Search
Search

Dari dapur-dapur UMK hingga etalase ritel halal modern, kebutuhan akan pendampingan dan edukasi halal semakin nyata. Menjawab tantangan tersebut, SIJAMAL, koperasi yang beranggotakan karyawan LPPOM, resmi meluncurkan program Teras Halal sebuah inisiatif baru yang menjadi titik temu antara sertifikasi halal, literasi syariah, dan pemberdayaan ekonomi umat.

Di tengah peningkatan kewajiban sertifikasi halal yang kini menyasar jutaan produk makanan dan minuman di Indonesia, kebutuhan akan pendampingan nyata bagi pelaku usaha, khususnya UMK, tak bisa diabaikan. Melalui Koperasi Jasa Amanah Madani Halal (SIJAMAL), LPPOM mengambil langkah strategis dengan meluncurkan program Teras Halal sebuah layanan terpadu yang mengintegrasikan edukasi sertifikasi halal, literasi keuangan syariah, pengembangan kapasitas usaha, serta pembentukan komunitas UMK halal. 

Program ini resmi diluncurkan pada Kamis, 31 Juli 2025, di gerai Meatly Shop, salah satu unit usaha ritel halal milik SIJAMAL yang berlokasi di Jalan Semeru, Kota Bogor. Acara ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan LPPOM, Dinas Koperasi Kota Bogor, pelaku usaha, dan masyarakat umum. 

Halal Partnership and Audit Services LPPOM yang juga bertindak sebagai Pengawas SIJAMAL, Mulich, menyebutkan bahwa Teras Halal hadir sebagai bentuk nyata kontribusi dalam diseminasi edukasi halal, terutama bagi kalangan UMK. “Ini merupakan implementasi komitmen LPPOM dalam mendukung pelaksanaan Jaminan Produk Halal (JPH) yang digaungkan pemerintah. Dengan lebih dari 35 juta produk makanan dan minuman yang wajib bersertifikat halal, program fasilitasi seperti ini sangat dibutuhkan,” ujarnya. 

Teras Halal dirancang bukan hanya sebagai tempat konsultasi, melainkan juga sebagai ruang kolaborasi. Ia menjadi jembatan antara regulasi dan realitas pelaku usaha kecil. “Kami ingin Teras Halal menjadi perwujudan gotong royong berbagai pihak dalam membangun ekosistem halal. Program ini bisa dimulai dari sektor mikro dan kecil, sambil berjalan, bisa berkembang untuk pelaku usaha menengah dan besar,” tambah Muslich. 

Sebagai entitas yang sejak 2021 konsisten bergerak di sektor riil, SIJAMAL terus mengembangkan berbagai lini usaha yang berbasis pada prinsip kehalalan dan keberlanjutan. Pada 2022, SIJAMAL meluncurkan Meatly Shop, ritel produk daging halal yang juga menyuguhkan edukasi kepada konsumen terkait titik-titik kritis kehalalan, terutama dalam penggilingan dan pemotongan daging. Produk seperti bakso, yang kerap jadi sorotan dalam isu halal, mendapat perhatian khusus dalam edukasi konsumen di Meatly. 

Kini, Meatly telah memiliki dua cabang, termasuk yang terbaru di kawasan Bantar Kemang Pajajaran. Menurut Bambang Miswanto, Direktur SIJAMAL, langkah ini merupakan bagian dari visi besar untuk mewujudkan konsep “from farm to table” yang transparan dan terjamin kehalalannya. “Teras Halal adalah tonggak yang mengokohkan nilai-nilai itu. Bukan hanya edukasi, tapi juga upaya mendorong berkembangnya ekonomi syariah berbasis masyarakat,” tegasnya. 

Dukungan terhadap inisiatif ini juga datang dari pemerintah daerah. Iim Ibrahim, perwakilan Dinas Koperasi Kota Bogor, mengapresiasi langkah SIJAMAL dan LPPOM. “Program ini sangat penting sebagai sarana edukasi bagi masyarakat yang masih minim pengetahuan tentang kehalalan produk. Kami dari Dinas Koperasi mendukung penuh program ini, dan berharap Teras Halal dapat tumbuh semakin besar,” ujarnya. 

Dengan hadirnya Teras Halal, SIJAMAL tak hanya memperkuat peran sebagai mitra LPPOM, tetapi juga membuka akses lebih luas bagi pelaku UMK untuk mendapatkan pendampingan halal secara menyeluruh. Harapannya, ke depan, program ini bisa menjadi model nasional dalam upaya memperkuat industri halal dari akar rumput. 

Melalui Teras Halal, SIJAMAL dan LPPOM menunjukkan bahwa ekosistem halal tidak dibangun dari tataran wacana semata, tetapi dari aksi nyata—dimulai dari ruang-ruang kecil tempat UMK belajar, berkembang, dan berdaya dalam bingkai syariah. 

Acara ini turut dihadiri oleh Vice President Ecosystem Halal Bank Syariah Indonesia (BSI), Hikmah Rizka; Presiden Director Aladin, Koko Catur Rahmadi; CEO Agrivest Global Group, Muad Asegab; Owner Uncle Jo, Yohanes Handoyo; serta sejumlah komunitas penerima manfaat program SIJAMAL. (YN) 

Meski kewajiban sertifikasi halal telah diberlakukan secara nasional, banyak pelaku usaha masih bergulat dengan tantangan di lapangan, mulai dari kurangnya pemahaman regulasi, minimnya penyelia halal, hingga anggapan bahwa prosesnya mahal dan rumit. Menjawab kegelisahan ini, LPH LPPOM hadir di FMI 2025 dengan membawa solusi konkret.

Meski kewajiban sertifikasi halal terus digencarkan, tak sedikit pelaku usaha yang masih berjibaku menghadapi berbagai tantangan untuk mendapatkan sertifikat halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dengan cepat dan mudah. Menanggapi hal ini, Lembaga Pemeriksa Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPH LPPOM) hadir memberikan solusi dan pemahaman mendalam melalui sesi diskusi interaktif di pameran Food Manufacturing Indonesia (FMI) 2025.

Dalam sesi  seminar “Jelajahi Teknologi Produksi Pangan Lewat Sesi Product Knowledge” yang diselenggarakan pada 29 Juli 2025 di Jakarta International Expo (JIExpo) National Halal Partner LPH LPPOM, Mediasti Rahmasari, memaparkan serangkaian hambatan yang masih dialami industri. Hal ini dimulai dari minimnya pemahaman tentang regulasi, keterbatasan sumber daya manusia seperti penyelia halal, hingga persepsi bahwa proses sertifikasi halal itu rumit dan mahal.

Padahal, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024, setiap produk yang beredar di Indonesia wajib tersertifikasi halal. Produk dinyatakan halal bila berasal dari bahan yang halal, diproduksi menggunakan fasilitas yang bebas dari kontaminasi bahan haram atau najis, dan mengikuti proses yang sesuai dengan prinsip Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH).

“Untuk memulai proses sertifikasi, pelaku usaha diwajibkan memiliki penyelia halal yang kompeten. Ini tertuang dalam Pasal 50 dan 60 PP No. 42 Tahun 2024. Penyelia halal harus beragama Islam, memiliki wawasan luas dan memahami syariat terkait kehalalan, serta memiliki sertifikat pelatihan atau kompetensi yang diakui,” jelas Mediasti.

Tak hanya itu, pelaku usaha juga perlu memahami secara menyeluruh alur sertifikasi halal, yang mencakup tahapan penting mulai dari pengajuan dokumen, persyaratan, proses pemeriksaan atau audit halal oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), hingga tahapan verifikasi akhir dan penerbitan sertifikat halal oleh BPJPH.

Terkait biaya, pihaknya juga menjelaskan bahwa tarif sertifikasi telah diatur dalam Keputusan Kepala Badan (Kepkaban) No. 22 Tahun 2024. Biaya terdiri dari beberapa komponen seperti pemeriksaan, operasional, transportasi, hingga laboratorium (untuk produk tertentu). Selain itu, BPJPH juga menetapkan tarif administrasi berdasarkan skala usaha, sehingga pelaku usaha mikro dan kecil tetap mendapat kemudahan.

Dalam paparannya, Mediasti juga mengungkapkan bahwa dalam sertifikasi halal, proses produksi perlu dipastikan bahan baku, bahan penolong serta bahan lainnya berasal dari sumber yang halal dan suci, tidak terkena najis atau terkontaminasi bahan haram, serta ditangani sesuai syariat Islam selama proses produksi berlangsung. Tentunya, semua klaim dan penerapan standar tersebut harus dapat dibuktikan secara nyata saat proses audit berlangsung, sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas dalam menjamin kehalalan produk.

“Proses produksi dapat berisiko mengalami kontaminasi silang dengan bahan haram dan najis, yang dapat menjadi titik kritis kehalalan produk. Karena itu, setiap tahapan harus dipastikan kehalalannya melalui bukti yang kuat, baik berupa dokumen pendukung yang valid maupun hasil pengujian laboratorium yang cepat, akurat, dan mudah,” ujarnya.

Untuk mendukung jaminan kehalalan dan mencegah risiko kontaminasi silang, Laboratorium LPPOM MUI memiliki akreditasi akreditasi SNI ISO/IEC 17025:2017 untuk laboratorium dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). Hal ini sebagai komitmen dalam memberikan pelayanan yang prima dan profesional dalam pengujian laboratorium. 

Guna memastikan jaminan kehalalan sekaligus mencegah terjadinya risiko kontaminasi silang, Laboratorium LPPOM MUI telah mengantongi akreditasi SNI ISO/IEC 17025:2017 dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). Hal ini sebagai bukti bahwa komitmen LPPOM dalam memberikan layanan pengujian yang unggul, profesional, dan terpercaya.

Dengan standar mutu berstandar internasional, seluruh proses pengujian mulai dari deteksi DNA babi, identifikasi peptida hewani, hingga analisis kandungan etanol dilakukan secara presisi dan konsisten. Hasil pengujian ini menjadi fondasi ilmiah yang kuat untuk mendukung proses penetapan fatwa dan penerbitan sertifikat halal secara objektif dengan landasan data yang kuat.

Kegiatan ini juga menjadi momentum strategis bagi pelaku usaha untuk berdialog langsung seputar sertifikasi halal maupun layanan pengujian laboratorium. Dalam forum ini, LPPOM membuka ruang konsultasi interaktif yang dapat dimanfaatkan peserta untuk menggali informasi, berdiskusi, dan mencari solusi atas berbagai tantangan yang kerap muncul dalam proses sertifikasi halal.

Laboratorium LPPOM MUI juga merupakan laboratorium pertama dan satu-satunya di Indonesia yang menawarkan pengujian satu atap terkait halal dan vegan. Laboratorium LPPOM MUI memiliki beragam layanan seperti untuk pengujian halal, keamanan pangan dan uji cemaran seperti dietillen glikol dan propilen glikol untuk farmasi, serta etilen oksida untuk pangan, uji 1,4-dioxane untuk kosmetik dan juga pengujian cemaran bakteri Salmonella. Seluk beluk pengujian secara lengkap dapat dicek pada https://e-halallab.com/.

Tak hanya itu, LPPOM juga membuka ruang diskusi bagi setiap pelaku usaha yang produknya belum melakukan sertifikasi halal melalui layanan Customer Care pada Call Center 14056 atau WhatsApp 0811-1148-696. Selain itu, pelaku usaha juga dapat mendalami alur dan proses sertifikasi halal dengan mengikuti kelas Pengenalan Sertifikasi Halal (PSH) yang diselenggarakan secara rutin setiap pada minggu ke-2 dan ke-4 setiap bulannya https://halalmui.org/pengenalan-sertifikasi-halal/. (ZUL)

Dalam ajang Food & Hospitality Indonesia (FHI) 2025, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) menegaskan perannya sebagai mitra strategis dalam ekosistem halal. Di tengah implementasi kebijakan wajib halal yang semakin luas, LPPOM hadir tidak hanya sebagai lembaga pemeriksa halal, tetapi juga sebagai fasilitator utama dalam membantu pelaku industri memenuhi tuntutan regulasi melalui layanan laboratorium terakreditasi dan solusi sertifikasi halal BPJPH yang cepat dan mudah.

Era wajib halal menghadirkan tantangan nyata bagi pelaku industri pangan dan hospitality. Mereka dituntut untuk tidak hanya memahami aspek sertifikasi halal secara cepat, tetapi juga mampu menerapkannya secara konsisten dalam operasional sehari-hari. Hal ini tidak mudah, karena mencakup pemenuhan standar halal yang ketat, pencegahan kontaminasi silang, serta verifikasi terhadap semua bahan baku dan rantai pasok, sesuai regulasi terbaru.

Disinilah peran LPPOM menjadi krusial. Dengan pendekatan ilmiah yang berbasis data laboratorium dan prinsip sesuai Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH), LPPOM membantu industri Indonesia tidak sekadar memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga membangun daya saing global.

Ade Suherman, Manager Halal Auditor Management LPPOM, menyampaikan hal ini dalam seminar bertema “From Certification to Consumer Trust: Strengthening Halal and Hygiene Standards” yang diselenggarakan pada 24 Juli 2025 di Jakarta International Expo (JIExpo).

“Melalui dukungan LPPOM, sertifikasi halal bukan lagi menjadi beban administratif, melainkan nilai tambah strategis yang memperkuat kepercayaan konsumen dan membuka akses pasar yang lebih luas, baik di dalam negeri maupun mancanegara,” ujar Ade.

Pihaknya juga menekankan bahwa sertifikasi halal tidak hanya menjadi kewajiban hukum, tetapi memberikan sejumlah manfaat strategis bagi pelaku usaha. Di antaranya adalah terciptanya ketenangan dan kepercayaan dari konsumen, faktor penting dalam membangun loyalitas dan reputasi merek.

Sertifikasi halal juga terbukti mampu meningkatkan nilai jual produk, memperluas jangkauan ke pasar global yang sangat memperhatikan aspek kehalalan, serta memberikan kepastian hukum dalam menjalankan usaha sesuai regulasi yang berlaku di Indonesia. Dengan kata lain, sertifikasi halal bukan sekadar label, melainkan instrumen penting untuk tumbuh berkelanjutan dan bersaing di era industri yang makin berorientasi pada kepatuhan dan kualitas.

Sementara itu, General Manager Laboratorium LPPOM MUI, Heryani, menyampaikan dalam proses produksi makanan, risiko kontaminasi silang dengan bahan haram atau najis menjadi ancaman serius, terutama saat menangani bahan-bahan kritis yang berasal dari hewan. Bahan seperti daging, gelatin, kolagen, chondroitine sulfate, hingga asam lemak hewani harus dipastikan kehalalannya dengan bukti kuat, baik melalui dokumen pendukung maupun pengujian laboratorium yang cepat dan mudah.

“Sayangnya, meskipun bahan awal sudah halal, proses penanganan yang tidak sesuai dapat membuka celah kontaminasi. Sejumlah potensi risiko, mulai dari alat produksi yang digunakan bersama, prosedur pencucian yang tidak memadai, penyimpanan yang buruk, hingga kesalahan manusia. Bahkan rantai pasok juga bisa menjadi titik lemah baik saat distribusi, pergudangan, maupun jika bahan baku terkontaminasi sejak awal,” jelas Hery.

Inilah sebabnya, dalam sistem Jaminan Produk Halal (SJPH), tidak cukup hanya memastikan bahan yang digunakan halal, tetapi juga prosesnya harus terjaga dari awal hingga akhir. Di sinilah laboratorium dan audit proses menjadi sangat krusial.

Kegiatan ini juga menjadi ajang strategis bagi pelaku usaha untuk berdiskusi langsung terkait sertifikasi halal. Dalam forum ini, LPPOM membuka ruang dialog dan konsultasi yang ditujukan kepada pelaku industri, guna menjawab berbagai tantangan dalam proses sertifikasi halal saat ini.

Untuk mendukung jaminan kehalalan dan mencegah risiko kontaminasi silang, Laboratorium LPPOM MUI memiliki akreditasi SNI ISO/IEC 17025:2017 dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). Hal ini menjadi bukti komitmen LPPOM dalam memberikan pelayanan pengujian yang prima, profesional, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Dengan standar mutu internasional ini, seluruh proses pengujian, baik deteksi DNA babi, peptida hewani, maupun kandungan etanol dilakukan secara akurat dan konsisten, mendukung proses fatwa dan penerbitan sertifikat halal dengan landasan data yang kuat.

Laboratorium LPPOM MUI juga merupakan laboratorium pertama dan satu-satunya di Indonesia yang menawarkan pengujian satu atap terkait halal dan vegan. Laboratorium LPPOM MUI memiliki beragam layanan seperti untuk pengujian halal, keamanan pangan dan uji cemaran seperti dietillen glikol dan propilen glikol untuk farmasi, serta etilen oksida untuk pangan, uji 1,4-dioxane untuk kosmetik dan juga pengujian cemaran bakteri Salmonella. Seluk beluk pengujian secara lengkap dapat dicek pada https://e-halallab.com/.

Pastikan produk Anda bebas kontaminasi silang, aman, sehat, dan sesuai standar thayyib dengan layanan pengujian terpercaya dari Laboratorium LPPOM MUI. Segala informasi terkait pengujian Salmonella maupun jenis uji lainnya dapat Anda akses dengan mudah melalui website resmi kami https://e-halallab.com/ atau ikuti update kami di Instagram: @lab.lppommui. Mari wujudkan produk pangan yang tidak hanya halal, tapi juga benar-benar thayyib. (ZUL)

Sebelum memesan katering, penting untuk mengetahui fakta bahwa titik kritis kehalalan dalam layanan katering tidak hanya terletak pada bahannya saja, tetapi juga pada fasilitas yang digunakan dan menu yang dihasilkan. Ketiganya perlu pengendalian secara ketat sehingga menu yang diproduksi terjamin kehalalannya. Pengendalian titik kritis yang tepat akan mempermudah proses sertifikasi halal BPJPH secara cepat dan mudah.

Dalam era modern di mana layanan makanan semakin mudah, cepat, dan beragam, banyak orang mengandalkan jasa katering untuk berbagai keperluan. Mulai dari acara keluarga, acara di perkantoran, hingga pesta besar. Namun, di balik sesuatu yang serba mudah itu,  kehalalan menu makanan yang disajikan harus tetap diperhatikan.

Kegiatan dalam memproduksi dan menyajikan produk atau menu yang diklaim halal bukan hanya  sekedar tidak memproduksi dan menyajikan produk olahan babi atau minuman beralkohol saja. Ada persyaratan lain yang juga harus dipenuhi, termasuk juga oleh pelaku usaha jasa boga (katering). Dari sisi aspek pengolahan dan penyajiannya ada  beberapa titik kritis kehalalan yang harus diwaspadai, dan sayangnya, tidak semua orang mengetahuinya apalagi menyadarinya.

Dalam konteks sertifikasi halal, seluruh produk termasuk layanan katering memiliki titik kritis pada tiga area utama: Bahan, Produk, dan Fasilitas. Ketiga aspek ini saling berkaitan dan dapat menjadi sumber kontaminasi bahan non-halal dan najis, jika tidak diawasi dengan baik. Dalam layanan katering, titik kritis kehalalan bisa jadi lebih rumit karena kadang kala tempat pengolahan dan penyajiannya pun berpindah-pindah tempat demi menyesuaikan keinginan pelanggan.

Berdasarkan informasi tim Halal Auditor Management LPPOM, melalui Tubagus Mukhamad Ishak, ada banyak titik kritis dalam layanan katering yang harus diperhatikan oleh konsumen. Maka dari itu, sebelum memilih jasa katering, penting untuk memahami lima fakta utama ini agar tidak salah langkah dan tetap menjaga kehalalan hidangan yang disajikan.

1. Menjamin Kehalalan Asal Daging

    Menurut Tubagus, bahan utama dalam produksi menu katering selain makanan pokok seperti nasi, mie atau roti, biasanya meliputi juga daging sapi, ayam, bebek, dan produk turunan hewan lainnya. Perlu dipastikan bahwa hewan-hewan tersebut disembelih sesuai dengan syariat Islam.

    “Selain itu, bagi orang awam juga sulit untuk memastikan apakah daging yang diolah dan disajikan benar-benar berasal dari hewan halal atau malah tercampur dengan daging non-halal,” jelas Tubagus.

    2. Mengawasi Kehalalan Penggilingan Daging

    Jika ada produk olahan daging yang bahannya berasal dari penggilingan (misalnya bakso atau produk olahan yang menggunakan daging giling lainnya) yang belum bersertifikat halal, hal ini menjadi sangat kritis dan berisiko. Karena jasa penggilingan biasanya menerima daging dari berbagai pelanggan setiap hari dan mengolahnya di fasilitas yang sama, sumber dagingnya sangat beragam dan sulit untuk ditelusuri status kehalalannya dengan pasti.

    3. Identifikasi Bumbu Tambahan yang Berpotensi Tidak Halal

    Salah satu bahan yang perlu kita perhatikan dengan seksama adalah adanya kemungkinan penggunaan arak masak, misalnya  mirin, sake, angciu, wine, dan bahan sejenis lainnya. “Bahan-bahan ini sering digunakan untuk memperkaya rasa masakan, namun dari sisi kehalalan bermasalah karena tergolong khamar. Selain itu, bahan-bahan ini kadang beredar dengan nama yang tidak familiar di masyarakat, sehingga kita harus bisa mengidentifikasinya dengan baik agar tidak salah pilih,” tegas Tubagus.

    4. Mengatasi Tantangan Kehalalan pada Fasilitas/Alat Pengolahan dan Penyajian

    Namun, ada hal yang berbeda terkait fasilitas pada tahap penyajian, terutama karena katering sering disajikan di banyak tempat dalam bentuk prasmanan atau buffet. Tak jarang pada proses tertentu, pengolahan pun dilakukan di tempat pemilik acara yang menggunakan katering. Dalam pengolahan dan penyajian ini, penggunaan peralatan bisa bervariasi, misalnya bersumber dari vendor atau pemilik acara, dari pemilik katering sendiri, bisa kombinasi keduanya, atau bahkan peralatan sekali pakai.

    Hal yang perlu dikritisi adalah pemastian peralatan yang disediakan oleh vendor atau pemilik acara tidak pernah bersentuhan dengan bahan atau produk non-halal/najis, apalagi najis berat. Terlebih lagi, pencucian peralatan di lokasi acara yang menggunakan fasilitas dari vendor juga bisa menjadi sumber risiko kontaminasi jika tidak diawasi dengan ketat.  Alat penyajian/ makan yang terkena najis berat tidak boleh dicuci di fasilitas yang sama dengan alat penyajian/makan untuk menu halal.  

    5. Menjaga Kehalalan dalam Proses Produksi

    Produk katering biasanya terdiri dari aneka menu masakan seperti nasi goreng, olahan daging sapi atau ayam atau kambing, tumisan sayur, serta menu pelengkap seperti sambal, kerupuk, kue basah, puding, dan makanan ringan lainnya. Dalam praktiknya, pelaku usaha katering sering bekerja sama dengan pihak lain untuk memenuhi permintaan menu yang beragam atau menyesuaikan dengan tren musiman.

    Karena bahan dan produk diproses di fasilitas yang berbeda-beda, sangat penting untuk memastikan bahwa semua bahan dan fasilitas yang digunakan tidak terkontaminasi bahan non-halal dan najis, termasuk fasilitas eksternal.

    Memilih jasa katering bukan hanya soal rasa dan harga, tetapi juga tentang memastikan kehalalan makanan yang disajikan. Dalam layanan katering, terdapat banyak titik kritis yang harus diperhatikan, mulai dari bahan seperti daging dan bumbu,  proses pengolahan termasuk penggilingan, hingga fasilitas/alat penyajian di lokasi acara. Risiko kontaminasi bahan non-halal dan najis pada menu halal dapat terjadi jika tidak ada pengawasan secara ketat di setiap tahapan tersebut.

    Oleh karena itu, sangat penting bagi konsumen untuk lebih cermat dan teliti dalam memilih katering yang tidak mengabaikan prinsip halal. Dengan memahami kelima fakta penting ini, kamu bisa memastikan acara berjalan lancar tanpa perlu khawatir soal kehalalan makanan yang disantap. Di samping kehalalan makanannya tentu yang tidak bisa dilupakan pula soal thayyib yang halal dan aman untuk dikonsumsi. Kita tak jarang mendengar banyak kasus keracunan karena memakan produk katering yang mengabaikan prinsip keamanan pangan. Jadi prinsip kehalalan dana keamanan pangan adalah dua hal yang harus diperhatikan termasuk oleh pelaku usaha katering.     

    LPH LPPOM senantiasa membuka ruang diskusi bagi setiap pelaku usaha katering yang produknya belum melakukan sertifikasi halal melalui layanan Customer Care pada Call Center 14056 atau WhatsApp 0811-1148-696. Selain itu, pelaku usaha juga dapat mendalami alur dan proses sertifikasi halal dengan mengikuti kelas tak berbayar Pengenalan Sertifikasi Halal (PSH) yang diselenggarakan secara rutin setiap pada minggu ke-2 dan ke-4 setiap bulannya https://halalmui.org/pengenalan-sertifikasi-halal/. (ZUL)

    Distribusi minuman beralkohol dalam sebuah acara publik berskala besar kembali mengganggu rasa aman masyarakat. Kejadian ini bukan sekadar pelanggaran norma sosial, tetapi juga bentuk pengabaian terhadap nilai-nilai halal yang dijunjung tinggi oleh mayoritas masyarakat Indonesia. 

    Belakangan ini, jagat maya diramaikan oleh beredarnya foto dan video yang memperlihatkan aksi pembagian minuman beralkohol secara gratis dalam sebuah acara lari di Bandung. Dalam unggahan yang beredar di media sosial, tampak spanduk dengan tulisan bernada ajakan mengonsumsi bir, seperti “Hurry Up!” disertai gambar bir dan “The Beers Getting Warm!”. Bahkan, beberapa video menunjukkan sejumlah peserta tengah meminum bir di tengah berlangsungnya acara. 

    Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama LPPOM, Muti Arintawati, menyatakan sikap tegas dan penolakan total terhadap aksi promosi dan pembagian produk haram dalam ruang publik, terlebih pada acara berskala besar yang turut melibatkan masyarakat umum. 

    “Kami mengecam keras aksi distribusi dan promosi minuman beralkohol dalam kegiatan publik seperti ini. Tindakan tersebut tidak hanya mencederai nilai-nilai halal dan kesucian ruang publik, namun juga berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan event yang sehat, sportif, dan ramah bagi semua kalangan, khususnya umat Islam,” tegas Muti. 

    Lebih lanjut, LPPOM mengingatkan bahwa penyebaran produk haram seperti minuman beralkohol di ruang publik adalah tindakan yang sangat tidak etis dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia dengan mayoritas Muslim.  

    “Minuman beralkohol jelas termasuk kategori haram dalam ajaran Islam, dan tidak sepatutnya dijadikan bagian dari aktivitas publik, apalagi dibagikan secara bebas. Hal ini berpotensi mendorong normalisasi konsumsi alkohol dan mengaburkan batas antara gaya hidup sehat dan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai syariah,” tambah Muti. 

    LPPOM juga memberikan apresiasi kepada para penggiat literasi halal yang secara aktif menyuarakan kritik terhadap kejadian ini. Sikap kritis tersebut menunjukkan peran strategis masyarakat sipil dalam mengawal ruang publik agar tetap sejalan dengan norma dan etika kehalalan yang dijunjung tinggi bangsa ini. 

    LPPOM mengimbau semua pihak—baik penyelenggara acara, sponsor, maupun komunitas—untuk lebih bertanggung jawab dalam menyusun konsep kegiatan. Tidak boleh ada pembiaran terhadap aktivitas yang secara nyata menyalahi prinsip halal dan berpotensi merusak moral generasi muda. 

    Dalam kesempatan ini, LPPOM juga menyerukan agar kejadian serupa tidak terulang kembali di masa depan. Penyelenggara acara publik perlu memastikan bahwa semua unsur dalam kegiatan mereka telah sesuai dengan norma keagamaan, etika sosial, serta regulasi yang berlaku.  

    Selain itu, pemerintah perlu turut aktif dalam proses pengawasan beredarnya produk. Hal ini sejalan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal beserta aturan turunannya, yang terkahir Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024.  

    Aturan terkait pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol juga telah diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2013. Pada Pasal 7 disebutkan bahwa minuman beralkohol hanya dapat dijual di hotel, bar, dan restoran yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepariwisataan; toko bebas bea; dan tempat tertentu yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta.  

    Poin selanjutnya juga menekankan, bahwa minuman beralkohol golongan A (mengandung alkohol dengan kadar 5%) juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan. Meski begitu, penjualan minuman beralkohol harus dilakukan terpisah dengan barang-barang jualan lainnya. 

    Dilansir dari website resmi Pemkot Bandung, Bandung.go.id, pihaknya telah menjatuhkan sanksi berupa denda administratif Rp5 juta sebagai biaya paksaan penegakan hukum kepada Pace and Place. Sedangkan terhadap Komunitas Free Runners diwajibkan melakukan kerja sosial selama dua minggu untuk membersihkan area Balai Kota Bandung sebagai bentuk sanksi sosial. 

    “LPPOM mengapresiasi Pemkot Bandung yang telah mengambil langkah pemberian sanksi tersebut. Namun, kami tetap mendorong pemerintah memberikan sanksi yang lebih tegas, sesuai dengan aturan halal dan perlindungan konsumen. Hal ini guna menghindari potensi terulangnya kejadian serupa,” tegas Muti.  

    Pihaknya juga menghimbau kepada masyarakat untuk senantiasa bersikap teliti dan waspada dalam memilih serta menerima produk, termasuk dalam bentuk sampel gratis yang dibagikan di berbagai acara publik. Tidak semua produk yang tampak ‘aman’ secara kasat mata sesuai dengan prinsip halal yang sah menurut syariat dan fatwa ulama.  

    LPPOM akan terus berkomitmen dalam menjaga marwah halal di negeri ini. Prinsip halal bukan sekadar label, melainkan komitmen menyeluruh terhadap kebaikan, kebersihan, kesehatan, dan pada gilirannya akan mendatangkan keberkahan dalam kehidupan bermasyarakat terutama umat Islam. (YN)

    Sertifikasi halal restoran ternyata jauh lebih dari sekadar memastikan bahan makanan bebas dari unsur haram dan najis. Di balik label halal yang tercetak di pintu masuk atau menu restoran, terdapat proses audit yang kompleks dan menyeluruh—melibatkan pemeriksaan fasilitas, perilaku karyawan, hingga peran pelanggan. Inilah fakta-fakta di balik layar yang jarang diketahui publik, namun menentukan kehalalan setiap hidangan yang tersaji di meja Anda.

    Selama ini, publik sering kali menyederhanakan makna “halal” dalam industri kuliner: asalkan tidak mengandung produk olahan babi atau minuman beralkohol, maka dianggap aman. Padahal, realitas di balik proses sertifikasi halal jauh lebih luas dari sekadar kehalalan bahan. Sertifikasi halal bukan hanya bicara tentang bahan, tetapi juga sistem. Dan sistem ini melibatkan banyak aspek yang jarang diketahui. 

    Di Indonesia, proses sertifikasi halal dikoordinasikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai regulator dan penerbit sertifikat halal. Namun, proses pemeriksaan kehalalan dengan skema reguler dilakukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), salah satunya LPPOM. 

    Banyak yang masih beranggapan bahwa sertifikasi halal hanya berfokus pada bahan dan produk. Padahal, kenyataannya jauh lebih kompleks. Sertifikasi halal untuk restoran menuntut pemenuhan standar secara menyeluruh mulai dari sistem pengadaan bahan, proses produksi di dapur dan outlet, fasilitas yang digunakan, sikap dan perilaku karyawan hingga keterlibatan pelanggan dalam menjaga konsistensi kehalalan. 

    Proses sertifikasi halal melibatkan audit teknis yang ketat dan terstruktur. Oleh karena itu audit tersebut harus dilakukan oleh auditor halal yang kompeten yakni mempunyai keterampilan dalam memverifikasi pemenuhan standar halal.  Kompetensi tersebut harus dibuktikan pihak ketiga dalam hal ini Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang harus terakreditasi oleh BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). LSP ini yang memberikan sertifikat kompetensi pada auditor tersebut.  Sebelum mengikuti ujian kompetensi oleh LSP, biasanya calon auditor harus mengikuti pelatihan oleh lembaga pelatihan yang diakreditasi oleh BPJPH.      

    Auditor bertanggung jawab untuk menilai apakah operasional restoran sudah memenuhi kriteria Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) atau masih perlu perbaikan sebelum sertifikat halal bisa diterbitkan. SJPH adalah sistem internal yang harus diterapkan oleh setiap perusahaan yang mempunyai sertifikat halal BPJPH.  Tujuan penerapan SJPH ini adalah untuk memastikan bahwa setiap kriteria BPJPH senantiasa diterapkan agar status kehalalan produk atau menu selalu terjaga selama sertifikat halal masih berlaku.   

    Manager Halal Auditor Management LPPOM, Ade Suherman, S.Si, membagikan tujuh aspek proses audit yang jarang diketahui oleh publik. 

    1. Audit Halal Mencakup Lebih dari Sekadar Dapur 

    Menurut Ade, proses audit halal mencakup seluruh fasilitas yang terkait langsung dengan proses penyajian makanan. Ini tidak hanya mencakup dapur pusat, dapur cabang, gudang, dan outlet, tapi juga fasilitas milik pihak ketiga atau sewaan yang ikut menangani bahan atau produk yang masuk dalam ruang lingkup penerapan SJPH. 

    “Kami melakukan pemeriksaan menyeluruh, tidak hanya di satu titik. Bahkan gudang atau dapur yang disewa pun harus diperiksa karena bisa memengaruhi status kehalalan produk,” jelas Ade. 

    1. Tahapan Audit dan Dokumen yang Harus Disiapkan 

    Durasi audit halal disesuaikan dengan jumlah fasilitas dan kompleksitas proses operasional restoran. Secara regulasi, waktu maksimal audit halal dalam negeri adalah 15 hari kerja, dengan tambahan waktu maksimal 10 hari kerja untuk kelengkapan dokumen atau klarifikasi. 

    Dokumen yang harus disiapkan antara lain adalah dokumen Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) dan bukti penerapan aspek higienitas dan sanitasi. Ini mencakup prosedur pembersihan, standar kebersihan karyawan, dan pengendalian hama. 

    1. Tidak Bisa Parsial: Semua Menu Harus Bersertifikat Halal 

    Satu poin penting yang sering luput dari perhatian pelaku usaha adalah bahwa tidak diperkenankan hanya sebagian menu disertifikasi halal. Semua makanan dan minuman yang dijual, termasuk menu konsinyasi atau titipan, wajib masuk dalam ruang lingkup sertifikasi. “Pastikan nama, bentuk, dan profil sensori dari semua menu sesuai dengan standar halal. Kalau ada satu menu saja yang tidak halal, maka seluruh proses sertifikasi bisa terganggu,” tegas Ade. 

    Sistem pengadaan bahan juga harus diperhatikan. Pemeriksaan terhadap bahan yang masuk, termasuk proses penerimaan dan pencatatan, menjadi bagian penting untuk memastikan tidak ada bahan non-halal yang lolos masuk ke proses produksi. 

    1. Peran Pelanggan dalam Konsistensi Halal 

    Menariknya, menurut Ade, pelanggan juga memiliki tanggung jawab dalam menjaga konsistensi penerapan SJPH di restoran. “Pelanggan tidak diperbolehkan membawa makanan dari luar yang tidak jelas kehalalannya, atau membawa hewan peliharaan ke area restoran, karena ini juga memengaruhi SJPH dari restoran tersebut,” tambahnya. 

    1. Sanitasi dan Perilaku Karyawan Jadi Penentu 

    Aspek hygiene dan sanitasi sangat krusial. Karyawan yang terlibat langsung dalam pengolahan makanan wajib menerapkan standar kebersihan, seperti menggunakan penutup kepala, masker, dan mencuci tangan dengan sabun sebelum bekerja. Restoran juga harus melakukan pengendalian hama dan membersihkan area produksi secara rutin.  Termasuk karyawan tidak dibenarkan menggunakan alat makan dan/atau alat masak yang digunakan untuk melayani pelanggan restoran.  Karena dikuatirkan bisa mengkontaminasi produk atau menu yang dijual dengan bahan haram/najis. 

    1. Tantangan Umum dalam Sertifikasi Halal Restoran 

    Beberapa tantangan yang kerap dihadapi restoran dalam proses audit halal, menurut Ade, di antaranya: 

    • Ketersediaan bahan bersertifikat halal yang terbatas, terutama daging.  
    • Penggunaan bumbu masak non-halal, seperti angciu atau arak masak, yang harus diganti dengan alternatif.  
    • Proses bisnis antar outlet, terutama untuk brand franchise yang memungkinkan masing-masing cabang membeli bahan sendiri yang bisa jadi diluar daftar bahan halal yang sudah disetujui oleh BPJPH dan LPH. 
    • Audit internal yang tidak konsisten dalam pelaksanaannya sehingga bisa jadi tidak seluruh kriteria SJPH dipastikan penerapannya sesuai persyaratan sertifikasi halal.  
    • Tingginya turnover karyawan, sehingga pemahaman soal SJPH harus terus menerus disampaikan kepada staf baru, yang kadang-kadang pemahamannya tidak menyeluruh sehingga penerapan SJPH restoran juga tidak utuh. 
    1. Langkah Maju Menuju Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) yang Utuh 

    Audit halal bukan sekadar pemeriksaan dokumen, tetapi juga pembuktian bahwa restoran menerapkan SJPH dan komitmen jangka panjang dalam menjaga kehalalan produknya. Menurut pihaknya, edukasi dan kesadaran dari pelaku usaha sangat menentukan keberhasilan penerapan SJPH secara menyeluruh. “Halal itu penerapan sistem, bukan sekedar label. Dan sistem ini harus dijaga setiap hari oleh semua pihak manajemen, staf, hingga pelanggan,” tuturnya. 

    Proses audit halal restoran ternyata jauh lebih kompleks dibandingkan persepsi umum yang hanya berfokus pada bahan makanan. Audit halal mencakup seluruh aspek operasional, mulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi, kebersihan fasilitas, bahkan hingga perilaku pelanggan. Sertifikasi halal bukan hanya label semata, melainkan sistem menyeluruh yang harus diterapkan dan dijaga secara konsisten. 

    Dengan pemahaman yang lebih menyeluruh terhadap mekanisme audit halal ini, diharapkan para pelaku usaha restoran semakin sadar dan berkomitmen dalam menjaga kehalalan produknya. Hal ini bukan hanya untuk sekadar memenuhi regulasi saja, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab moral dan kepercayaan kepada konsumen. Karena pada akhirnya, halal adalah jaminan kualitas, kebersihan, dan integritas dalam penyajian makanan. 

    LPH LPPOM senantiasa membuka ruang diskusi bagi setiap pelaku usaha yang produknya belum melakukan sertifikasi halal melalui layanan Customer Care pada Call Center 14056 atau WhatsApp 0811-1148-696. Selain itu, pelaku usaha juga dapat mendalami alur dan proses sertifikasi halal dengan mengikuti kelas tak berbayar Pengenalan Sertifikasi Halal (PSH) yang diselenggarakan secara rutin setiap pada minggu ke-2 dan ke-4 setiap bulannya https://halalmui.org/pengenalan-sertifikasi-halal/. (ZUL) 

    LPPOM bekerja sama dengan Indonesian Packaging Federation (IPF) kembali menegaskan pentingnya aspek kehalalan dalam seluruh rantai produksi, termasuk kemasan. Hal ini dianggap penting sebagai upaya meningkatkan pemahaman dan kesadaran pelaku industri kemasan. 

    Dalam upaya memperkuat Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) secara menyeluruh, LPPOM bersama IPF kembali menyoroti pentingnya aspek kehalalan dalam kemasan produk. Kemasan bukan lagi sekadar pelindung fisik, tetapi menjadi bagian penting dalam menjaga kehalalan suatu produk dari hulu ke hilir.  

    Melalui kolaborasi ini, diharapkan tumbuh kesadaran yang lebih mendalam di kalangan pelaku industri kemasan mengenai peran penting mereka dalam menjaga kehalalan produk. Kemasan tidak lagi dianggap sebagai elemen pelengkap semata, melainkan sebagai bagian krusial dalam rantai produksi yang jika tidak diperhatikan dapat menjadi titik kritis yang berpotensi membatalkan status halal sebuah produk secara keseluruhan. 

    Menurut Corporate Secretary LPH LPPOM, Raafqi Ranasasmita, kemasan menjadi hal penting sebagai penjamin produk halal, jika mengandung bahan yang tidak halal, bisa merubah status kehalalan suatu produk, karena adanya kontaminasi. LPPOM sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) terus berkomitmen untuk memastikan semua produk terjamin kehalalanya dari mulai bahan baku hingga menjai produk akhir. 

    “Kemasan bisa mengandung bahan yang kritis, yaitu tallow atau lemak olahan yang bisa berasal dari sumber hewan yang halal ataupun non halal, sehinga jika produknya halal tetapi kemasannya diragukan kehalalnya maka status kehalalan produk tersebut juga diragukan,” ungkap Raafqi. 

    Kemasan memainkan peran penting dalam menjaga kehalalan produk, karena kontaminasi bahan yang tidak halal pada kemasan dapat mengubah status kehalalan suatu produk secara keseluruhan. Oleh karena itu, LPPOM sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) berkomitmen penuh untuk memastikan bahwa setiap langkah dalam rantai produksi, mulai dari pemilihan bahan baku hingga produk akhir yang terjaga kehalalannya. 

    Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat akan gaya hidup halal dan sehat, produk yang telah bersertifikat halal cenderung lebih dipercaya dan dipilih oleh konsumen, tidak hanya dari kalangan Muslim, tetapi juga non-Muslim yang mengutamakan standar mutu dan higienitas. Dalam persaingan industri yang semakin ketat, kepercayaan konsumen menjadi aset penting, dan sertifikasi halal terbukti mampu meningkatkan loyalitas serta memperluas pangsa pasar, baik di dalam negeri maupun di kancah global.  

    Bibit Haryanto, General Manager PT IMCP, menyampaikan hal ini dalam seminar bertema “Penerapan Kemasan Halal pada Industri Makanan dan Minuman (Pangan) dan Produk Lainnya” yang diselenggarakan LPH LPPOM pada 18 Juli 2025 di Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang. Acara ini merupakan kolaborasi antara LPH LPPOM dan Indonesian Packaging Federation (IPF).  

    “Setelah memperoleh sertifikasi halal, tingkat kepercayaan pelanggan mengalami peningkatan yang signifikan, yakni sekitar 20–30%. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen semakin peduli terhadap aspek kehalalan produk, terutama dalam industri makanan, minuman, dan produk konsumen lainnya. Sertifikasi halal tidak hanya menjadi jaminan keamanan dan kepatuhan terhadap syariat, tetapi juga menjadi nilai tambah yang memperkuat daya saing di pasar,” ujar Bibit. 

    Melalui seminar ini, LPH LPPOM dan IPF berharap pelaku industri kemasan semakin memahami bahwa sertifikasi halal tidak hanya terbatas pada bahan baku utama, tetapi juga mencakup seluruh elemen, termasuk kemasan. Hal ini sejalan dengan regulasi halal yang semakin ketat, baik di Indonesia maupun di pasar global. 

    Kegiatan ini juga menjadi ajang strategis bagi pelaku usaha untuk berdiskusi langsung dengan para ahli dan pemangku kepentingan. Dalam forum ini, LPPOM membuka ruang dialog dan konsultasi teknis yang ditujukan kepada pelaku industri, guna menjawab berbagai tantangan dalam proses sertifikasi halal kemasan.  

    Tak hanya itu, layanan LPH LPPOM kini semakin mudah dijangkau. Pelaku usaha juga bisa mendapatkan informasi publik terkait proses sertifkasi halal secara mudah dan cepat melalui layanan Customer Care di Call Center 14056 dan WhatsApp 0811-1148-696. LPPOM juga menggelar kelas daring “Pengenalan Sertifikasi Halal” (PSH) gratis secara rutin tiap minggu ke-2 dan ke-4 setiap bulan melalui halalmui.org/pengenalan-sertifikasi-halal. (ZUL) 

    Lembaga Pemeriksa Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPH LPPOM) jelaskan regulasi sertifikasi halal BPJPH yang berlaku di Indonesia bagi pelaku usaha farmasi global di Kuala Lumpur, Malaysia. Hal ini dianggap penting sebagai langkah awal pemenuhan regulasi bagi perusahaan industri farmasi dan obat-obatan impor yang akan memperdagangkan produknya di Indonesia.

    Dalam rangkaian agenda Convention on Pharmaceutical Ingredients (CPHI) Malaysia 2025, Lembaga Pemeriksa Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPH LPPOM) hadir untuk memberikan pemahaman mendalam terkait regulasi sertifikasi halal di Indonesia, khususnya bagi pelaku usaha produk farmasi dan obat-obatan.

    Pemaparan ini menjadi langkah strategis dalam menyambut diberlakukannya kewajiban sertifikasi halal di Indonesia, sebagaimana diatur oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Peraturan tersebut mencakup berbagai sektor, termasuk produk farmasi, suplemen, dan obat-obatan, yang akan berlaku secara bertahap dan berdampak langsung pada perusahaan global yang mengekspor produknya ke Indonesia.

    Halal Partnership and Audit Services Director of LPPOM, Dr. Ir. Muslich, M.Si., menyampaikan hal ini dalam seminar bertema “ASEAN Halal Pharmaceutical Industry Update” yang diselenggarakan LPH LPPOM pada 18 Juli 2025 di Malaysia International Trade and Exhibition Centre (MITEC), Kuala Lumpur, Malaysia. Acara ini merupakan kolaborasi antara LPH LPPOM dan Informa Markets.

    Seperti yang telah diketahui, Indonesia menerapkan wajib sertifikasi halal bagi seluruh produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di Indonesia. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH)  yang diperbaharui dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 dan turunannya. Dalam regulasi tersebut, disebutkan bahwa seluruh produk yang beredar di Indonesia wajib disertifikasi halal oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), kecuali bagi produk yang memang diharamkan.

    Dalam implementasinya, pemerintah Indonesia menerapkan penahapan wajib halal. Khusus untuk produk obat-obatan dan farmasi yang akan habis masa tenggang penahapan wajib halal yang pertama pada 17 Oktober 2026. Artinya, pada waktu tersebut, seluruh produk obat-obatan tradisional (jamu) dan suplemen termasuk juga produk rekayasa genetika (GMO) beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal.

    Kewajiban produk obat-obatan terdiri atas beberapa tahapan. Penahapan kewajiban sertifikasi halal untuk industri obat-obatan diawali oleh industri obat-obatan tradisional (jamu) dan suplemen termasuk juga produk rekayasa genetika (GMO) di tahun 2026. Hal ini dilanjutkan wajib halal untuk obat bebas yang jatuh tempo di tahun 2029. Terakhir, tahun 2034 batas terakhir kewajiban sertifikasi halal obat-obatan, yakni untuk kelompok produk obat keras (kecuali psikotropika). Ruang lingkup kewajiban sertifikasi halal termasuk jasa yang terkait obat, seperti jasa maklon, logistik, dan retailer (penjualan).

    “Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 230 juta Muslim, merupakan pasar farmasi yang sangat potensial di Asia Tenggara. Sertifikasi halal bukan sekadar bentuk kepatuhan terhadap regulasi, tetapi merupakan kunci membangun kepercayaan antara produsen dan konsumen. Ini tentang memberikan jaminan, kepastian, dan rasa aman bagi masyarakat Muslim dalam mengonsumsi produk yang halal,” ungkap Muslich

    Dengan menggandeng pelaku industri farmasi di Malaysia dan kawasan Asia Tenggara lainnya, LPH LPPOM menekankan pentingnya pemahaman terhadap sertifikasi halal dan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH). Ini mencakup proses pendaftaran, audit, hingga implementasi manajemen halal dalam proses produksi.

    Pihaknya menyampaikan bahwa dalam sertifikasi halal, proses produksi obat-obatan perlu dipastikan bahan baku, bahan penolong serta bahan lainnya berasal dari sumber yang halal dan suci, tidak terkena najis dan ditangani sesuai syariat Islam selama proses produksi berlangsung, tentunya itu semua dapat dibuktikan pada saat audit.

    Dalam forum ini, LPH LPPOM juga membuka ruang dialog dan konsultasi teknis dengan para pelaku industri yang tengah bersiap untuk menyesuaikan diri terhadap regulasi halal Indonesia, yang akan menjadi salah satu faktor utama dalam perizinan impor dan distribusi produk farmasi di Tanah Air.

    Selain itu Muslich juga menjelaskan terkait regulasi kewajiban sertifikasi halal di Indonesia pada saat ini berada di bawah tanggung jawab BPJPH. Sedangkan, keputusan fatwa sertifikasi halal ada di bawah tanggung jawab Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (KF MUI). Tentunya keputusan fatwa sertifikasi halal dapat diputuskan berdasarkan hasil laporan audit yang dilakukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dalam hal ini LPPOM.

    “Jika kriteria sertifikasi halal obat-obatan dipenuhi, maka fatwa dalam bentuk ketetapan halal akan diterbitkan. Sedangkan jika tidak memenuhi kriteria tetapi ada data yang mendukung, seperti adanya kondisi kebutuhan mendesak (hajah syar’iyyah) atau kondisi darurat syar’i (dharurah syar’iyyah), maka fatwa penggunaanya akan diterbitkan ,” ujar Muslich.

    Acara ini dihadiri ribuan peserta dari pelaku usaha hingga professional seperti para ahli farmasi, peneliti, dosen, mahasiswa dan pengembangan yang datang dari berbagai penjuru dunia. Peserta turut berantusias melakukan tanya jawab serta konsultasi dengan LPPOM terkait permasalahan sertifikasi halal khususnya produk obat-obatan dan farmasi.

    LPPOM melakukan berbagai upaya dalam rangka mendorong terwujudnya wajib halal bagi segala kategori produk sesuai arahan pemerintah. Hal ini dilakukan mulai dari edukasi pelaku usaha hingga sejumlah program untuk memudahkan pelaku usaha dalam melakukan sertifikasi halal secara cepat dan mudah, termasuk memberikan fasilitasi sertifikasi halal secara gratis.  

    Tak hanya itu, layanan LPPOM kini semakin mudah dijangkau. Pelaku usaha juga bisa mendapatkan informasi publik terkait proses sertifkasi halal secara mudah dan cepat melalui layanan Customer Care di Call Center 14056 dan WhatsApp 0811-1148-696. LPPOM juga menggelar kelas daring “Pengenalan Sertifikasi Halal” (PSH) gratis secara rutin tiap minggu ke-2 dan ke-4 setiap bulan melalui halalmui.org/pengenalan-sertifikasi-halal. (ZUL)

    Di tengah maraknya tren kuliner viral yang informasinya berseliweran di media sosial, masyarakat terutama generasi muda kini semakin mudah tergoda untuk mencoba restoran hanya karena tampilan Instagramable atau berdasarkan hasil review dari food vlogger favorit. Namun, di balik popularitas dan antrean panjang, ada satu pertanyaan penting yang sering terabaikan: sudahkah restoran tersebut berstatus halal? 

    Di era digital saat ini, tren kuliner berkembang begitu cepat. Setiap hari, ada saja restoran atau menu baru yang viral di media sosial. Entah karena plating yang estetik, review selebgram yang menggoda, atau antrean panjang yang mengundang ‘wajib dicoba’. Tak sedikit masyarakat, khususnya anak muda, yang langsung tergoda untuk mencoba tanpa pikir panjang—asal ramai dan kelihatan enak, langsung meluncur. Inilah yang disebut dengan fenomena FOMO (Fear of Missing Out), yaitu rasa takut tertinggal tren yang mendorong seseorang untuk ikut-ikutan meskipun belum tentu sesuai dengan nilai yang diyakini. 

    Sayangnya, dalam urusan memilih kuliner, banyak yang terlalu fokus pada soal rasa dan visual tanpa menimbang aspek yang jauh lebih penting, yakni kehalalan produk. Padahal bagi umat Islam, halal bukan hanya perkara simbolik, melainkan prinsip utama dalam gaya hidup. Tanpa disadari, kita bisa saja menyantap makanan yang mengandung bahan haram atau terkontaminasi, hanya karena tergoda promosi atau percaya begitu saja pada klaim halal sepihak. 

    Inilah yang menjadi alarm penting bagi kita sebagai konsumen Muslim untuk lebih kritis dan bijak. Jangan sampai rasa penasaran pada makanan viral justru membuat kita terjebak dalam krisis etika konsumsi. Karena sejatinya, yang viral belum tentu halal. 

    Klaim Halal Sepihak Bukan Jaminan 

    Banyak  narasi klaim sepihak pelaku usaha, yang dikesankan seakan-akan bahwa resto tersebut statusnya halal.  Beberapa diantaranya seperti “no pork no lard”, “Chef kami muslim”, “muslim friendly”, “no alcohol”, dan sebagainya.  Klaim ini, yang biasanya terinspirasi dari praktik restoran di luar negeri, dianggap mampu memberi rasa aman bagi konsumen Muslim karena menandakan tidak adanya kandungan babi atau minyak babi dalam makanan. Beberapa pemilik restoran bahkan meyakini bahwa klaim ini cukup untuk memberikan jaminan halal. 

    Padahal, menurut Direktur Utama LPPOM, Muti Arintawati,  klaim halal sepihak tidak serta-merta menjamin kehalalan suatu produk. “Kehalalan suatu makanan tidak hanya bergantung pada ketiadaan daging babi atau turunannya, tetapi juga pada keseluruhan proses produksinya, mencakup pemilihan bahan,  distribusi bahan (dari supplier ke gudang  dan dari gudang ke outlet) atau menu (dari dapur pusat ke outlet), pengolahan (baik di dapur pusat maupun outlet), hingga penyajian atau penjualan,” ujarnya. 

    Sebagai contoh, daging sapi yang dipersepsikan  halal, statusnya bisa menjadi tidak halal apabila penyembelihannya tidak sesuai syariat Islam. Belum lagi jika peralatan masak tidak dipisahkan dengan makanan non-halal atau  jika terjadi kontaminasi dengan najis seperti  bahan atau menu yang terkontaminasi di fasilitas transportasi dan penyimpanannya karena bercampur dengan bahan non-halal/najis. Kemungkinan kontaminasi najis juga bisa dari alat makan atau alat masak yang digunakan bersama antara menu halal dan tidak halal. 

    Misalnya pada outlet yang menggunakan fasilitas bersama pada lokasi pujasera atau foodcourt. Pengelola pujasera biasanya memiliki kebijakan untuk menyediakan alat makan dan tempat pencuciannya secara bersama dengan penyewa lainnya, yang mungkin saja tidak semuanya halal. Setiap produk atau menu yang terkontaminasi bahan najis maka statusnya menjadi haram.  Dalam kasus seperti ini, kehalalan tidak bisa dipastikan tanpa adanya proses verifikasi resmi dari lembaga yang berwenang. 

    Banyak yang Mengira Halal, Tapi Ternyata Tidak 

    Dian Widayanti, seorang content creator yang aktif mengedukasi pentingnya produk halal, menyebut masih banyak restoran yang mengklaim halal secara sepihak. “Ternyata masih sering ditemukan penggunaan bahan-bahan yang seharusnya tidak digunakan,” kata Dian. Beberapa bahan yang sering luput dari perhatian, antara lain: 

    • Angciu (arak masak): Salah satu jenis arak masak popular. Selain angciu ada sake dan jenis arak lainnya yang beredar. Umumnya digunakan pada Chinese Food, namun tidak jarang juga ditambahkan pada nasi goreng yang dijual di pinggir jalan 
    • Rhum: Umum digunakan dalam cake, roti, atau dessert. Meski disebut “essence” atau “non-alkohol”, jika namanya tetap “rhum”, maka tidak diperbolehkan untuk disertifikasi halal. Hal ini berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Sensory Profile (rasa dan aroma), Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal. Salah satu poinnya menyebutkan bahwa poduk tidak dapat disertifikasi halal ketika produk memiliki memiliki nama yang mengarah pada yang diharamkan atau memiliki rasa/aroma (flavour) yang sama atau mengarah pada produk yang diharamkan. termasuk minuman keras seperti rhum.    
    • Mirin: Digunakan di banyak restoran Jepang, terutama sebagai bahan campuran nasi sushi. “Kalau ada yang bilang mereka pakai mirin halal, pastikan itu benar-benar bukan mirin, karena sejatinya tidak ada istilah mirin halal,” tegas Dian. 
    • Kahlua dan Irish Cream: Minuman alkohol yang kerap dicampurkan dalam kopi atau dessert seperti tiramisu.  Kahlua dan irish cream jelas tidak boleh menjadi bagian dari produk halal karena status keduanya haram dan najis.   
    • Kuas bulu  hewan: Banyak restoran mungkin masih menggunakan kuas yang berasal dari bulu atau rambut hewan.  Hal ini bisa diuji ketika kuas tersebut dibakar, baunya seperti rambut atau zat tanduk terbakar. Karena tidak ada dokumen yang  bisa menjelaskan dan memastikan asal bulunya, ada kemungkinan berasal dari bulu babi. Dian menyarankan untuk memilih kuas silikon atau sintetis food grade

    “Kadang-kadang, mereka bukan dengan sengaja menjual makanan non-halal, tapi banyak yang belum tahu bahwa bahan-bahan ini sebetulnya tidak halal,” jelas Dian. Artinya, edukasi kehalalan tidak hanya penting bagi konsumen, tetapi juga bagi para pelaku usaha kuliner. 

    Saat ini, kebutuhan produk halal bagi konsumen muslim sudah diakomodir oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan UU no 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja beserta regulasi turunannya, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024. Regulasi ini menyebutkan bahwa seluruh produk yang beredar wajib bersertifikasi halal, kecuali bagi produk haram. Namun untuk produk haram pelaku usaha tetap mempunyai kewajiban menginformasikan kepada konsumen bahwa produknya memang tidak halal.  

    Untuk membantu konsumen dalam memverifikasi produk halal, LPPOM menyediakan platform Cari Produk Halal yang bisa diakses melalui situs www.halalmui.org atau website BPJPH di https://bpjph.halal.go.id. Konsumen dapat dengan mudah mengecek apakah suatu restoran atau produk benar-benar sudah tersertifikasi halal. 

    Sementara bagi pelaku usaha yang masih bingung memulai proses sertifikasi halal, LPPOM membuka layanan konsultasi melalui Call Center 14056 atau WhatsApp di 0811-1148-696. Selain itu, LPPOM secara rutin menyelenggarakan kelas Pengenalan Sertifikasi Halal (PSH) secara gratis setiap minggu ke-2 dan ke-4, yang dapat diikuti melalui https://halalmui.org/pengenalan-sertifikasi-halal/

    Di tengah gempuran tren kuliner yang terus berubah dan viral, sudah saatnya kita tidak sekadar ikut-ikutan. Jangan hanya karena viral, lalu kita abai terhadap aspek kehalalan. Pastikan restoran atau produk yang kita pilih tidak hanya menggoda di mata dan lidah, tapi juga bersih, berkualitas, dan halal. (YN)

    Di balik sertifikat halal sebuah restoran,  terdapat pengalaman pelaku usaha dalam mengikuti sebuah proses yang di dalamnya terdapat  tantangan sekaligus peluang untuk memastikan bahan baku, proses produksi, hingga produk  sudah memenuhi persyaratan sertifikasi halal BPJPH. Bagi pelaku usaha mengikuti proses ini menjadi bukti komitmen dalam upaya membangun kepercayaan pelanggan, terutama dengan dukungan sistem dan pendampingan dari LPH LPPOM

    Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya makanan halal semakin meningkat. Dengan meningkatnya kesadaran konsumen tersebut, di samping ada kewajiban regulasi, tentu membuat pelaku usaha merasa perlu untuk sesegera mungkin memenuhi tuntutan konsumen.     

    Karena upaya memenuhi tuntutan konsumen dan kewajiban regulasi tersebut, sudah semakin banyak restoran yang mempunyai sertifikat halal.  Konsumen yang peduli halal jelas akan memastikan sertifikat halal terpajang di restoran yang menunya akan mereka beli.   

    Namun di balik  selembar sertifikat halal yang dipajang di depan restoran, ada perjalanan dalam upaya memahami persyaratan, mendokumentasikanya dalam bentuk manual Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH), dan menerapkannya dalam kegiatan operasional perusahaan.  

    Kisah seperti ini dialami oleh banyak pelaku usaha, salah satunya adalah Sevenpine Kitchen, sebuah kafé berkonsep alam yang terletak di kawasan Tamansari, Bogor. Awalnya, lokasi yang strategis dan suasana alam yang menenangkan dianggap sudah cukup menjadi daya tarik. Namun ternyata, pengunjung justru mulai mempertanyakan aspek lain yang lebih mendasar, yakni kehalalan produk. 

    “Semakin sering kami menerima pertanyaan tentang kehalalan makanan dan minuman yang kami sajikan,” ujar Fitri Fuzawati, Koordinator Auditor Halal Internal di Sevenpine. Pertanyaan ini bukan sekadar basa-basi, tapi menjadi bentuk kekhawatiran dan ekspektasi konsumen muslim yang semakin tinggi soal kehalalan. 

    Mendapati hal tersebut, pemilik usaha pun merasa perlu menjawab kekhawatiran itu secara serius. Apalagi, sebagai seorang muslim, komitmen terhadap kehalalan produk bukan hanya soal bisnis, tetapi juga soal tanggung jawab moral. 

    Sadari Tantangan, Dapat Dukungan dan Solusi dari LPH LPPOM 

    Mengurus sertifikat halal, tentu bukan perkara instan. Banyak pelaku usaha yang sempat ragu karena anggapan terhadap proses yang dianggap rumit dan melelahkan. Kekhawatiran seperti, “Nanti harus ganti bahan baku gak ya?” atau “Kalau supplier saya belum halal gimana?” seringkali membuat niat baik tertunda. 

    Fitri mengaku, timnya pun sempat merasa kewalahan. “Kami harus mulai dari mendata ulang bahan baku, mengecek semua proses produksi, memastikan tidak ada potensi kontaminasi silang, bahkan memperbaiki beberapa kebiasaan lama yang kurang sesuai dengan prinsip halal,” ungkapnya. 

    Namun justru dari situlah titik balik dimulai. Proses sertifikasi halal ternyata bukan sekadar pemeriksaan untuk memastikan bahwa pelaku usaha sudah memenuhi kriteria Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH), tapi juga ada aspek pembelajaran. Dalam proses itu, mereka didampingi oleh tim profesional dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) LPPOM, yang memberikan bimbingan secara teknis dan sistematis. 

    Salah satu kemudahan besar yang dirasakan adalah sikap edukatif dari auditor dan pendamping LPH LPPOM. “Mereka menjelaskan setiap langkah secara sabar. Jadi kami bukan cuma diperiksa, tapi juga diajak memahami kenapa ini penting dan bagaimana menjalankannya secara berkelanjutan,” kata Fitri.  

    Terlebih, pihaknya juga menekankan bahwa proses pemeriksaan halal di LPH LPPOM juga sangat transparan. Sevenpine merasakan dengan dukungan LPH LPPOM, proses pemeriksaanya  menjadi praktis dan efisien.  

    Sertifikasi halal, dalam praktiknya, bukan semata-mata hasil akhir, tapi sebuah transformasi cara berpikir—dari yang semula hanya fokus pada rasa dan tampilan, kini bergeser ke aspek kehalalan dan kebaikan (thayyib) secara menyeluruh. 

    Dunia kuliner kini tak lagi hanya soal rasa yang enak. Konsumen semakin kritis. Mereka ingin tahu dari mana bahan makanan berasal, bagaimana prosesnya, dan apakah semua itu sesuai dengan nilai yang mereka yakini. Dalam konteks ini, sertifikat halal menjadi simbol kejujuran dan transparansi. 

    Sertifikasi halal bukan hanya untuk usaha besar. Justru, usaha mikro dan menengah seperti kafe, warung, hingga katering rumahan sangat diuntungkan dengan sertifikasi ini. Kepercayaan yang dibangun akan membuka pasar yang lebih luas dan loyalitas pelanggan yang lebih kuat. 

    Sevenpine hanya salah satu dari sekian banyak usaha kuliner yang akhirnya mengambil langkah ini. Tantangannya ada, tapi bisa  dilalui. Apalagi dengan adanya pendampingan dari lembaga yang kompeten dan sistem yang semakin terintegrasi. 

    Sertifikasi Halal, Langkah yang Layak Ditempuh 

    Kini, setelah memperoleh sertifikat halal pada Maret 2024, Sevenpine menyadari bahwa sertifikasi ini bukan garis akhir, tapi justru gerbang menuju peningkatan kualitas. Tidak hanya dari sisi produk, tapi juga manajemen dan operasional secara keseluruhan. 

    Bagi pelaku usaha lain, pengalaman seperti ini bisa menjadi inspirasi. Bahwa tantangan akan selalu ada, tapi dengan kemauan belajar dan dukungan yang tepat, menjamin kehalalan produk dengan menerapkan SJPH dapat terwujud. Bahkan, itu bisa menjadi nilai tambah yang membedakan usaha kita dari yang lain. 

    Di tengah tren gaya hidup halal dan meningkatnya kepedulian konsumen muslim, sertifikasi halal bukan sekadar legalitas—melainkan bentuk komitmen yang nyata. alam komitmen itulah, usaha kecil sekalipun bisa tumbuh menjadi besar. 

    Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, LPH LPPOM membuka ruang diskusi bagi setiap pelaku usaha restoran yang ingin melakukan sertifikasi halal melalui layanan Customer Care pada Call Center 14056 atau WhatsApp 0811-1148-696.  

    Selain itu, pelaku usaha juga dapat mendalami alur dan proses sertifikasi halal dengan mengikuti kelas Pengenalan Sertifikasi Halal (PSH) secara gratis yang diselenggarakan secara rutin setiap pada minggu ke-2 dan ke-4 setiap bulannya https://halalmui.org/pengenalan-sertifikasi-halal/

    LPH LPPOM juga mengimbau konsumen muslim agar bersikap selektif dalam memilih produk. Salah satunya dengan memverifikasi kehalalan produk melalui website www.halalmui.org atau  website BPJPH https://bpjph.halal.go.id/. (ZUL)