Search
Search

Durian Mengandung Alkohol, Bagaimana Hukumnya?

Diasuh oleh: Dr.K.H. Maulana Hasanuddin, M.A. (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat); dan Drs.H. Sholahudin Al-Aiyubi, M.Si. (Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat).

Seperti diketahui, buah durian menjadi buah kesukaan bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Namun, karena buah ini mengandung alkohol, tidak semua orang bisa menikmatinya. Ada yang baru mengonsumsinya satu-dua biji sudah mabuk,  karena durian itu sangat tua/masak, sehingga mengandung alkohol dengan kadar yang tinggi. Ada pula  yang bisa makan durian sampai beberapa buah, amat lahap, tapi tidak ada sama sekali pengaruh fisik pada diri mereka.

Buah durian yang mengandung alkohol dengan kadar yang relatif tinggi, sehingga dapat menyebabkan orang yang mengonsumsinya menjadi mabuk. Oleh karenanya, bagaimana hukum mengonsumsi buah durian yang mengandung alkohol dengan kadar yang tinggi itu, dalam tinjauan hukum Islam? Berikut penjelasannya.

Pertama, dapat dijelaskan, menurut para ulama di Komisi Fatwa MUI, alkohol itu ada yang diharamkan, dan ada pula yang tidak haram. Selanjutnya, khamar yang dibuat dan diproses dari anggur, secara asholah, maupun dari yang selain anggur, seperti tuak, minuman tradisional di Sumatra; atau sake di Jepang, secara eksplisit dan tegas diharamkan dalam Islam. Dalam proses pembuatannya, mulai dari awal pengolahan, fermentasi sampai produk jadi, memang dengan sengaja dimaksudkan untuk menghasilkan minuman yang memabukkan, atau khamar.

Secara ringkas dan tegas, itu memang merupakan usaha atau industri untuk membuat khamar. Menurut Kaidah Fiqhiyyah, khamar itu, banyak atau sedikitnya, sama hukumnya: haram. Tidak ada keraguan, tidak pula ada tawar-menawar.

Selanjutnya sebagian ulama, seperti Imam Syafi’i berpendapat khamar itu haram dan najis, berdasarkan pada nash ayat: yang menyebutnya “Rijsun”, artinya najis secara materi. Dan ini merupakan pendapat para ulama di Komisi Fatwa MUI, untuk kemudahan dalam implementasinya bagi masyarakat, juga lebih mudah untuk dikontrol. sehingga akan dihindarkan secara total.

Berikutnya, Imam Abu Hanifah juga berpendapat khamar itu pasti mengandung alkohol dan haram; namun alkohol belum tentu khamar. Sebagai contoh, buah durian yang telah masak, itu mengandung alkohol, bahkan mungkin kadar kandungan alkoholnya cukup tinggi, sehingga ada orang yang tidak kuat lalu menjadi mabuk karena memakannya. Demikian pula buah-buahan yang matang dan dibuat jus, itu mengandung alkohol. Namun para ulama tidak ada yang mengharamkan buah durian atau jus buah.

Sedangkan dalam kaidah Fiqhiyyah, pada dasarnya yang disebut Khamar itu adalah minuman dari perasan anggur yang difermentasi. Dan dalam Ijma’Ulama, kesepakatan semua ulama menyebutkan minuman itu Khamar dan haram untuk diminum. Tapi kalau bukan dari perasan anggur, para ulama berbeda pendapat. Ada banyak ulama yang menyebutnya Khamar dengan kaidah Qiyash, namun ada pula ulama yang menyebutnya bukan Khamar, tetapi Nabidz.

Di antaranya adalah pendapat Imam Hanafi. Dengan pendapat ini, maka ketentuannya adalah kalau meminum Nabidz itu tidak memabukkan, maka hukumnya tidak haram. Tetapi kalau sampai menyebabkan mabuk, maka hukumnya haram. Demikian pendapat sebagian ulama dalam Madzhab Hanafi. Namun selain Madzhab Hanafi, para ulama sepakat menyebut hukumnya sama dengan Khamr, dan haram diminum.

Selanjutnya, di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, yang disebut Khamr dan diharamkan secara tegas itu adalah minuman. Sedangkan buah durian bukan minuman. Dan mengonsumsi/makan apapun, kalau bukan minuman, meskipun mengandung alkohol, apalagi itu buah durian masih alami, tidak melalui proses pengolahan apapun, maka pada dasarnya halal.

Dan memang, sejatinya, semua Mazru’at, tumbuh-tumbuhan atau produk nabati itu halal. Kecuali kalau mengandung Khobaits, keburukan atau bahaya. Perhatikanlah makna ayat Al-Qur’an: “…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…” (QS. Al-A’raaf [7]:157).

Kalau ada kasus orang makan buah durian sampai mabuk, maka itu dapat dipahami sebagai perbuatan yang berlebihan, melampaui batas. “…dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebih-lebihan (melampaui batas). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. 7: 31). Maksudnya: janganlah berlebih-lebihan atau melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh, dan jangan pula melampaui batas dalam mengonsumsi makanan walaupun dihalalkan.

Atau memang kondisi orang tersebut tidak fit sehingga harus pantang untuk memakan durian, mungkin karena penyakit yang dideritanya. Seperti penyakit darah tinggi, tekanan jantung, dll. Maka bagi orang itu, jadi terlarang atau haram memakan durian, karena akan membahayakan bagi dirinya. “…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. 2:195).

Dalam hukum Islam sangat jelas kaidahnya; “Laa dhoror walaa dhiror” (tidak boleh menimbulkan atau menyebabkan bahaya bagi diri sendiri, dan tidak boleh pula membahayakan orang lain). Juga kaidah: “Adh-dhororu yuzal” (bahaya itu harus dihilangkan). Kaidah ini menjadi landasan utama untuk kemaslahatan dalam kehidupan. Secara garis besar Kaidah Fiqhiyyah ini melarang segala perbuatan yang mendatangkan Mudharat/Bahaya.

Dan larangan memakan buah durian ini bersifat kasuistis, tertentu bagi orang tersebut saja. Tidak berlaku secara umum. Sebab, secara umum, tumbuh-tumbuhan atau produk nabati yang ada di bumi halal dan boleh dimanfaatkan. Perhatikanlah makna ayat: “Dan Dia (Allah) telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. 45: 13).

Tuntunan ayat semacam ini diulang beberapa kali di dalam Al-Qur’an. Di antaranya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu semuanya…” (QS. 2: 29).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *