Media sosial ibarat pisau yang penggunaannya bisa bermanfaat, tapi juga bisa menimbulkan mudharat. Oleh karena itu, bijak dalam bermedia sosial menjadi kata kunci yang senantiasa harus dipedomani.
Tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memberikan kemudahan dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi di tengah masyarakat. Kemudahan berkomunikasi dan memperoleh informasi melalui media digital berbasis media sosial dapat mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia.
Misalnya dapat digunakan untuk mempererat tali silaturahim, untuk membangkitkan kegiatan ekonomi melalui pelatihan kewirausahaan atau penjualan online, serta memudahkan proses pendidikan dan kegiatan positif lainnya.
Saling bertukar informasi tentang halal haram juga kerap dilakukan melalui media sosial. Misalnya tentang keberadaan produk makanan atau minuman yang belum jelas kehalalannya, kemudian didiskusikan di media sosial, lalu dikonfirmasi ke Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) hingga diperoleh jawaban dan kepastiannya.
Untuk meningkatkan layanan informasi publik, LPPOM MUI juga memanfaatkan hampir semua platform media sosial untuk berbagi informasi, baik melalui sambungan langsung call center maupun melalui Twitter, Facebook, LinkedIn, hingga Instagram.
Namun, di sisi lain penggunaan media sosial sering kali tidak disertai dengan tanggung jawab sehingga tidak jarang menjadi sarana untuk penyebaran informasi yang tidak benar, hoaks¸ fitnah, ghibah, gosip, namimah, ujaran kebencian, permusuhan, bahkan untuk pertunjukan pornoaksi dan pornografi.
Misalnya konten joget dengan mempertontonkan aurat oleh seorang wanita. Mereka sengaja berpakaian seronok untuk meningkatkan rating viewer. Konten semacam ini bisa dengan leluasa beredar di media sosial, misalnya Instagram maupun Tiktok.
Ada juga yang hobi menyebar kabar bohong alias hoaks yang akhirnya memicu kegaduhan. Untuk tujuan yang tidak jelas, mereka memelintir sebuah fakta atau mengedit gambar, kemudian disebarkan melalui media sosial. Padahal tindakan tersebut jelas-jelas merugikan pihak lain. Dalam Islam, tindakan ini haram hukumnya.
Untuk memberikan panduan bagi umat Islam dalam bermuamalah (berinteraksi) di media sosial, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 24 Tahun 20017 tentang Halal Haram Bergaul di Media Sosial.
Ada banyak dalil dalam Al-Qur’an dan hadits yang dijadikan pedoman. Diantaranya firman Allah Swt. yang memerintahkan pentingnya tabayyun (klarifikasi) ketika memperoleh informasi. Antara lain surat Al-Hujurat: 6 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu.”
Hadits Nabi saw. juga dapat dijadikan pedoman dalam bermedia sosial, di mana dalam bertutur kata haruslah yang baik dan menjadikannya sebagai salah satu indikator keimanan kepada Allah. Hadits ini berasal dari Abi Hurairah ra yang artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, dalam bermuamalah dengan sesama, baik di dalam kehidupan riil maupun media sosial, merujuk pada Fatwa MUI, maka setiap muslim wajib memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
- Mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan (mu‟asyarah bil ma‟ruf), persaudaraan (ukhuwwah), saling wasiat akan kebenaran (al-haqq) serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma‟ruf) dan mencegah kemunkaran (al-nahyu „an al-munkar).
- Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan, tidak mendorong kekufuran dan kemaksiatan.
- Mempererat persaudaraan (ukhuwwah), baik persaudaraan keIslaman (ukhuwwah Islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah), maupun persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah).
- Memperkokoh kerukunan, baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan Pemerintah.
- Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk:
- Melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan.
- Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan.
- Menyebarkan hoaks serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup.
- Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i.
- Menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.
- Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram.
- Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoaks, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.
- Mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain atau kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan secara syar’i.
- Memproduksi dan/atau menyebarkan konten/informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak hukumnya haram.
- Menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.
- Aktivitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoaks, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya.
Hal yang harus diperhatikan dalam menyikapi konten/informasi di media sosial yakni konten/informasi yang berasal dari media sosial memiliki kemungkinan benar dan salah, yang baik belum tentu benar, yang benar belum tentu bermanfaat, yang bermanfaat belum tentu cocok untuk disampaikan ke ranah publik dan tidak semua konten/informasi yang benar itu boleh dan pantas disebar ke ranah publik.
Di sisi lain, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi, sudah semestinya bertindak tegas. Perlu dilakukan seleksi terhadap konten-konten yang bermuatan adu domba, kebencian terhadap golongan tertentu, serta pornografi dan pornoaksi berpotensi merusak mental dan menimbulkan kegaduhan. (Farid MS, Pemerhati Media Sosial)