Jakarta – Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) hadir dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Indonesia Halal Watch (IHW). Acara yang mengangkat tema Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang Berkaitan dengan Jaminan Produk Halal dan Peran Majelis Ulama Indonesia ini berlangsung di AONE Hotel, Jakarta pada Rabu (19/2) .
Turut hadir sebagai pembicara, diantaranya: Direktur Operasional LPPOM MUI, Ir. Sumunar Jati; Pakar Hukum Universitas Krisna Dwipayana Tarumanegara, Dr. Firman Wijaya SH. MH.; Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Prof. Dr. Bacharun M.Ag.; Wakil Sekretaris Jenderal MUI Bidang Fatwa, Drs. KH. Sholahuddin Al Aiyub, M.Si.; serta Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof. Dr. Suparji Ahmad.
Juga hadir para pegiat halal dan publik figur Dr. Hj. Marissa Grace Haque, S.H., M.Hum., M.B.A.; serta founder Halal Corner, Aisha Maharani (founder Halal Corner). Diskusi ini dimoderatori oleh Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Dr. Ikhsan Abdullah, SH., MH.
Pada pembukaan diskusi, Ikhsan Abdullah mencermati RUU Cipta Kerja yang menyesuaikan kembali sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), terdapat Pasal yang dinilai menghapus kewenangan tunggal Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menetapkan fatwa produk halal.
“Di dalam Pasal 1 Angka 10 RUU Cipta Kerja menyatakan bahwa sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal. Ketentuan tersebut jelas mengubah ketentuan UU JPH yang menetapkan Fatwa MUI sebagai sumber hukum,” ujar Ikhsan.
(Baca juga : IHW: RUU Cipta Kerja Berpotensi Hilangkan Peran Ulama dalam Penetapan Fatwa Produk Halal)
Sementara itu, Sumunar Jati menyatakan bahwa ulama yang memiliki otoritas untuk menyatakan status hukum produk halal. Omnibus Law ini bukan semata perkara administratif, ada proses di dalamnya yang tak bisa dipotong begitu saja.
“Halal merupakan suatu hukum. Dalam pengertian ini, kita perlu memahami bahwa ada proses di sana. Kami sebagai pelaku, telah menjalani kegiatan sertifikasi halal selama lebih dari 31 tahun. Apa yang kami lakukan saat ini merupakan praktis terbaik. Dan perlu diakui, ulama kita sangat dalam mempelajari hukum Islam, sehingga LPPOM MUI dari segi sains juga dituntut mendalami hukum Islam,” tegas Sumunar Jati.
Secara historis dan fakta, eksistensi dari sertifikat halal merupakan inisiasi MUI sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama dan cendekiawan muslim. Kewenangan fatwa yang diserahkan kepada masing-masing Ormas Islam (sesuai RUU Omnibus Law), maka artinya negara mundur dan menciptakan situasi yang berakibat kepada munculnya berbagai fatwa atas sebuah masalah yang bermuara kepada ketidakpastian hukum (Law Uncertainty).
“RUU Cipta Lapangan Kerja ini merupakan langkah mundur bagi perkembangan halal di Indonesia. Sekarang sudah ada lembaga yang kredibel, yakni LPPOM MUI, seharusnya pemerintah mendukung,” ungkap Bacharun .
Lebih lanjut, ia menekankan, ada pasal-pasal yang memberi wewenang kepada Ormas Islam untuk membuat fatwa dan menguji laporan masyarakat tentang produk halal. Yang perlu disadari, setiap ormas memiliki madzhabnya masing-masing. Tentu kewenangan ini berpotensi menciptakan disharmoni antar-ulama dan Ormas Islam yang selama ini sudah bersatu dalam rumah besar MUI.
(Baca juga : Mengapa Fatwa Harus dari MUI?)
Firman Wijaya menyebutkan bahwa RUU harus dicermati secara jeli, baik dari sistem, skema, struktur, kultur, dan sebagainya. Dalam skema dan struktur naskah undang-undang terkandung gagasan, motif, dan tujuan yang ingin dicapai.
“Yang perlu dijaga adalah regulating fraud, jangan sampai peraturan itu salah. Hukum yang baik itu harus mencermati kenyataan yang tengah berkembang, juga tradisi. Apalagi ini menyangkut kepatuhan terhadap akidah. Sesuatu yang tak bisa dibagi, karena ini menyangkut sistem nilai,” papar Firman Wijaya.
Untuk mengurangi disharmoni dan perbenturan semangat Omnibus Law dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka Pemerintah wajib menjunjung tinggi azas keterbukaan sebagaimana di atur sesuai mekanisme peraturan perundangan tersebut. Apabila semua diabaikan maka akan terjadi penolakan dari berbagai pihak terhadap produk undang-undang yang akan dilahirkan. (YS, YN)