Peran auditor halal sangat vital dalam alur sertifikasi halal. Auditor merupakan saksi bagi para ulama dalam menetapkan fatwa. Apa saja suka duka yang dialami oleh auditor halal LPPOM MUI? Bagaimana lembaga ini mengelola para auditor yang menjadi ujung tombak dalam sertifikasi halal?
Dalam khasanah sertifikasi halal, profesi auditor halal kini menjadi ladang pengabdian yang menarik minat banyak orang. Banyak pencari kerja, baik yang fresh graduate maupun yang sudah berpengalaman, berlomba-lomba ingin menjadi auditor halal LPPOM MUI.
Direktur Utama LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati, M,Si, menjelaskan bahwa secara umum, ada dua jenis auditor halal yang ditugaskan untuk memeriksa kehalalanan sebuah produk barang atau jasa. Ada auditor halal internal dan ada juga auditor halal eksternal. Masing-masing auditor ini memiliki tanggung jawab dalam ruang lingkup yang berbeda.
Auditor halal internal adalah auditor yang bekerja dalam ruang lingkup perusahaan, untuk memenuhi syarat dan ketentuan Sistem Jaminan Halal LPPOM MUI. Perusahaan harus menunjuk auditor halal internal untuk melakukan pengawasan terhada proses produksi yang dilakukan agar sesuai dengan ketentuan halal yang berlaku.
Sedangkan auditor halal eksternal adalah mereka yang melakukan tahapan pemeriksaan mengenai kehalalan sebuah produk. Auditor halal inilah yang disebutkan dan diatur di dalam undang-undang.
Auditor senior LPPOM MUI, Prof. Dr. Khaswar Syamsu, M.Sc., mengungkapkan, profesi sebagai auditor halal menjadi sangat menarik karena anugerah ilmu yang mereka miliki dapat diamalkan di jalan Allah Swt.
“Auditor halal bisa memberikan ilmu pengetahuan kepada perusahaan bagaimana persyaratan untuk produksi produk halal, pengetahuan tentang bahan bahan yang halal dan haram, memberikan bimbingan manajemen penerapan Sistem Jaminan Halal, dan sebagainya. Di lain pihak, auditor halal juga belajar dari perusahaan dan mendapatkan ilmu dan pengalaman praktis di industri sebagai pelengkap ilmu yang sudah diketahui secara teoritis,” ujar Khaswar Syamsu, yang juga guru besar IPB itu.
Muti Arintawati menegaskan, auditor halal memiliki posisi sangat strategis dan menentukan dalam rantai sertifikasi halal. “Auditor halal itu merupakan saksi bagi para ulama dalam menetapkan fatwa.
Agar dapat memberikan fatwa yang benar tentang suatu produk, para ulama yang tergabung di dalam Komisi Fatwa MUI memerlukan masukan dan informasi dari para auditor halal yang melakukan pemeriksaan langsung di lapangan. Pemeriksaan yang merupakan scientific judgement dari para ahli di bidang pangan, obat-obatan dan kosmetika ataupun kimia itu kemudian dilaporkan dalam sidang Komisi Fatwa MUI.
Laporan auditor halal pun tak boleh salah. Pernyataan tersebut tidaklah berlebihan mengingat auditor halal menjadi salah satu mata rantai yang cukup penting dalam alur proses sertifikasi halal. Hasil audit dari auditor halal menjadi dasar fatwa untuk memutuskan sebuah produk halal atau tidak.
“Artinya, kalau auditor melakukan kesalahan, maka akan menghasilkan output fatwa yang salah juga. Karena itu, auditor harus berkompeten sehingga audit yang dilakukan bisa memberikan hasil yang valid dan terpercaya,” kata Muti Arintawati.
Selain kompetensi keilmuan, hal yang tidak kalah pentingnya untuk dipenuhi oleh seorang auditor adalah integritas. Seorang auditor merupakan saksi (witness) mewakili Ulama ketika melakukan audit di lokasi audit.
Sebagai saksi maka auditor halal harus menyampaikan data dan fakta yang objektif dan sesungguhnya dalam laporan audit, dan didukung oleh dokumen pendukung yang valid, tanpa ada conflict of interest. (FMS)