Oleh: Drs. H. Aminudin Yakub, M.A.
(Dosen UIN Syahid Jakarta, Anggota KF MUI)
Penetapan halal itu harus dilakukan oleh lembaga yang otoritatif, memiliki otoritas, kewenangan dan kemampuan, atau kapasitas keilmuan yang diakui secara legal oleh masyarat maupun pemerintah, dengan representasi para ahli sains maupun para ulama.
Lembaga otoritatif tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), dimana pada MUI ini merepresentasikan ahli sains dan para ulama yang berkolaborasi dalam penetapan produk halal yang berkumpul pada wadah Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dan Komisi Fatwa MUI.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pangan yang terus berlangsung hingga kini, maka untuk menentukan kehalalan suatu produk, dibutuhkan kajian yang mendalam, baik dari aspek sains maupun Kaidah Fiqhiyyah atau hukum Islam. Sebab, saat ini, seekor hewan, misalnya, dapat dimanfaatkan bukan hanya dagingnya, tetapi juga seluruh bagian tubuhnya. Bahkan termasuk juga bulunya dapat dimanfaatkan menjadi produk pangan jadi yang dikonumsi manusia. Perhatikanlah makna ayat: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tecekik, yang dipukul, yang jatuh ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali kamu sempat menyembelihnya.” (Q.S. Al-Maidah, 5: 3).
Dalam ayat itu disebutkan tentang daging babi. Karena di masa silam, yang lazim dimakan dari hewan itu relatif hanyalah dagingnya. Namun di masa kini, dengan perkembangan sain dan teknologi pangan, ternyata semua bagian dari babi itu bisa dimanfaatkan untuk dimakan secara langsung, maupun diolah dan diproses menjadi bahan pangan, obat-obatan dan kosmetika. Seperti kulitnya untuk kerupuk atau bahkan kolagen, untuk bahan kosmetik. Begitu pula kulit dan tulangnya diolah menjadi gelatin, untuk bahan cangkang kapsul. Darah, serum, bahkan juga enzimnya, untuk kepentingan medis, atau sebagai media untuk pengembang-biakan mikroba. Termasuk jeroan, bahkan juga bulunya., dll.
Pemanfaatan yang demikian luas ini, jelas banyak tidak dipahami oleh masyarakat umum. Seperti pemanfaatan bulu hewan menjadi bahan L-Sistein yang dipergunakan untuk pengembang dalam proses pembuatan roti. Maka tentu harus diketahui jenis hewan yang bulunya diolah menjadi Sistein itu, apakah berasal dari hewan yang halal, seperti sapi dan/atau kambing; ataukah dari hewan yang diharamkan dalam Islam, seperti babi. Lebih lanjut lagi, meskipun hewan itu halal, namun perlu diteliti lebih lanjut, apakah ia disembelih sesuai dengan ketentuan hukum Islam, ataukah tidak. Sebab, kalau penyembelihannya tidak sesuai dengan kaidah syariah, maka ia pun dihukumi haram juga untuk konsumsi umat Muslim.
Perlu Ditelaah dari Aspek Syariah
Selanjutnya juga, kalau dulu, hewan yang dikonsumsi itu mungkin terbatas pada jenis ayam, kambing, domba, sapi dan unta, misalnya. Namun kini, berkembang sangat beragam. Termasuk serangga Cochineal yang dipergunakan untuk pewarna makanan. Nah, itu kan tentu perlu ditelaah dari aspek syariahnya. Agar umat Muslim terlindungi dari mengkonsumsi bahan-bahan yang ternyata diharamkan.
Oleh karena itu, kalau ada satu jenis makanan, misalnya roti, tentu harus ditelaah secara mendalam. Pertama ditelaah bahan-bahan bakunya, seperti olahan gandum, gula, dll., bagaimana kehalalannya. Berikutnya bahan-bahan penunjang, seperti bread improver (bahan untuk pengembang roti) yang ternyata terbuat dari L-Sistein. Setelah ditelaah, ternyata bahan L-Sistein itu terbuat dari bulu atau bahkan bisa juga dari rambut manusia. Maka perlu dikaji lebih mendalam tentang aspek kehalalannya. Karena para ulama telah sama sepakat bahwa bahan untuk konsumsi yang dibuat dari organ manusia, itu haram hukumnya. Berikutnya lagi, roti itu memiliki warna-warni yang sangat menarik. Maka zat pewarnanya juga harus diteliti. Demikian seterusnya.
Harus Dilakukan oleh Lembaga yang Otoritatif
Hal itu semua menunjukkan bahwa dunia pangan masa kini bagaikan hutan belantara. Segala sesuatu bisa diolah untuk bahan baku maupun bahan penunjang dalam proses produksi pangan. Dari sini, maka penetapan halal itu harus dilakukan oleh lembaga yang otoritatif, memiliki otoritas, kewenangan dan kemampuan, atau kapasitas keilmuan yang diakui secara legal oleh masyarat maupun pemerintah, dengan representasi para ahli sains maupun para ulama.
Lembaga otoritatif tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), dimana pada MUI ini merepresentasikan ahli sains dan para ulama yang berkolaborasi dalam penetapan produk halal yang berkumpul pada wadah Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dan Komisi Fatwa MUI.
Secara otoritas, berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 982 Tahun 2019 tentang pelayanan sertifikasi halal yang dikeluarkan pada 12 November 2019, LPPOM MUI berwenang dalam melakukan pemeriksaan/menguji kehalalan suatu produk. Sedangkan MUI, dalam hal ini Komisi Fatwa MUI berwenang dalam menetapkan hukum kehalalan suatu produk.
Beragamnya jenis pangan yang diolah itu, sebagiannya berpangkal dari intuisi atau naluri manusia yang memiliki sifat rasa ingin tahu yang tinggi, cepat bosan dengan hal-hal yang telah dianggap biasa, dan karenanya selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Bagi kalangan ilmuwan, rasa ingin tahu itu mendorong mereka untuk melakukan penelitian dan eksperimentasi. Misalnya mereka melihat ada binatang yang sebelumnya tidak dimanfaatkan, lalu mereka para ilmuwan itu pun berusaha melakukan uji-coba untuk memanfaatkannya. Sehingga berkembang berbagai jenis pangan olahan dengan beragam bahan yang sebelumnya tidak dimanfaatkan,. Sedangkan bagi kalangan produsen, naluri manusia yang selalu ingin mencoba yang baru, juga dimanfaatkan sebagai peluang pasar. Dari sini maka mereka pun membuat beragam varian makanan olahan dari hasil penelitian para ilmuwan itu, dengan beragam bentuk, rasa dan warna yang menarik.
Maka terkait dengan Fiqh Ath’immah, Fiqh tentang makanan, pertama, Al-Quran dan Al-Hadits menjelaskan sesuatu yang haram itu dalam beberapa bentuk. Pertama dengan disebut secara langsung jenis bendanya. Seperti babi, darah, dan bangkai. Sebagaimana dalam ayat yang telah disebutkan di atas.
Berikutnya, ada yang diharamkan itu karena jenisnya. Seperti jenis hewan yang buas, bertaring, mencengkeram, memangsa, dll. Perhatikanlah makna hadits Nabi saw, diantaranya: “Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (H.R. Muslim). Dalam Hadits dari Abi Tsa’labah, disebutkan pula, “Rasulullah saw melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits yang lain dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah saw melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim).
Bagi kita yang beriman, dihalalkan mengkonsumsi yang baik-baik, sesuai dengan tuntunan di dalam Al-Quran: “Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagi kalian segala yang baik-baik…” (Q.S. Al-Maidah, 5: 4).
Dan sebaliknya, diharamkan karena aspek bahaya yang ditimbulkan. Sebagaimana dimaksud dalam ayat: “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Al-A’raaf, 7:157).
Dengan ketiga hal ini, para ulama membuat Kaidah Fiqhiyyah. Diantaranya, “Al-Ashlu fil asy-ya’i al-ibahah”. Hukum asal segala sesuatu itu atau semua jenis makanan itu adalah Mubah, atau diperbolehkan untuk dikonsumsi. Namun kaidah ini ada kelanjutannya: “illa ma dalla daliil ‘ala tahriimihi”. Yakni kecuali ada dalil atau Qarinah yang menyebabkannya menjadi haram. Maka disinilah fungsi dan peran lembaga fatwa, atau Komisi Fatwa MUI ini. Yaitu untuk mengkaji dan menjelaskan apakah suatu jenis bahan, atau hewan, seperti serangga Cochineal, atau enzim, atau bahkan mikroba, termasuk jenis binatang yang diharamkan atau tidak, dengan merujuk kepada ketiga kategori yang telah dipaparkan dalam nash Al-Quran maupun Al-Hadits tersebut. Untuk mengklarifikasi apakah termasuk jenis makanan atau hewan yang dilarang ataukah tidak. Termasuk juga jenis-jenis mikroba, atau bahkan enzim binatang yang dipergunakan dalam proses produksi bahan pangan, dll.
Memang, segala sesuatu yang diciptakan Allah di muka bumi ini adalah untuk manusia. Sebagaimana dimaksud dalam ayat yang artinya: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jatsiyah, 45:13).
“Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfa’at, dan sebahagiannya kamu makan.” (QS. An-Nahl, 16:5)
“Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.” (Qs. An-Nahl, 16 : 14).
Tetapi tentu manusia itu harus memilih, mana yang bermanfaat dan baik, dan mana pula yang menimbulkan mudharat dan berbahaya. Yang halal, ataukah yang haram. Dan sebagai orang yang beriman, tentu kita harus mengikuti kaidah-kaidah keimanan yang telah dijelaskan di dalam Al-Quran dan Al-Hadits serta ijtihad para ulama. Agar hidup kita dapat selamat, dunia dan akhirat. “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni’mat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (Q.S. An-Nahl, 16:114). “Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan (neraka) jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (Q.S. Muhammad, 47: 12). Demikianlah beberapa panduan bagi kita dalam aspek konsumsi ini, untuk dipahami dan diamalkan sepenuh hati, dan semoga Allah meridhoi dunia sampai akhirat yang abadi. Amin yaa Allah Robbal ‘Alamin. (USM)