Oleh: Drs.H. Sholahudin Al-Aiyubi, M.Si. (Ketua MUI Pusat)

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb.

Ustadz, saya sering melihat pada saat penyembelihan hewan kurban di Hari Raya Idul Adha, panitia memberikan daging kurban itu secara umum. Biasanya dengan cara membagikan kupon untuk kemudian ditukarkan dengan paket daging kurban. Penyebaran kupon dilakukan melalui pejabat RT atau aparat kelurahan setempat.

Nah, kadang-kadang saya melihat, pejabat RT atau kelurahan tersebut memberikan kupon daging kurban itu kepada warganya sedemikian rupa, sehingga ada saja warga yang non-Muslim menerima kupon dan dapat memperoleh daging kurban dari panitia. Maka pertanyaan saya, bolehkah panitia memberi daging kurban, yang pada hakikatnya dari umat Muslim, kepada non-Muslim. Bagaimana penjelasan syariahnya.

Karena sepanjang pengetahuan saya, misalnya, dalam pembagian zakat ada Mustahiq, atau orang tertentu yang berhak menerima zakat. Dan Mustahiq itu harus Muslim. Sepengetahuan saya, zakat tidak boleh diberikan kepada non-Muslim. Hal ini perlu saya tanyakan untuk ketenangan batin dalam ibadah kurban, dan untuk kemaslahatan bersama umat secara umum.

Atas jawaban dan penjelasan dari bapak Ustadz, saya mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya. Wal-hamdulillahi robbil ‘alamin.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Apip Bandung

awaban:

Memang dalam hal pembagian zakat, ada nash Al-Qur’an yang menetapkan delapan Ashnaf Mustahiq (golongan yang berhak menerima zakat). Perhatikanlah makna ayat: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah, 9: 60).

Sedangkan dalam pembagian daging kurban, tidak ada ayat Al-Qur’an yang khusus menetapkan kelompok atau golongan masyarakat yang berhak menerimanya. Menurut para ulama, secara umum, daging kurban itu dapat dibagikan dengan tiga kategori. Yaitu, pertama kepada kaum faqir miskin yang memang berkekurangan dan membutuhkan bantuan; kedua kepada tetangga, yaitu orang-orang yang bermukim di sekitar rumah kita; dan ketiga, orang yang berkurban itu sendiri. Di dalam Al-Qur’an disebutkan, “…Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj, 22: 28).

Ayat ini menunjukkan bahwa pemilik hewan kurban berhak memakan sebagian dari daging kurbannya, lalu sebagian lagi dibagikan untuk kaum faqir miskin. Syaikh Sayyid Sabiq dalam kitabnya yang terkenal, Fiqh Sunnah, memaparkan cara pembagian sebagai berikut: “Si pemilik hewan kurban dibolehkan makan bagian yang dibolehkan baginya sesuai keinginannya tanpa batas. Dia pun boleh menghadiahkan atau menyedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan menyedekahkan setengah. Dan dikatakan: dibagi tiga bagian, untuknya (yang berkurban) adalah sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga.”

Dari ketiga kelompok itu, terutama kaum faqir-miskin dan tetangga, tidak ada ketentuan khusus yang menetapkan bahwa mereka harus Muslim. Jadi kalau ada faqir-miskin atau tetangga yang non-Muslim sekalipun di sekitaran rumah kita, maka mereka boleh saja diberi atau menerima daging kurban. Bahkan ada pendapat yang menyatakan, tetangga yang kaya sekalipun, maka ia boleh diberi bagian dari daging kurban.

Perhatikanlah makna ayat “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8).

Nabi saw pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr untuk menemui ibunya dengan membawa harta, padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).

Dengan demikian, maka memberikan bagian hewan kurban kepada non-Muslim atau orang kafir dibolehkan, karena status hewan kurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.

Menyembelih hewan kurban itu, selain bernilai ibadah bagi yang berkurban, juga mengandung hikmah untuk memperkuat hubungan silaturahim secara sosial-kemasyarakatan. Sebagai wasilah dalam membina hubungan ketetanggaan yang harmonis. Termasuk juga dengan tetangga yang non-Muslim. Sehingga mereka, para tetangga itu, boleh juga diberi dan menerima daging kurban. Hal ini juga dimaksudkan untuk menghindarkan kesenjangan sosial dalam pergaulan ketetanggaan. Sebagai contoh, semua warga di lingkungan ketetanggaan mendapat daging kurban. Lalu ada satu tetangga non-Muslim tidak diberi daging kurban. Hal ini tentu akan membuatnya berkecil hati, merasa sedih, dan berdampak mengurangi keharmonisan hubungan ketetanggaan. Hal ini sekaligus juga sebagai wujud nyata ajaran Islam sebagai Rahmatan lil-‘alamin, yang diisyaratkan dalam ayat dengan makna: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya, 21: 107).

Bahkan dalam teknis pembagiannya, ada pendapat yang membolehkan daging kurban itu diolah atau dimasak terlebih dahulu, dan dibagikan dalam bentuk jamuan makan. Sehingga akan terbina keakraban sosial dengan sesama. Tentu dengan syarat harus untuk membawa kemaslahatan bagi umat di Jalan yang diridhoi Allah. Wallahu a’lam.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.