, Hautzinger P. 2007. Meat Processing Technology for Small-to-Medium Scale Producers. Bangkok: Food and Agriculture Organization of The United Nations Regional Office for Asia and The Pacific

BPJPH. 2023. Keputusan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Keputusan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Nomor 57 Tahun 2021 Tentang Kriteria Sistem Jaminan Produk Halal. 

Rachmawati MA. 2024. Teliti Sebelum Menggilingkan Daging. Yogyakarta: Balai Besar Veteriner Wates. 

Fauziyah NA, Nugraha RE, Yulistiani R, Masudah KW, Wardhani PC, Iqbal M, Cahyo MSK, Kritanti DA. 2022. Pengembangan Penggiling Daging dengan Bahan Stainless Steel Food Grade dalam Meningkatkan Daya Saing Produk Kaldu UMKM. Jurnal Pengabdian Masyarakat Berkemajuan. Vol 6 (3): 1266-1269. 

Pratiwi H, Hutabarat ZS. 2024. Penerapan Sistem Jaminan Halal Produksi Daging Giling. Jurnal Ekonomi Bisnis Digital. Vol 3 (1): 33-36. 

Dalam upaya memperkuat ekosistem halal, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) LPPOM meluncurkan proyek percontohan penggilingan daging di Makassar yang memiliki sertifikat BPJPH. Langkah ini merupakan bentuk nyata kepedulian LPH LPPOM untuk menjawab salah satu tantangan terbesar dalam rantai pasok halal di Indonesia, yaitu pada tahap awal produksi, terutama di layanan penggilingan daging. Hal ini akan memudahkan sertifikasi produk turunan daging, seperti bakso, agar terjadi lebih cepat dan mudah. 

Rantai pasok halal di Indonesia masih menghadapi berbagai tantanga .Salah satunya, potensi kontaminasi bahan non-halal dalam proses pengolahan awal. Jasa penggilingan daging menjadi salah satu titik kritis dalam sistem produksi pangan halal. Banyak fasilitas penggilingan yang tidak memisahkan alat atau area untuk produk halal dan non-halal, sehingga menimbulkan risiko tercampurnya bahan haram atau najis. 

Proses penggilingan daging sering kali belum memenuhi standar kehalalan yang ketat. Tak jarang terjadi kontaminasi silang antara bahan halal dan non-halal akibat penggunaan alat yang sama atau bumbu tambahan yang belum tentu halal. Situasi ini berisiko mencemari kehalalan produk meskipun menggunakan daging yang sudah sesuai syariat Islam. 

Untuk menjawab tantangan tersebut, LPH LPPOM menginisiasi proyek percontohan fasilitas penggilingan daging halal. Proyek ini bertujuan menjadi model standar layanan penggilingan yang sesuai dengan prinsip Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH), mulai dari kebersihan alat, pemisahan waktu dan ruang, hingga pelatihan operator. 

Kota Bogor dan Makassar dipilih sebagai lokasi percontohan karena keduanya merupakan pusat aktivitas industri pangan dan memiliki kebutuhan tinggi terhadap layanan penggilingan daging. Fasilitas yang dibangun atau dibina dalam proyek ini akan menjadi acuan nasional dalam pengelolaan penggilingan halal yang profesional dan terjamin.  

Melalui proyek ini, LPH LPPOM menghadirkan solusi dengan menghadirkan sistem penggilingan yang bersih, aman, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Tujuannya jelas, yaitu memastikan kehalalan produk sejak dari hulu proses produksi. 

Sektor penggilingan daging menjadi fokus utama LPH LPPOM, karena dinilai menjadi salah satu risiko percampuran paling besar terjadi. Direktur Utama LPH LPPOM, Muti Arintawati, menjelaskan hal ini saat peresmian “Penggilingan Daging dan Frozen Food Lanose” yang digelar LPH LPPOM Provinsi Sulawesi Selatan di Makassar beberapa waktu lalu. 

“Kami memilih penggilingan daging karena potensi terjadinya pencampuran antara daging halal dan haram sangat tinggi. Begitu juga dengan penggunaan bumbu tambahan yang kehalalannya belum jelas. Banyak pelanggan seperti pedagang bakso atau rumah makan yang membawa sendiri daging dan bumbu dari luar. Mayoritas dari mereka adalah pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK),” ungkap Muti.  

Proyek percontohan ini diharapkan menjadi model yang bisa dilakukan di berbagai daerah lain, sekaligus mendukung pelaku UMK untuk lebih mudah mengakses layanan pengolahan daging yang sudah pasti bersertifikat halal dan menjamin kehalalannya. 

Proyek percontohan ini diharapkan menjadi model yang bisa ditiru di berbagai daerah di Indonesia. Kehadirannya tidak hanya menjadi solusi bagi masalah kehalalan di tahap awal produksi, tetapi juga menjadi angin segar bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Melalui fasilitas ini, para pelaku usaha kini memiliki akses yang lebih mudah terhadap layanan pengolahan daging halal sehingga dapat mempermudah pelaku UMK dalam mendapatkan sertifikat halal. 

Sementara itu, Direktur LPH LPPOM Provinsi Sulawesi Selatan, Raudhatul Jannah Syarief, menyampaikan rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi, terutama LPH LPPOM dalam pendirian penggilingan daging halal Lanose.  

“Penggilingan ini menjadi tonggak penting dalam menyediakan layanan daging halal yang terjamin kualitasnya. Ini adalah bentuk nyata kontribusi LPH LPPOM bagi masyarakat. Kami berharap, ke depannya Lanose dapat memberikan dampak besar dalam pemenuhan kebutuhan daging halal, khususnya bagi masyarakat Makassar dan Sulawesi Selatan,” ujar Raudhatul. 

Sebagaimana diketahui, Makassar dikenal sebagai kota kuliner dengan beragam olahan berbahan dasar daging. Menanggapi hal ini, pihaknya menyatakan bahwa kehadiran penggilingan daging halal Lanose akan membuka peluang pasar yang lebih luas, sekaligus menjawab kebutuhan akan layanan pengolahan daging yang terjamin kehalalannya.  

Langkah LPH LPPOM dalam memperkuat fokus dari sisi hulu sejalan dengan visi Indonesia untuk menjadi pusat industri halal dunia. Dengan memperkuat titik-titik kritis dalam rantai pasok termasuk jasa penggilingan, Indonesia semakin siap bersaing dalam pasar produk halal global.  

Selain meluncrkan pilot project penggilingan daging halal di Bogor dan Makassar, LPH LPPOM juga memberikan fasilitasi sertifikasi halal kepada 103 jasa penggilingan daging yang tersebar di 19 provinsi. Hal ini merupakan rangkaian dari kegiatan Festival Syawal, yang secara konsisten dilakukan setiap tahun. (ZUL) 

Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang mewajibkan sertifikasi halal bagi seluruh produk dan jasa yang beredar di Indonesia. Bakso, yang selama ini menjadi konsumsi hampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk dalam kategori makanan dan minuman yang wajib sertifikasi. 

Selain daging sebagai bahan baku yang harus dipastikan kehalalannya, penggilingan daging bakso menjadi salah satu titik krusial yang kerap menjadi batu sandungan bagi pedagang bakso di Indonesia yang ingin mendapatkan sertifikat halal. Sebab hingga saat ini belum ada penggilingan khusus untuk menggiling daging dan bahan-bahan halal. 

Tidak berlebihan jika persentase sertifikasi halal pedagang bakso baru sekitar 1,5 persen. Padahal, 70 persen daging sapi di pasaran diserap oleh pedagang bakso. Dari sekian penggilingan daging yang tersebar di Indonesia, satu pun belum memiliki sertifikasi halal,” ungkap Ketua Umum Asosiasi Pedagang Mie dan Bakso (APMISO), Lasiman.  

Oleh karena itu, Lasiman menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas implementasi regulasi tersebut. Untuk menggali informasi lebih jauh tentang sikap APMISO terhadap ketentuan wajib halal tersebut, berikut keterangan Ketua APMISO, Lasiman yang dihimpun oleh reporter Jurnal Halal, Saeful melalui wawancara langsung dan keterangan lain dari Lasiman. Berikut ringkasan kutipannya:  

Pemerintah telah menetapkan bahwa produk yang beredar di Indonesia harus bersertifikat halal, termasuk penggilingan bakso. Sebagai Ketua Umum APMISO bagaimana tanggapan Anda tentang hal ini?  

Kami ingin menyampaikan terkait sertifikasi halal khususnya penggilingan daging. Bakso itu unik, menyenangkan dan menyeramkan. Unik, kita harus melihat ke belakang bakso itu ada sejak kapan?  

Saya mengikuti jejak ayah saya berjalan bakso sejak tahun 1980. Saat itu belum ada mesin, hanya telenan besi utnuk melunakan daging sebelum dicampurkan dengan pati kanji, diadon menjadi bakso. Jadi belum ada halal haram waktu itu. Baru pada tahun 1990 ada mesin giling daging. Pabrik mesin giling itu milik pengurus APMISO di Wonogiri. Kami menyediakan mesin giling kepada teman-teman pedagang bakso.  

Terkait dengan sertifikasi halal, pada dasarnya kami mendukung setiap kebijakan pemerintah, termasuk sertifikasi halal. Namun, aturan main di sertifikasi halal itu harus jelas, apakah unit proses penggilingannya atau mesin gilingnya? Yang seharusnya bersertifikasi halal itu jasa penggilingannya karena berhubungan dengan proses pembuatan bakso.  

Mungkin agar dalam proses penggilingan dagingnya tidak tercampur dengan daging yang haram, sehingga harus ada mesin giling khusus yang halal… 

Menurut saya, segala sesuatu itu harus tertulis. Harus ada di dalam peraturan-peraturan, karena hal ini menyangkut banyak orang.  Selama ini yang namanya bakso, kecuali bakso pabrikan belum ada yang halal. Sebagai pedagang, sejak sertifikasi halal dikelola oleh Mejelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menginginkan agar dapat sertifikasi halal. Namun, banyak tantangan yang dihadapi.  

Apa saja tantangannya?  

Belum tersedianya penggilingan di pasar-pasar. Padahal hal ini sangat dibutuhkan oleh pedagang bakso di Indonesia, khususnya yang termasuk dalam sektor usaha mikro dan kecil. Kenyataanya, hampir 90% pedagang bakso seluruh Indonesia itu menggiling daging bakso ya di pasar. Hal ini salah satunya karena ada risiko cemaran daging yang non-halal, seperti celeng, yang diduga berpotensi turut digiling di penggilingan daging yang berada di pasar. 

Padahal, itu sebenarnya tidak ada, hanya isu-isu saja. Celeng itu hanya untuk makanan singa, buaya, harimau. Tapi kalau untuk makan manusia tidak ada. Memang bangsa Indonesia itu kan majemuk, ada yang masih makan daging celeng atau daging lain yang diangap boleh. Tapi di daerah-daerah tertentu, untuk produk-produk bakso itu hampir tidak ada yang menggunakan daging celeng. 

Adakah tantangan lainnya?  

Mesin penggilingan daging itu mahal, bisa mencapai sekitar 60 juta rupiah. Jika Pedagang bakso skala mikro dna kecil harus beli mesin penggiling sendiri, tentu ini akan sangat memberatkan. Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan kondisi penggilingan di pasar-pasar, banyak yang sudah terlalu tua sehingga perlu adanya peremajaan mesin.  Apakah itu dalam dengan bentuk bantuan atau pinjaman? Dari sini, kita bisa menemukan solusi. Bisnisnya masuk, halalnya juga masuk. 

Jadi, bagaimana sikap APMISO mengenai program sertifikasi halal?  

Jadi saya menginginkan sertifikasi halal ini ditangani dengan baik, pemerintah harus turun tangan. Kemudian perlu diketahui bahwa bakso itu ada tiga kategori, yaitu pedagang bakso kelas restoran, kelompok pedagang kaki lima, dan yang paling bawah adalah pedagang bakso dorong atau keliling. Kalau yang besar-besar kelas restoran, dengan program sertifikasi halal reguler itu saya yakin tidak masalah, mereka mampu membayar.  

Tapi yang pedagang kali lima ini harus diperhitungkan, apakah mampu? Saya yakin tidak mampu untuk biaya seperti ini. Jangankan untuk mengeluarkan biaya sertifikasi halal, untuk dapat untung 100 ribu rupiah sehari saja sudah sulit.  

Jadi, apa langkah APMISO mengenai wajib sertifikasi halal ini?  

Pertama, mari kita dukung program pemerintah, terutama bahwa produk-produk makanan di seluruh Indonesia harus bersertifikat halal. Kita harus dukung, karena masyarakat Indonesia itu 80% itu beragama Islam yang tentunya mengutamakan prinsip halal untuk setiap makanan yang dikonsumsi. Ini harus kita dukung. Namun, dukungan dari pedagang ini tentunya harus dilaksanakan dengan tidak memberatkan.  

Kedua, kami memberikan edukasi kepada para pedagang bahwa harus mencari solusi. Misalnya, bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang punya program pemberdayaan dan tanggung jawab sosial, Corporate Social Responsibility (CSR). Kami dibantu oleh Pegadaian tidak hanya mesin gilingnya, tetapi juga sertifikasi halalnya. Jadi mesin giling yang diberikan dari Pegadian itu menurut saya jumlahnya cukup banyak. Itu ada puluhan mesin giling yang kami berikan kepada masing-masing provinsi. Kami berharap perusahan-perusahaan lain juga menyisihkan dananya untuk memberikan solusi penggilingan daging yang halal.  

Ketiga, kami minta bantuan supaya para pedagang bakso keliling bisa mengurus sertifikasi halal tanpa biaya.  

Bukankah program bantuan sertifikasi halal untuk pedagang bakso sudah pernah dilakukan?  

Sudah, misalnya di Yogyakarta, waktu itu didampingi oleh UIN Yogyakarta. Ada 60 pedagang yang dibantu sertifikasi halalnya. Di Jakarta dibantu oleh Bank Syariah Indonesia (BSI) untuk sekitar 40 pedagang. APMISO juga sudah melakukan pendekatan dengan perusahaan BUMN. Di Semarang kami dibantu oleh Bank Indonesia.  

Oleh karena itu, untuk sertifikasi halal kami ingin memperoleh informasi sejelas jelasnya. Kalau memang ada biaya tidak masalah. Kebetulan kami akan bekerja sama dengan BSI, secara nasional. Kami sudah beberapa kali mengadakan pertemuan dengan LPPOM, baik di DKI maupun daerah lain untuk berdiskusi.  

Terakhir, apa harapan APMISO tentang program sertifikasi halal ini?  

Saya mohon kepada semua pihak agar sertifikasi halal ini dilakukan tanpa memberatkan anggota pedagang bakso. APMISO sudah membentuk kelompok-kelompok supaya penggilingan daging itu dilakukan secara berkelompok. Andaikata di pasar, kelompok APMISO ini yang menangani, sehingga bisa mendeteksi sumber dagingnya. Kelompok ini harus diawasi, kalau tidak diawasi dengan kelompok-kelompok lewat asosiasi rasanya sulit. Kehadiran APMISO akan membantu program percepatan sertifikasi halal. Selain itu, perlu ada edukasi menyeluruh. Kemudian penanganannya juga betul-betul difokuskan.  

Saya mengharapkan pedagang bakso yang jumlahnya ratusan ribu, bahkan bisa mencapai jutaan orang, harus menjadi perhatian semua pihak. Kalau pedagangnya saja sangat banyak, berarti konsumennya juga sangat banyak. Pemikiran masyarakat tertentu yang meragukan kehalalan bakso, ini bisa menjadi polemik, dan seharusnya bisa dihindari. (***)  

Source : https://halalmui.org/jurnal-halal/173/  

Daging giling merupakan salah satu bahan makanan yang sangat populer dan serbaguna dalam dunia kuliner. Banyak produk olahan yang menggunakan daging giling sebagai bahan utama. Apa saja? Bagaimana mencermati kehalalannya?

Teksturnya yang mudah dibentuk dan cepat matang menjadikan daging giling bisa digunakan sebagai bahan pembuatan aneka makanan. Ketersediaannya yang mudah didapatkan di pasaran juga menjadi salah satu alasan daging giling laris menjadi bahan olahan makanan.  

Pertanyaannya, sudahkah kita memastikan bahwa semua olahan berbahan dasar daging giling yang kita konsumsi halal? Bagi konsumen Muslim, kehalalan produk makanan yang dikonsumsi adalah hal yang tidak bisa ditawar. Daging giling, meskipun tampak sederhana, menyimpan potensi risiko tinggi terhadap ketidaksesuaian dengan hukum syariat Islam. Hal ini disebabkan oleh banyaknya tahapan dalam proses pengolahan yang memungkinkan terjadinya kontaminasi dengan bahan haram atau najis, baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami beberapa titik kritis kehalalan dalam rantai produksi daging giling. Dengan mengetahui titik kritis kehalalan halal yang efektif,  konsumen dapat lebih bijak dalam memilih produk. Kesadaran dan kehati-hatian dalam hal ini akan menjamin bahwa makanan yang dikonsumsi tidak hanya sehat dan aman, tetapi juga sesuai dengan ajaran Islam. 

Dalam bentuknya yang sudah tak lagi utuh, daging giling menyimpan potensi besar untuk bercampur dengan bahan haram dan najis baik secara sengaja maupun tanpa disadari. Sebagai seorang Muslim, kehati-hatian bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Memastikan kehalalan bukan hanya sekadar persoalan label, tetapi juga pemahaman terhadap proses panjang yang dilalui daging tersebut sebelum sampai ke tangan konsumen. 

Berbagai makanan dari daging giling 

Seperti diketahui, saat ini daging giling bisa dioleh menjadi berbagai makanan yang lezat. Misalnya sebagai bahan pembuatan nugget daging, yakni berupa olahan daging yang dicincang dan dicampur dengan bahan lain, seperti tepung roti, rempah-rempah, dan bumbu-bumbu lainnya. Campuran ini kemudian dibentuk menjadi potongan-potongan kecil dan digoreng atau dipanggang. 

Daging giling juga bisa dipakai untuk campuran sosis, yaitu daging yang dihaluskan dengan lemak, garam, dan bumbu lainnya. Berhati-hatilah, karena sosis bisa dibuat dari berbagai jenis daging, seperti ayam, sapi, atau babi. 

Kecermatan konsumen juga diperlukan ketika mengonsumsi bakso, makanan yang terbuat dari daging yang dicincang halus dan dicampur dengan tepung tapioka atau bahan pengikat lainnya. Ada pula Patty Burger, daging giling yang dibentuk menjadi patty dan kemudian dibekukan atau dipanggang. Patty ini biasanya digunakan sebagai isi burger. 

Walau terbuat dari daging hewan yang halal dikonsumsi, tetapi terdapat peluang daging giling berubah menjadi haram. Untuk menghindari adanya kekeliruan dalam mengkonsumsi makanan olahan berbahan daging giling, Auditor Halal Senior LPH LPPOM, Dr. Ir. H. Joko Hermanianto, M.Sc., membagikan lima aspek yang menjadi titik kritis kehalalan sebuah makanan yang berasal dari daging giling. 

1. Daging 

Titik kritis pertama adalah jenis hewan dan cara penyembelihannya. Daging yang digunakan harus berasal dari hewan yang halal seperti sapi, kambing dan ayam, serta harus disembelih sesuai syariat Islam. 

2. Tempat Penyembelihan 

Proses penyembelihan hewan harus dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH) yang bersertifikat halal. Di RPH non-halal, meskipun hewannya halal, potensi tercemar silang (cross contamination) dengan bahan haram sangat tinggi, terutama jika digunakan untuk memotong hewan haram seperti babi. 

3. Penggilingan dan Peralatan 

Setelah proses penyembelihan, daging digiling menggunakan mesin. Di sinilah titik kritis yang sangat penting muncul. “Apakah alat tersebut milik sendiri atau jasa penggilingan. Jika milik jasa penggilingan harus dipastikan mesin giling yang digunakan tidak dipakai untuk menggiling daging babi atau non-halal lainnya (halal dedicated). Jika mesin tidak halal dedicated harus dibersihkan sesuai standar thaharah (penyucian) apabila sebelumnya digunakan untuk bahan haram. Mesin yang tercemar oleh sisa-sisa daging babi atau bahan haram lain bisa membuat produk akhir menjadi tidak halal,” jelas Joko. 

4. Bahan Tambahan (Additive) 

Dalam proses pembuatan produk olahan berbasis daging giling, sering ditambahkan bahan-bahan seperti, pengikat (binder) yang berfungsi mengikat daging giling saat dimasak atau diolah, sehingga menghasilkan produk yang lebih menyatu dan tidak hancur seperti gelatin dan lemak yang bisa berasal dari babi. Adapun bahan penambah rasa (flavouring) dan penyedap rasa, bisa berasal dari hewan, tumbuhan, atau sintetik. Titik kritis muncul jika bahan tersebut tidak jelas asal-usulnya, seperti dari bahan najis dan haram atau tidak bersertifikat halal. 

5. Penyimpanan dan Distribusi 

Daging giling yang halal bisa menjadi haram jika disimpan bersama atau berdekatan dengan bahan haram dan Najis, seperti penyimpanan dalam lemari pendingin bersama daging babi, penggunaan alat atau wadah bekas bahan haram tanpa pencucian sesuai syariat, dan distribusi dengan kendaraan atau kontainer bekas produk haram. Proses ini harus diawasi ketat agar tidak terjadi kontaminasi silang. 

Daging giling sebagai bahan makanan memiliki banyak titik kritis kehalalan yang harus diperhatikan. Mulai dari sumber hewan, proses penyembelihan, penggilingan, bahan tambahan, hingga distribusi, semuanya harus memenuhi standar Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH).  

Oleh karena itu, bagi konsumen Muslim, penting untuk selalu memilih produk yang bersertifikat halal dan berasal dari produsen yang terpercaya. Pengawasan dan kesadaran ini menjadi kunci untuk menjaga sesuatu yang dikonsumsi sesuai dengan syariat Islam. (ZUL) 

Source : https://halalmui.org/jurnal-halal/173/  

Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) LPPOM menegaskan bahwa dokumen sertifikat halal atas nama PT Cahaya Barokah Mandiri Grup, beralamat di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, dengan nomor SH 03340054160723, yang beredar dan mengatasnamakan LPPOM DKI Jakarta, adalah palsu dan tidak sah

Sertifikat tersebut diketahui digunakan oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk keperluan tender, dengan mencantumkan nama pelaku usaha yang seolah-olah telah bersertifikat halal resmi. Berdasarkan hasil verifikasi internal LPPOM, ditemukan beberapa kejanggalan yang menegaskan bahwa dokumen tersebut bukan produk resmi LPPOM maupun BPJPH, antara lain: 

  1. Nomor sertifikat halal 03340054160723 dan data pelaku usaha PT Cahaya Barokah Mandiri Grup tidak tercatat dalam sistem resmi LPH LPPOM maupun BPJPH.  
  1. Tanggal penerbitan sertifikat tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, sertifikat halal resmi hanya diterbitkan oleh BPJPH dan hasil pemeriksaannya dilakukan oleh LPH yang terakreditasi, termasuk LPH LPPOM. 

Dengan penjelasan ini, kami menghimbau kepada seluruh pihak untuk lebih berhati-hati dan tidak terjebak pada praktik ilegal yang dapat merugikan masyarakat dan mencemari integritas sertifikasi halal di Indonesia.  

Jika membutuhkan informasi lebih lanjut dan menemukan adanya penyalahgunan atau kecurangan, masyarakat bisa melaporkan ke BPJPH melalui website https://bpjph.halal.go.id/ atau juga bisa menghubungi LPPOM pada saluran website: www.halalmui.org, Call Center halo LPPOM 14056, email: [email protected], dan WhatsApp 08111148696. (***) 

Apa jadinya jika kita menjalani agama hanya sebatas formalitas, tanpa loyalitas dan tanpa kualitas dalam beribadah? Ustadz Farhat Umar dalam tausiyahnya mengajak kita untuk naik kelas—dari sekadar menjadi muslim biasa menuju derajat yang lebih tinggi: mukmin dan muhsin. 

Di tengah derasnya arus kehidupan modern, umat Islam dituntut untuk tidak hanya menjadi muslim secara formal, tetapi juga tampil sebagai hamba Allah yang loyal dan berkualitas. Ustadz Farhat Umar, yang merupakan pengisi rutin kajian DKM Halalan Thayyiban LPPOM, dalam satu tausiyahnya mengangkat tema penting ini, merujuk pada hadis Jibril yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Sebuah hadis monumental yang merangkum tiga pilar utama dalam Islam, yakni Islam, iman, dan ihsan. 

Dalam hadis itu, Malaikat Jibril menyamar sebagai seorang lelaki dan mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah saw. tentang Islam, iman, dan ihsan. Jawaban Nabi pun kemudian menjadi fondasi ajaran Islam, yaitu rukun Islam, rukun iman, dan konsep ihsan. Ustadz Farhat menjelaskan, “Dinul Islam mencakup tiga hal yaitu Islam, iman, dan ihsan. Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman lebih tinggi dari Islam.” 

Penjelasan ini ditegaskan melalui firman Allah dalam Surah Al-Hujurat ayat 14, yang membedakan antara keislaman dan keimanan. Allah menyatakan bahwa orang-orang Arab Badui hanya mengaku beriman, padahal iman belum masuk ke dalam hati mereka. Artinya, seseorang bisa saja mengaku muslim namun belum tentu imannya sah di sisi Allah. 

“Tidaklah keislaman dianggap sah kecuali jika terdapat padanya iman. Dan tidaklah kebaikan iman dianggap sempurna kecuali terdapat padanya ihsan,” kata Ustadz Farhat mengutip penjelasan para ulama seperti Imam Ibnu Taimiyah. Ihsan di sini berarti mempersembahkan amal-amal yang berkualitas, bukan sekadar rutinitas ibadah biasa. Allah menekankan pentingnya kualitas dalam amal ibadah. 

Dalam Surah Ali Imran ayat 92, Allah menegaskan bahwa seseorang tidak akan mencapai kebajikan yang sempurna hingga ia menafkahkan harta yang dicintainya. “Kalau kamu hanya berbagi harta ala kadarnya maka kebajikanmu tidak sempurna,” terang Ustadz Farhat. Amal berkualitas ditandai oleh pengorbanan terhadap hal-hal yang dicintai demi keridhaan Allah. 

Untuk memudahkan pemahaman, beliau memberikan analogi dengan dunia kerja. Dalam satu perusahaan, ada tiga tipe pekerja: (1) pekerja yang sekadar bekerja tanpa loyalitas, (2) pekerja yang loyal namun performa kerjanya biasa saja, dan (3) pekerja yang loyal dan senantiasa menjaga kualitas kerjanya. Dalam konteks agama, pekerja tipe pertama adalah muslim biasa, tipe kedua adalah mukmin, dan tipe ketiga adalah muhsin—derajat tertinggi dalam Islam. 

Dari gambaran ini, terlihat bahwa tidak setiap muslim adalah mukmin, dan tidak setiap mukmin mencapai derajat muhsin. Orang yang sampai pada tingkatan muhsin adalah orang yang loyal total kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempersembahkan amal terbaiknya, sebagaimana disebut dalam firman-Nya: “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-A’raf: 56) 

Ustadz Farhat juga menyinggung peristiwa menarik ketika seorang orientalis bertanya kepada seorang ulama Mesir, Syekh Sa’rawi, tentang mengapa umat Islam bisa kalah oleh orang-orang kafir padahal Allah berfirman dalam Surah An-Nisa: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” Jawab sang Syekh, “Karena mayoritas kami masih muslimin, belum mukminin.” Perbedaan antara mukmin dan muslim terletak pada totalitas keimanan dan loyalitas. 

Loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya adalah syarat mutlak bagi seorang hamba yang beriman. Dalam Surah Al-Ahzab ayat 36, Allah menyatakan bahwa tidak layak bagi seorang mukmin memilih pendapat lain jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan. Itulah bentuk loyalitas yang kaffah (total), bukan loyalitas setengah hati. 

Lebih jauh, loyalitas juga ditunjukkan dengan keberpihakan (wala’) kepada sesama mukmin. Allah melarang mengambil orang-orang kafir sebagai wali (teman dekat dan penolong) dengan meninggalkan kaum beriman (QS. An-Nisa: 144). “Orang munafik adalah mereka yang tampak muslim namun tidak memiliki loyalitas terhadap Islam,” tegas Ustadz Farhat. 

Di bagian akhir ceramahnya, beliau mengajak para pendengar untuk mengejar derajat muhsin melalui amal-amal yang berkualitas. Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika tidak, yakinlah bahwa Dia melihatmu.” Ibadah yang dilakukan dengan kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi akan mendorong kita untuk mempersembahkan yang terbaik. 

“Allah tidak menggunakan istilah ‘yang terbanyak amalnya’, tetapi ‘yang terbaik amalnya’ (ahsanu ‘amala),” terang Ustadz Farhat mengutip Surah Al-Mulk dan Al-Kahfi. Ini menjadi indikator bahwa yang dicari oleh Allah bukan kuantitas semata, tapi kualitas dari amal yang kita persembahkan. 

Maka, wahai sahabat sekalian, marilah kita menapaki tangga spiritual Islam ini dengan kesungguhan hati: dari muslim menjadi mukmin, dan dari mukmin menjadi muhsin. Menjadi hamba yang loyal kepada Allah dan Rasul-Nya, serta berkualitas dalam setiap amal perbuatan. Sebab hanya dengan loyalitas dan kualitas itulah kita layak menerima rahmat, pertolongan, dan cinta dari Allah SWT. (YN) 

Oleh Prof. Khaswar Syamsu, PhD 
Kepala Pusat Sains Halal IPB 

Rumah Potong Hewan (RPH) baik untuk ruminansia (RPH-R) maupun untuk unggas (RPH-U), merupakan mata rantai pertama dalam rantai pasok halal untuk produk daging dan turunan daging. Apa kendala yang dihadapi dan bagaimana solusinya?  

Tenggat waktu kewajiban sertifikasi halal untuk makanan, minuman, bahan makanan minuman serta jasa terkait makan minuman seperti restoran, logistik (penggudangan dan transportasi) serta hasil sembelihan dan jasa penyembelihan (Rumah Pemotongan Hewan) semakin mendekat.  

Apabila sampai tanggal 17 Oktober 2024, pelaku usaha jasa penyembelihan (RPH), pelaku usaha makanan dan minuman, serta pelaku usaha bahan untuk makanan dan minuman tidak memiliki sertifikat halal maka tentunya akan ada sanksi mulai dari teguran sampai kepada pencabutan izin operasional. Tenggat waktu ini sesungguhnya sudah tertunda karena menurut UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, kewajiban sertifikasi halal ini semestinya sudah dilakukan sejak tahun 2019, yaitu 5 tahun sejak regulasi ini diundangkan. 

Rumah Potong Hewan (RPH), baik untuk ruminansia (RPH-R) maupun untuk unggas (RPH-U), merupakan mata rantai pertama dalam rantai pasok halal untuk produk daging dan turunan daging. Ketika daging dari RPH tidak halal maka produk daging dan turunan daging di industri hilir juga menjadi tidak halal. Oleh karena itu, sertifikasi halal RPH akan memudahkan dan memecahkan sebagian besar masalah sertifikasi halal produk daging dan turunan daging di industri hilir, termasuk produk produk usaha mikro kecil dan menengah yang menggunakan bahan daging atau produk turunan dari daging. 

Berdasarkan data dari KNEKS (2024), dari 566 RPH Ruminansia se-Indonesia, baru 144 RPH Ruminansia (25%) yang telah memiliki NKV (Nomor Kontrol Veteriner), dan baru 72 RPH Ruminansia (13%) yang telah memiliki NKV sekaligus sertifikat halal. Data terbaru dari BPJPH yang diakses 17 Juni 2024 dari website bpjph.halal.go.id, baru sebanyak 36 RPH yang telah mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH, sedangkan data dari LPPOM yang diakses pada tanggal yang sama, baru 19 Jasa Penyembelihan (RPH) yang telah mendapatkan sertifikat halal yang diperiksa oleh LPH LPPOM.   

Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian (2024), jumlah RPH Ruminansia besar dan Kambing/Domba ada sebanyak 587 RPH. Sebanyak 149 RPH (25%) telah memiliki NKV dan sebanyak 130 RPH (22%) telah memiliki sertifikat halal. Data yang berbeda beda dari instansi yang berbeda ini perlu disinkronkan agar didapatkan data yang akurat yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Persentase yang lebih besar diperoleh pada RPH Unggas. Dari 314 RPH Unggas se-Indonesia, sebanyak 213 RPH Unggas (68%) telah memiliki NKV dan 180 RPH Unggas (57%) yang telah memiliki NKV sekaligus sertifikat halal. Angka yang hampir sama juga dirilis oleh Kementerian Pertanian. Persentase RPH Ruminansia dan RPH Unggas yang telah memiliki sertifikat halal masih jauh dari anggka 100 persen sebelum tenggat waktu 17 Oktober 2024.  

Persentase ini akan jauh lebih kecil lagi apabila Tempat Pemotongan Hewan/Unggas (TPH/TPU) tidak resmi yang berada di kampung kampung atau di pasar pasar tradisional yang tentu saja tidak memiliki NKV dan Sertifikat Halal ikut diperhitungkan. Sebagian besar TPH/TPU di daerah pemukiman atau pasar tradisional tidak atau belum memenuhi standar halal, higienis dan sanitasi.  

Dalam jangka panjang, TPH/TPU yang ada perlu bertransformasi menjadi tempat pemotongan resmi, yaitu berupa RPH yang memenuhi standar halal, higienis dan sanitasi. Oleh karena itu, strategi dan upaya yang serius diperlukan untuk percepatan sertifikasi halal RPH dengan menganalisis kendala yang ditemukan serta solusi untuk mengatasi kendala tersebut. 

Penyebab pertama kenapa masih rendahnya jumlah RPH yang bersertifikat halal adalah masih kurangnya pemahaman tentang standar halal serta regulasi dan prosedur sertifikasi halal. Banyak pelaku usaha daging yang belum memahami secara mendalam tentang standar halal, sehingga mereka kesulitan untuk memenuhi persyaratan sertifikasi halal. Edukasi dan sosialisasi regulasi dan prosedur sertifikasi halal RPH perlu dilakukan secara masif oleh BPJPH, Lembaga Pemeriksa Halal, dan Pusat Pusat Sains Halal di Perguruan Tinggi.  

Sertifikasi halal RPH tidak hanya harus memenuhi kaidah halal tetapi juga thayyib. Pemenuhan aspek thayyib dapat diwakili dari kepemilikan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) yang telah mempertimbangkan aspek keamanan pangan dan higien, sanitasi dan kesehatan masyarakat, serta kesehatan dan kesejahteraan hewan.  

Untuk RPH Ruminansia, baru sekitar 25% RPH-R yang sudah memiliki NKV, dan baru sekitar 13% RPH-R yang telah sekaligus memiliki NKV dan Sertifikat Halal. Sedangkan untuk RPH Unggas, baru sekitar 68% RPH-U yang telah memiliki NKV dan baru 57% RPH-U yang telah memiliki NKV sekaligus sertifikat halal. Karena sertifikasi halal RPH harus memenuhi aspek halal dan thayyib, maka prioritas untuk pengurusan sertifikat halal perlu diutamakan kepada RPH yang sudah memiliki NKV untuk selanjutnya disertifikasi halal sehingga dapat meningkatkan jumlah RPH yang tersertifikasi halal dalam waktu singkat. 

Penyebab utama RPH yang sudah memiliki NKV tapi belum memenuhi persyaratan untuk sertifikasi halal adalah karena belum adanya Juru Sembelih Halal (Juleha) dan Penyelia Halal yang lulus pelatihan dan uji kompetensi yang dipersyaratkan dalam proses sertfikasi halal. Oleh karena itu, percepatan sertifikasi halal RPH perlu diprioritaskan pada RPH yang telah memiliki NKV melalui peningkatan jumlah Juru Sembelih Halal dan Penyelia Halal bersertifikat kompetensi.   

Pelatihan Juru Sembelih Halal dan Penyelia Halal RPH dapat dilakukan Lembaga Pelatihan atau Pusat Sains Halal di Perguruan Tinggi yang diakui oleh BPJPH; serta uji kompetensi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) mewakili Badan Nasional Sertifkasi Profesi yang telah diakui. Pelatihan dan uji kompetensi juru sembelih halal dan penyelia halal tentu saja memerlukan biaya pelatihan dan biaya uji kompetensi.  

Selain itu, dana untuk perbaikan fasilitas RPH juga diperlukan agar memenuhi syarat untuk mendapatkan NKV. Oleh karena itu, dukungan alokasi anggaran diperlukan, baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk mendukung sertifikasi halal RPH melalui peningkatan jumlah juru sembelih halal dan penyelia halal yang kompeten serta perbaikan infrastruktur di RPH agar memenuhi standar halal, higienis dan sanitasi. Keterlibatan lembaga keuangan syariah dalam mendukung ekosistem RPH Halal dan penguatan rantai nilai halal juga perlu didorong. 

Komitmen sebagian besar Kepala Daerah untuk revitalisasi dan sertifikasi halal RPH dirasa masih kurang karena rendahnya biaya retribusi dari RPH untuk Pemerintah Daerah. Bahkan penghasilan RPH sendiri umumnya tidak mampu menutupi biaya operasional dan keberlanjutan RPH. Karena itu, Pemerintah Daerah perlu menjadikan RPH sebagai suatu Unit Usaha atau BUMD yang profesional agar bisa swadaya membiayai biaya operasional dan keberlanjutan RPH.  

Untuk tahap awal menuju RPH yang memenuhi syarat untuk mendapatkan NKV dan Sertifikat Halal, diperlukan dana awal baik dari Pemeritah (Pusat atau Daerah) maupun dukungan dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dari lembaga keuangan syariah, perusahaan swasta atau lembaga lain yang relevan. Wallahualam. (***) 

Artikel ini tercantum dalam Jurnal Halal LPPOM Edisi 168, dapat diakses pada link https://halalmui.org/jurnal-halal/168/

Penanganan hewan kurban menjadi satu hal yang perlu diperhatikan dalam keseluruhan proses kurban, utamanya untuk menghindari hewan kurban mengalami stres. Hewan yang stress bisa menghasilkan daging berkualitas buruk. Apa saja yang harus disiapkan agar hewan tidak mudah stress? 

Bulan Dzulhijjah telah datang. Pada bulan ini, terdapat satu ibadah istimewa yang hanya dilakukan sekali dalam setahun, yaitu ibadah kurban. Ibadah ini tepatnya jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah. Perintah berkurban berlaku bagi umat muslim yang mampu memiliki kelebihan rezeki dan membagikan dagingnya untuk kaum miskin dan dhuafa yang membutuhkan. 

Tentunya, ibadah yang baik ini perlu dibarengi dengan cara yang baik juga menurut Islam. Salah satunya yang sering kali menjadi sorotan adalah proses penyembelihan yang harus sesuai syariat Islam. Dosen Fakultas Peternakan IPB University, Dr. Ir. Henny Nuraini, MSi, menjelaskan bahwa proses penyembelihan merupakan kegiatan mematikan hewan hingga tercapai kematian sempurna dengan cara menyembelih yang merujuk pada kaidah kesejahteraan hewan dan syari’ah agama Islam.  

“Dalam proses ini, terdapat lima persyaratan yang harus dipenuhi. Salah satunya yaitu standar hewan harus halal, dalam keadaan hidup, dan sehat,” ujar Henny yang juga sebagai auditor halal senior di LPH LPPOM. Dalam konteks ini, cara memperlakukan hewan kurban menjadi satu hal yang perlu diperhatikan, salah satunya untuk menghindari strers pada hewan kurban.  

Dosen Fakultas Kedokteran Hewan IPB University, drh. Supratikno, M.Si., PAvet., menyampaikan bahwa hal ini bisa disebabkan oleh berbagai hal. Dari aspek fisik, stress bisa diakibatkan oleh kelelahan atau trauma karena transportasi jauh. Dari aspek psikologis bisa diakibatkan oleh rasa lapar, sakit, kepanasan, bahkan ketakutan. Stres juga bisa disebabkan akibat perkelahian antar-hewan ternak.  

“Stres menyebabkan glikogen dalam otot menurun sampai level yang sangat rendah. Hal ini membuat terjadinya perubahan komposisi biokimia dalam daging. Akibatnya, saat penyembelihan, kualitas daging menjadi DFD (Dark – Firm – Dry) atau bisa diartikan kualitas daging jelek,” terang Supratikno. 

Pada hewan yang stres akut parah, lanjutnya, akan terjadi respirasi anaerob yang menghasilkan sisa metabolit berupa asam laktat. Sedangkan, asam laktat yang terlalu tinggi pada saat penyembelihan atau penurunan pH yang terlalu cepat menyebabkan darah banyak tertinggal di dalam otak dan otot, serta pembuluh darah menutup atau tersumbat.  

“Kedua hal tersebut menyebabkan ketidaksempurnaan pengeluaran darah. Kualitas daging menjadi pucat, lembek, dan berair. Daging seperti ini akan mudah busuk dan susut masaknya tinggi,” jelas Supratikno. 

Untuk meminimalisir tingkat stres hewan, beberapa hal terkait lokasi penyembelihan harus diperhatikan, di antaranya: 

  1. Lokasi penyembelihan merupakan daerah terbatas.  
  1. Hanya orang yang berkepentingan yang boleh masuk ke area penyembelihan.  
  1. Diusahakan kondisi yang tenang.  
  1. Terpisah dari tempat penampungan hewan.  
  1. Hewan hidup tidak boleh melihat hewan lain sedang disembelih/dipisahkan kepalanya.  
  1. Hewan baru boleh dibawa ke tempat penyembelihan ketika semua petugas dan peralatan sudah siap.  

Bagaimana? Sudah siapkah Anda menghadapi momen yang penuh berkah ini? Mari cek lagi kesiapan kita dalam menyambut Idul Adha. Semoga setiap upaya kita dalam mencari kepberkahan dalam momen ini mendapatkan pahala berlipat dari Allah Swt. LPH LPPOM menyediakan beragam saran edukasi mengenai penyembelihan halal melalui media sosial LPH LPPOM, termasuk Youtube dan Instagram (YN) 

//
Assalamu'alaikum, Selamat datang di pelayanan Customer Care LPPOM
👋 Apa ada yang bisa kami bantu?